Pada waktu muda, dia mengabdikan dirinya dan sekaligus berguru kepada Abu Musa Al-Asy'ari, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang pada waktu itu menjadi gubernur Bashrah. Karena itulah, hidupnya hanya untuk beribadah, berjuang membela Islam, dan menuntut ilmu. Tiga hal itulah yang membuatnya dikenal sebagai ahli zuhud di kota Bashrah.
Seorang penduduk Bashrah menceritakan kehidupan Amir bin Abdullah, "Aku pernah mengikuti perjalanan sebuah kafilah yang di dalamnya ada Amir bin Abdullah At-Tamimi. Ketika malam tiba, kami beristirahat di bawah pepohonan besar dekat sumber air. Saat itulah Amir membereskan perbekalannya, kemudian mengikat kudanya pada sebuah pohon. Tali kuda itu sengaja dibuat panjang. Dia juga mengumpulkan rumput yang dapat mengenyangkan kuda. Setelah itu ia memasuki sela-sela pepohonan dan menjauh dari kami.
Melihat itu aku berkata dalam hati, `Demi Allah, akan aku ikuti dan perhatikan apa yang dia kerjakan dalam belukar pada malam-malam seperti ini.'
Dia terus menelusuri semak belukar hingga sampai pada sebuah tempat yang terselubungi oleh pepohonan dan tak terlihat oleh orang lain. Kemudian ia berdiri tegak menghadap kiblat dan shalat. Baru kali ini aku melihat seseorang shalat dengan sempurna dan khusyu' seperti itu.
Karena kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang pada siang tadi, kantuk berat menyerangku, sehingga tertidur.
Setelah sekian lama aku terlelap dalam tidur, aku pun bangun. Sementaraitu Amir masih tetap berdiri shalat dan bermunajat hingga fajar menjelang."
Gentong Penuh Permata
Setiap kali seruan jihad memanggil, Amir termasuk pelopor dalam menyambutnya. Dia mujahid yang banyak berperan saat perang berkecamuk. Dengan gagah berani, dia menembus barisan musuh. Namun dia tidak berhasrat untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang).
Ketika Sa'ad bin Abi Waqqash, panglima Perang Qadisiyah, berhasil menundukkan Persia, dia memerintahkan petugas untuk mengumpulkan dan menghitung ghanimah. Banyak sekali harta kekayaan, perhiasan, dan barang-barang berharga yang dikumpulkan. Seperlima dikirim ke baitul mal dan sisanya dibagikan kepada para mujahidin.
Saat para petugas menghitung harta rampasan dengan disaksikan langsung oleh kaum muslimin, tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka seorang lelaki berambut kumal penuh debu membawa sebuah gentong besar.
Dengan takjub mereka memperhatikan. Ternyata gentong itu penuh dengan batu permata dan intan berlian. Mereka belum pernah mendapatkan harta rampasan perang yang sepadan dengannya. Maka mereka pun bertanya kepada lelaki itu, "Dari mana engkau dapatkan harta simpanan yang sangat berharga ini?"
"Aku dapatkan pada peperangan ini di tempat ini," jawabnya singkat.
"Apakah engkau mengambil bagian?" tanya mereka.
"Demi Allah, gentong ini dan segala yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tak senilai dengan ujung kuku sama sekali. Sekiranya tidak ada hak baitul mal di dalamnya, tentu tak akan aku angkat danaku gendong ke tengah-tengah kalian," jawab lelaki itu.
"Siapakah engkau," tanya mereka penasaran.
"Tidak, demi Allah, aku tak akan memberi tahu kalian, juga orang lain, agar kalian tidak memuji dan menyanjungku. Aku hanya memuji dan menyanjung Allah serta mengharap pahala dari Nya," kata lelaki itu seraya berlalu meninggalkanmereka.
Terdorong oleh rasa penasaran yang amat sangat, mereka mengutus seseorang untuk membuntuti dan mencari informasi tentang lekaki itu.
Tanpa sepengetahuannya, lelaki itu terus diikuti hingga tibalah ia di tengah sahabat-sahabatnya.
Ketika orang yang membuntuti itu menanyakan perihal lelaki tersebut kepada mereka, mereka menjawab, `Tidakkah engkau mengetahuinya? Dialah ahli zuhud kota Bashrah, Amir bin Abdillah At-Tamimi."
Lidah Basah dengan Dzikrullah
Amir menghabiskan sisa hidupnya di negeri Syam dan memilih Baitul Maqdis sebagai tempat tinggal. Ketika sakitnya makin berat, para sahabatnya menjenguk dan mendapatinya sedang menangis.
Mereka pun bertanya, "Apakah yang menjadikan engkau menangis? Bukankah engkau orang yangbegini dan begitu (menyebutkan berbagai macam kebaikan)."
"Demi Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal. Apa yang telah aku jalani, antara naik dan turun, ke surga atau ke neraka, aku tak tahu ke mana aku akan kembali."
Kemudian dia mengembuskan nafas terakhir. Sementara lidahnya basah dengan dzikrullah.
Amir bin Abdillah At-Tamimi meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan, sekitar akhir abad pertama Hijriyyah. la dimakamkan di Baitul Maqdis.
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق