Kita sekarang kembali ke Makkah, tahun ketujuh sebelum hijriah. Ketika itu Rasulullah SAW sedang susah karena tindakan kaum Quraisy yang menyakiti beliau dan para sahabat. Kesulitan dan kesusahan berdakwah menyebabkan beliau senantiasa harus bersabar. Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba seberkas cahaya memancar memberikan hiburan yang menggembirakan. Seorang pembawa berita mengabarkan kepada beliau, "Ummu Aiman melahirkan seorang bayi laki-laki." Wajah Rasulullah berseri karena gembira menyambut berita tersebut.
Siapakah bayi yang sangat berbahagia itu? Sehingga kelahirannya dapat mengobat hati Rasulullah yang sedang duka, berubah jadi gembira? Itulah dia USAMAH BIN ZAID!
Para sahabat tidak merasa aneh bila Rasulullah bersuka cita dengan kelahiran bayi yang baru itu. Karena mereka tahu kedudukan kedua orang tuanya di sisi Rasulullah. Ibu bayi tersebut seorang wanita Habsy yang diberkati, terkenal dengan panggilan "Ummu Aiman". Sesungguhnya Ummu Aiman adalah bekas sahaya Ibunda Rasulullah, Aminah binti Wahab. Dialah yang mengasuh Rasulullah waktu kecil, selagi ibundanya masih hidup. Dan dia pulalah yang merawat sesudah ibunda wafat. Karena itu dalam kehidupan Rasulullah, beliau hampir tidak mengenal ibundanya yang mulia selain Ummu Aiman.
Rasulullah menyayangi Ummu Aiman sebagaimana layaknya sayang anak kepada ibu. Dan beliau sering berucap, "Ummu Aiman adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda yang mulia wafat, dan satu-satunya keluargaku yang masih ada." Itulah ibu bayi yang beruntung ini.
Adapun bapaknya adalah kesayangan (Hibb) Rasulullah, Zaid bin Haritsah. Rasulullah pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkat beliau sebelum ia Islam. Dia menjadi sahabat beliau tempat mempercayakan segala rahasia. Dan dia menjadi salah seorang anggota yang beliau kasihi dalam Islam.
Kaum muslimin turut gembira dengan kelahiran Usamah bin Zaid, melebihi kegembiraan mereka atas kelahiran bayi-bayi lainnya. Hal itu bisa terjadi, karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah adalah juga mereka sukai.
Dan beliau gembira mereka pun turut gembira pula. Bayi yang sangat beruntung itu mereka panggil "Al Hibb wa Ibnil Hibb" (Kesayangan, anak kesayangan).
Kaum muslimin tidak berlebih-lebihan memanggil Usamah yang masih bayi itu dengan panggilan tersebut. Karena memang Rasulullah sangat menyayangi Usamah, sehingga dunia seluruhnya sangat menyayangi Usamah, sehingga dunia seluruhnya agaknya iri hati karenanya.
Usamah sebaya dengan cucu Rasulullah "Hasan bin Ali bin Abu Thalib." Hasan berkulit putih, tampan bagaikan bunga yang mengagumkan. Dia sangat mirip dengan kakeknya, Rasulullah SAW. Usamah kulitnya hitam, hidung pesek, sangat mirip dengan ibunya wanita Habsy. Namun begitu, kasih sayang Rasulullah kepada keduanya tiada berbeda. Beliau sering mengambil Usamah, lalu beliau letakkan di salah satu paha beliau. Kemudian beliau ambil pula Hasan, maka diletakkannya pula di paha yang satu lagi. Kemudian kedua anak itu dirangkulnya bersama-sama ke dadanya, seraya berkata, "Wahai Allah! Saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pula mereka."
Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah, pada suatu kali Usamah tersandung di bendul pintu, sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah menyuruh 'Aisyah, tetapi tidak mampu melakukannya. Karena itu beliau berdiri menghampiri Usamah, lalu beliau hisap darah yang keluar dari luka Usamah, kemudian beliau ludahkan, sesudah itu beliau bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyejukkan, sehingga Usamah merasa tentram kembali.
Sebagaimana Rasulullah menyayangi Usamah waktu kecil, begitu pula sayang beliau kepadanya tatkala dia sudah besar.
Hakam bin Hazam, seorang pemimpin Quraisy pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah. Pakaian itu dibeli Hakam di Yaman, dengan harga lima puluh dinar emas, dari Yazan seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah Hakam, sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu pakaian itu dibeli oleh beliau kepadanya. Beliau memakainya hanya satu kali ketika hari Jum'at. Kemudian pakaian itu beliau berikan kepada Usamah. Usamah senantiasa memakainya pagi dan petang di tengah-tengah pemuda-pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.
Sejak Usamah meningkat remaja, sudah kelihatan pada dirinya sifat-sifat dan pekerti yang mulia, yang memang pantas menjadikannya kesayangan Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, berani luar biasa, bijaksana dan pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tahu menjaga kehormatan, senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela, pengasih dan dikasihi orang, taqwa, wara' dan mencintai Allah SWT.
Waktu terjadi perang Uhud, Usamah bin Zaid datang ke hadapan Rasulullah beserta serombongan anak-anak sebayanya, putera-putera para sahabat. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian mereka diterima oleh Rasulullah dan sebagian lagi ditolak oleh beliau, karena usia mereka yang masih sangat muda. Usamah bin Zaid termasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima. Karena itu Usamah pulang sambil menangis. Dia sangat sedih tidak diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.
Dalam perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang pula bersama kawan-kawannya anak-anak remaja putera para sahabat. Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah supaya kelihatan lebih tinggi, agar beliau memperkenankannya turut berperang. Rasulullah kasihan melihat Usamah yang keras hati ingin turut berperang. Karena itu beliau mengizinkannya. Usamah pergi berperang menyandang pedang, jihad fi sabilillah. Ketika itu dia baru berusia lima belas tahun.
Ketika terjadi perang Hunain, tentara muslim terdesak sehingga barisan mereka menjadi kacau balau. Tetapi Usamah bin Zaid tetap bertahan bersama-sama 'Abbas, paman Rasulullah, Sufyan bin Harits anak paman Usamah, dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia. Dengan jumlah kecil yang terdiri dari orang-orang mukmin yang berani ini, Rasulullah berhasil mengembalikan kekalahan para sahabatnya menjadi kemenangan. Beliau berhasil menyelamatkan kaum muslim yang lari dari kejaran kaum musyrikin.
Dalam perang Mut'ah, Usamah turut berperang di bawah pimpinan komando ayahnya, Zaid bin Haritsah. Umurnya ketika itu kira-kira delapan belas tahun. Usamah menyaksikan dengan mata kepala, bapaknya syahid di medan tempur sebagai syuhada. Tetapi Usamah tidak takut dan tidak pula mundur. Bahkan dia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja'far bin Abi Thalib, sehingga Ja'far syahid pula di hadapan matanya. Usamah menyerbu di bawah komando Abdullah bin Rawahah, sampai pahlawan ini gugur pula menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu. Kemudian komando dipegang oleh Khalid bin Walid. Usamah bertempur di bawah komando Khalid. Dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit, kaum muslimin akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum.
Seusai peperangan, Usamah kembali ke Madinah dengan menyerahkan kematian ayahnya kepada Allah SWT. Jasad ayahnya ditinggalkan di bumi Syam (Syiria) dengan mengenang segala kebaikan almarhum yang telah diperagakannya di hadapan anaknya, Usamah.
Pada tahun ke sebelas Hijriah, Rasulullah menurunkan perintah supaya menyiapkan bala tentara untuk memerangi Rum. Dalam pasukan itu terdapat antara lain: Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatthab, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu 'Ubaidah bin Jarrah, dan sahabat-sahabat lain yang tertua.
Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid yang muda remaja menjadi Panglima seluruh pasukan yang akan diberangkatkan. Ketika itu usia Usamah belum melebihi dua puluh tahun. Beliau memerintahkan Usamah supaya berhenti di Balqa' dan Qal'atut Daarum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan Rum.
Ketika balatentara sedang bersiap-siap menunggu perintah berangkat, Rasulullah SAW sakit, dan semakin hari sakit beliau bertambah keras. Karena itu keberangkatan pasukan ditangguhkan menunggu keadaan Rasulullah membaik.
Kata Usamah, "Tatkala sakit Rasulullah bertambah berat, saya datang menghadap beliau diikuti orang banyak. Setelah saya masuk, saya dapati beliau sedang diam tidak berkata-kata, karena sangat kerasnya sakit beliau. Tiba-tiba beliau mengangkat tangan dan meletakkannya ke tubuh saya. Saya tahu beliau memanggilku."
Tidak berapa lama kemudian, Rasulullah pulang ke Rahmatullah. Abu Bakar Shiddiq terpilih dan dilantik menjadi Khalifah. Khalifah Abu Bakar memerintahkan supaya meneruskan pengiriman tentara di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, sesuai dengan rencana yang telah digariskan Rasulullah.
Tetapi sekelompok kaum Anshar menghendaki supaya menangguhkan pemberangkatan pasukan. Mereka meminta 'Umar bin Khatthab membicarakannya dengan Khalifah Abu Bakar. Kata mereka, "Jika Khalifah tetap berkeras hendak meneruskan pengiriman pasukan sebagaimana dikehendakinya, kami mengusulkan Panglima pasukan, Usamah, yang masih muda remaja ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan berpengalaman."
Mendengar ucapan 'Umar menyampaikan usul kaum Anshar itu. Abu Bakar bangun menghadapi 'Umar. Lalu ditariknya baju 'Umar seraya berkata dengan marah. "Hai putera Khatthab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasulullah. Demi Allah! Tidak ada cara begitu!"
Tatkala Umar kembali kepada orang banyak, mereka menanyakan bagaimana hasil pembicaraannya dengan Khalifah tentang usul mereka.
Kata 'Umar, "Setelah saya sampaikan usul kalian kepada Khalifah, beliau menolak dan malahan saya kena marah. Saya dikatakan berani membatalkan keputusan Rasulullah!"
Pasukan muslimin berangkat di bawah pimpinan Panglimanya yang masih muda remaja, Usamah bin Zaid. Khalifah Abu Bakar turut mengantarkannya berjalan kaki. Sedangkan Usamah menunggang kendaraan.
Kata Usamah, "Wahai Khalifah Rasulullah! Silahkan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki!"
Jawab Abu Bakar, "Demi Allah! Jangan turun! Demi Allah! Saya tak hendak naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor, sementara mengantar engkau berjuang fi sabilillah! Saya titipkan engkau, agama engkau, kesetiaan engkau, dan kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya berwasiat kepada engkau, laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!"
Kemudian Khalifah Abu Bakar lebih mendekat kepada Usamah. Katanya, "Jika engkau setuju biarlah 'Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya." Usamah mengizinkan 'Umar tinggal untuk membantu Khalifah Abu Bakar.
Usamah terus maju membawa pasukan tentara yang dipimpinnya. Segala perintah Rasulullah kepadanya dilaksanakan sebaik-baiknya. Tiba di Balqa' dan Qal'atut Daarum, termasuk daerah Palestina, Usamah berhenti dan memerintahkan tentaranya berkemah. Kehebatan Rum dapat dihapuskan dari hati kaum muslimin. Lalu dibentangkannya jalan raya di hadapan mereka bagi penaklukan Syam (Syiria) dan Mesir.
Usamah berhasil kembali dari medan perang dengan kemenangan gilang gemilang. Mereka membawa harta rampasan yang banyak, melebihi perkiraan yang diduga orang. Sehingga dikatakan orang, "Belum pernah terjadi suatu pasukan tempur kembali dari medan tempur dengan selamat dan utuh dan berhasil membawa harta rampasan sebanyak yang dibawa pasukan Usamah bin Zaid."
Usamah bin Zaid sepanjang hidupnya berada di tempat terhormat dan dicintai kaum muslimin. Karena dia senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah dengan sempurna, serta memuliakan pribadi Rasul.
Khalifah Umar bin Khattab pernah diprotes oleh puteranya Abdullah bin 'Umar, karena melebihi jatah Usamah dari jatah 'Abdullah sebagai putera Khalifah.
Kata 'Abdullah bin 'Umar, "Wahai Bapak! Bapak menjatahkan untuk Usamah empat ribu, sedangkan kepada saya hanya tiga ribu. Padahal jasa bapaknya, agaknya tidak akan lebih banyak daripada jasa Bapak sendiri. Begitu pula pribadi Usamah, agaknya tidak ada keistimewaannya daripada saya."
Jawab Khalifah 'Umar, "Wah! Jauh sekali! Bapaknya lebih disayangi Rasulullah daripada bapak kamu. Dan pribadi Usamah lebih disayangi Rasulullah daripada dirimu."
Mendengar keterangan ayahnya, 'Abdullah bin 'Umar kemudian menyapa Usamah dengan ucapan "Marhaban yaa amiri!" (Selamat wahai komandanku!).
Jika ada orang yang heran dengan sapaan Abdullah bin Umar tersebut, maka dia menjelaskan. "Rasulullah pernah mengangkat Usamah menjadi komandan saya."
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada para sahabat yang memiliki jiwa dan kepribadian agung seperti mereka ini.
Siapakah bayi yang sangat berbahagia itu? Sehingga kelahirannya dapat mengobat hati Rasulullah yang sedang duka, berubah jadi gembira? Itulah dia USAMAH BIN ZAID!
Para sahabat tidak merasa aneh bila Rasulullah bersuka cita dengan kelahiran bayi yang baru itu. Karena mereka tahu kedudukan kedua orang tuanya di sisi Rasulullah. Ibu bayi tersebut seorang wanita Habsy yang diberkati, terkenal dengan panggilan "Ummu Aiman". Sesungguhnya Ummu Aiman adalah bekas sahaya Ibunda Rasulullah, Aminah binti Wahab. Dialah yang mengasuh Rasulullah waktu kecil, selagi ibundanya masih hidup. Dan dia pulalah yang merawat sesudah ibunda wafat. Karena itu dalam kehidupan Rasulullah, beliau hampir tidak mengenal ibundanya yang mulia selain Ummu Aiman.
Rasulullah menyayangi Ummu Aiman sebagaimana layaknya sayang anak kepada ibu. Dan beliau sering berucap, "Ummu Aiman adalah ibuku satu-satunya sesudah ibunda yang mulia wafat, dan satu-satunya keluargaku yang masih ada." Itulah ibu bayi yang beruntung ini.
Adapun bapaknya adalah kesayangan (Hibb) Rasulullah, Zaid bin Haritsah. Rasulullah pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkat beliau sebelum ia Islam. Dia menjadi sahabat beliau tempat mempercayakan segala rahasia. Dan dia menjadi salah seorang anggota yang beliau kasihi dalam Islam.
Kaum muslimin turut gembira dengan kelahiran Usamah bin Zaid, melebihi kegembiraan mereka atas kelahiran bayi-bayi lainnya. Hal itu bisa terjadi, karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah adalah juga mereka sukai.
Dan beliau gembira mereka pun turut gembira pula. Bayi yang sangat beruntung itu mereka panggil "Al Hibb wa Ibnil Hibb" (Kesayangan, anak kesayangan).
Kaum muslimin tidak berlebih-lebihan memanggil Usamah yang masih bayi itu dengan panggilan tersebut. Karena memang Rasulullah sangat menyayangi Usamah, sehingga dunia seluruhnya sangat menyayangi Usamah, sehingga dunia seluruhnya agaknya iri hati karenanya.
Usamah sebaya dengan cucu Rasulullah "Hasan bin Ali bin Abu Thalib." Hasan berkulit putih, tampan bagaikan bunga yang mengagumkan. Dia sangat mirip dengan kakeknya, Rasulullah SAW. Usamah kulitnya hitam, hidung pesek, sangat mirip dengan ibunya wanita Habsy. Namun begitu, kasih sayang Rasulullah kepada keduanya tiada berbeda. Beliau sering mengambil Usamah, lalu beliau letakkan di salah satu paha beliau. Kemudian beliau ambil pula Hasan, maka diletakkannya pula di paha yang satu lagi. Kemudian kedua anak itu dirangkulnya bersama-sama ke dadanya, seraya berkata, "Wahai Allah! Saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pula mereka."
Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah, pada suatu kali Usamah tersandung di bendul pintu, sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah menyuruh 'Aisyah, tetapi tidak mampu melakukannya. Karena itu beliau berdiri menghampiri Usamah, lalu beliau hisap darah yang keluar dari luka Usamah, kemudian beliau ludahkan, sesudah itu beliau bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyejukkan, sehingga Usamah merasa tentram kembali.
Sebagaimana Rasulullah menyayangi Usamah waktu kecil, begitu pula sayang beliau kepadanya tatkala dia sudah besar.
Hakam bin Hazam, seorang pemimpin Quraisy pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah. Pakaian itu dibeli Hakam di Yaman, dengan harga lima puluh dinar emas, dari Yazan seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah Hakam, sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu pakaian itu dibeli oleh beliau kepadanya. Beliau memakainya hanya satu kali ketika hari Jum'at. Kemudian pakaian itu beliau berikan kepada Usamah. Usamah senantiasa memakainya pagi dan petang di tengah-tengah pemuda-pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.
Sejak Usamah meningkat remaja, sudah kelihatan pada dirinya sifat-sifat dan pekerti yang mulia, yang memang pantas menjadikannya kesayangan Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, berani luar biasa, bijaksana dan pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tahu menjaga kehormatan, senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela, pengasih dan dikasihi orang, taqwa, wara' dan mencintai Allah SWT.
Waktu terjadi perang Uhud, Usamah bin Zaid datang ke hadapan Rasulullah beserta serombongan anak-anak sebayanya, putera-putera para sahabat. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian mereka diterima oleh Rasulullah dan sebagian lagi ditolak oleh beliau, karena usia mereka yang masih sangat muda. Usamah bin Zaid termasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima. Karena itu Usamah pulang sambil menangis. Dia sangat sedih tidak diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.
Dalam perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang pula bersama kawan-kawannya anak-anak remaja putera para sahabat. Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah supaya kelihatan lebih tinggi, agar beliau memperkenankannya turut berperang. Rasulullah kasihan melihat Usamah yang keras hati ingin turut berperang. Karena itu beliau mengizinkannya. Usamah pergi berperang menyandang pedang, jihad fi sabilillah. Ketika itu dia baru berusia lima belas tahun.
Ketika terjadi perang Hunain, tentara muslim terdesak sehingga barisan mereka menjadi kacau balau. Tetapi Usamah bin Zaid tetap bertahan bersama-sama 'Abbas, paman Rasulullah, Sufyan bin Harits anak paman Usamah, dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia. Dengan jumlah kecil yang terdiri dari orang-orang mukmin yang berani ini, Rasulullah berhasil mengembalikan kekalahan para sahabatnya menjadi kemenangan. Beliau berhasil menyelamatkan kaum muslim yang lari dari kejaran kaum musyrikin.
Dalam perang Mut'ah, Usamah turut berperang di bawah pimpinan komando ayahnya, Zaid bin Haritsah. Umurnya ketika itu kira-kira delapan belas tahun. Usamah menyaksikan dengan mata kepala, bapaknya syahid di medan tempur sebagai syuhada. Tetapi Usamah tidak takut dan tidak pula mundur. Bahkan dia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja'far bin Abi Thalib, sehingga Ja'far syahid pula di hadapan matanya. Usamah menyerbu di bawah komando Abdullah bin Rawahah, sampai pahlawan ini gugur pula menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu. Kemudian komando dipegang oleh Khalid bin Walid. Usamah bertempur di bawah komando Khalid. Dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit, kaum muslimin akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum.
Seusai peperangan, Usamah kembali ke Madinah dengan menyerahkan kematian ayahnya kepada Allah SWT. Jasad ayahnya ditinggalkan di bumi Syam (Syiria) dengan mengenang segala kebaikan almarhum yang telah diperagakannya di hadapan anaknya, Usamah.
Pada tahun ke sebelas Hijriah, Rasulullah menurunkan perintah supaya menyiapkan bala tentara untuk memerangi Rum. Dalam pasukan itu terdapat antara lain: Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khatthab, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu 'Ubaidah bin Jarrah, dan sahabat-sahabat lain yang tertua.
Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid yang muda remaja menjadi Panglima seluruh pasukan yang akan diberangkatkan. Ketika itu usia Usamah belum melebihi dua puluh tahun. Beliau memerintahkan Usamah supaya berhenti di Balqa' dan Qal'atut Daarum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan Rum.
Ketika balatentara sedang bersiap-siap menunggu perintah berangkat, Rasulullah SAW sakit, dan semakin hari sakit beliau bertambah keras. Karena itu keberangkatan pasukan ditangguhkan menunggu keadaan Rasulullah membaik.
Kata Usamah, "Tatkala sakit Rasulullah bertambah berat, saya datang menghadap beliau diikuti orang banyak. Setelah saya masuk, saya dapati beliau sedang diam tidak berkata-kata, karena sangat kerasnya sakit beliau. Tiba-tiba beliau mengangkat tangan dan meletakkannya ke tubuh saya. Saya tahu beliau memanggilku."
Tidak berapa lama kemudian, Rasulullah pulang ke Rahmatullah. Abu Bakar Shiddiq terpilih dan dilantik menjadi Khalifah. Khalifah Abu Bakar memerintahkan supaya meneruskan pengiriman tentara di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, sesuai dengan rencana yang telah digariskan Rasulullah.
Tetapi sekelompok kaum Anshar menghendaki supaya menangguhkan pemberangkatan pasukan. Mereka meminta 'Umar bin Khatthab membicarakannya dengan Khalifah Abu Bakar. Kata mereka, "Jika Khalifah tetap berkeras hendak meneruskan pengiriman pasukan sebagaimana dikehendakinya, kami mengusulkan Panglima pasukan, Usamah, yang masih muda remaja ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan berpengalaman."
Mendengar ucapan 'Umar menyampaikan usul kaum Anshar itu. Abu Bakar bangun menghadapi 'Umar. Lalu ditariknya baju 'Umar seraya berkata dengan marah. "Hai putera Khatthab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasulullah. Demi Allah! Tidak ada cara begitu!"
Tatkala Umar kembali kepada orang banyak, mereka menanyakan bagaimana hasil pembicaraannya dengan Khalifah tentang usul mereka.
Kata 'Umar, "Setelah saya sampaikan usul kalian kepada Khalifah, beliau menolak dan malahan saya kena marah. Saya dikatakan berani membatalkan keputusan Rasulullah!"
Pasukan muslimin berangkat di bawah pimpinan Panglimanya yang masih muda remaja, Usamah bin Zaid. Khalifah Abu Bakar turut mengantarkannya berjalan kaki. Sedangkan Usamah menunggang kendaraan.
Kata Usamah, "Wahai Khalifah Rasulullah! Silahkan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki!"
Jawab Abu Bakar, "Demi Allah! Jangan turun! Demi Allah! Saya tak hendak naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor, sementara mengantar engkau berjuang fi sabilillah! Saya titipkan engkau, agama engkau, kesetiaan engkau, dan kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya berwasiat kepada engkau, laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!"
Kemudian Khalifah Abu Bakar lebih mendekat kepada Usamah. Katanya, "Jika engkau setuju biarlah 'Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk membantu saya." Usamah mengizinkan 'Umar tinggal untuk membantu Khalifah Abu Bakar.
Usamah terus maju membawa pasukan tentara yang dipimpinnya. Segala perintah Rasulullah kepadanya dilaksanakan sebaik-baiknya. Tiba di Balqa' dan Qal'atut Daarum, termasuk daerah Palestina, Usamah berhenti dan memerintahkan tentaranya berkemah. Kehebatan Rum dapat dihapuskan dari hati kaum muslimin. Lalu dibentangkannya jalan raya di hadapan mereka bagi penaklukan Syam (Syiria) dan Mesir.
Usamah berhasil kembali dari medan perang dengan kemenangan gilang gemilang. Mereka membawa harta rampasan yang banyak, melebihi perkiraan yang diduga orang. Sehingga dikatakan orang, "Belum pernah terjadi suatu pasukan tempur kembali dari medan tempur dengan selamat dan utuh dan berhasil membawa harta rampasan sebanyak yang dibawa pasukan Usamah bin Zaid."
Usamah bin Zaid sepanjang hidupnya berada di tempat terhormat dan dicintai kaum muslimin. Karena dia senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah dengan sempurna, serta memuliakan pribadi Rasul.
Khalifah Umar bin Khattab pernah diprotes oleh puteranya Abdullah bin 'Umar, karena melebihi jatah Usamah dari jatah 'Abdullah sebagai putera Khalifah.
Kata 'Abdullah bin 'Umar, "Wahai Bapak! Bapak menjatahkan untuk Usamah empat ribu, sedangkan kepada saya hanya tiga ribu. Padahal jasa bapaknya, agaknya tidak akan lebih banyak daripada jasa Bapak sendiri. Begitu pula pribadi Usamah, agaknya tidak ada keistimewaannya daripada saya."
Jawab Khalifah 'Umar, "Wah! Jauh sekali! Bapaknya lebih disayangi Rasulullah daripada bapak kamu. Dan pribadi Usamah lebih disayangi Rasulullah daripada dirimu."
Mendengar keterangan ayahnya, 'Abdullah bin 'Umar kemudian menyapa Usamah dengan ucapan "Marhaban yaa amiri!" (Selamat wahai komandanku!).
Jika ada orang yang heran dengan sapaan Abdullah bin Umar tersebut, maka dia menjelaskan. "Rasulullah pernah mengangkat Usamah menjadi komandan saya."
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada para sahabat yang memiliki jiwa dan kepribadian agung seperti mereka ini.
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق