Seorang budak muslim keturunan Persia hidup di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mengabdi pada keluarga Abu Hudzaifah. Perbudakan pada masa itu adalah warisan sistem jahiliyah yang begitu mendarah daging dalam kehidupan masyarakatnya. Manusia yang sejatinya mulia tiba-tiba teronggok seolah-olah menjadi barang dagangan yang bisa dijual kapan saja sesuka hati. Tak ada kemuliaan yang tersisa.
Budak itu bernama Salim, dikemudian hari ia dimerdekakan oleh Abu Hudzaifah sehingga sering dikenal dengan Salim maula abi hudzaifah. Setelah merdeka, ia tidak puas begitu saja. Salim segera membenahi kekurangannya selama ini, maka ia segera mempelajari Al-Quran, membaguskan bacaannya dan memperbanyak hafalannya.
Kesungguhan Salim mencari ilmu segera berbuah. Dulu ia adalah budak yang benar-benar diremehkan harga dirinya. Ilmunya tentang Al-Quran telah memuliakan dirinya. Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sampai di Madinah pada peristiwa hijrah, Salim menjadi imam dari para sahabat di Masjid Quba. Hal ini karena ia mempunyai hafalan Al-Quran yang lebih banyak dari yang lainnya, bahkan dari seorang Umar bin Khaththab sekalipun. Lebih dari itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun memerintahkan para sahabat untuk mengambil bacaan al-Quran dari 4 orang, salah satunya adalah Salim maula Abu Hudzaifah.
Bukan itu saja, Salim yang notabene adalah mantan budak ternyata dicalonkan menjadi Khalifah oleh Umar bin Khaththab ! Sebuah jabatan yang diyakini oleh semua muslim membutuhkan syarat-syarat yang berat dan mulia ! Umar bin Khaththab dengan lugas mengatakan di akhir masa kepemimpinannya :
“ Seandainya satu dari dua orang ini masih hidup, niscaya aku akan tenang jika kekhalifahan ini diserahkan kepadanya ; mereka adalah Salim maula Abu Hudzaifah dan Abu Ubaidah Al-Jarrah ! “
Kemuliaan Salim berlanjut hingga akhir hayatnya di kancah jihad fi sabilillah. Adakah kematian yang lebih mulia dari syahadah ? Dalam perang Yamamah, Salim dipercayakan memegang panji kebesaran pasukan muslimin. Dalam sebuah riwayat diceritakan, saat pasukan muslim terdesak dan mulai terpecah-pecah, Salim berseru lantang :
“ Bukan seperti ini kita dahulu berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam! “.
Serta merta ia menggali lobang kecil dan memasukkan kedua kaki ke dalamnya agar tidak ikut berlari bersama yang lainnya. Maka kemudian ia terus berperang mempertahankan panji kaum muslimin dengan segenap tenaganya. Ketika tangan kanannya terputus akibat tebasan musuh, segera tangan kirinya menyambar panji yang hampir terjatuh menyentuh tanah. Tak lama kemudian tangan kirinya pun dibabat lawan dan segera ia memeluk panji dengan tubuhnya yang tersisa. Ia terus berperang mempertahankan panji itu hingga syahadah menjemputnya.
Tubuhnya jatuh tersungkur ke bumi, namun arwahnya membumbung tinggi ke langit sana. Perjuangannya baru saja usai, berganti kebahagian sejati disisi tuhannya. Hidup mulia dan mati mulia.
Apa yang membuat sang mantan budak ini merubah kehidupannya dari kehinaan menjadi bertebar kemuliaan ? Apakah yang membuat seorang mantan budak dipercaya menjadi imam sholat di depan para sahabat yang mulia ? Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merekomendasikan namanya untuk menjadi guru Al-Quran bagi seluruh sahabat bahkan umatnya ? Apa juga yang membuat seorang Umar bin Khaththab mengaguminya dan meyakini kemampuannya menjadi khalifah ?
Barangkali jawaban yang paling realistis adalah karena ilmu yang ia punya. Kemuliaan segera bersanding pada dirinya ketika ia bertekad untuk mempelajari al-Quran yang mulia, mempelajari bacaannya dan juga menghafalnya. Ilmu telah mengubah Salim sang mantan budak itu menjadi begitu mulia. Mulia melebihi sahabat lainnya para pembesar kaumnya.
Itu semua adalah contoh di dunia, di akhirat tentu mereka jauh lebih mulia. Lebih dari yang kita kira !
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق