"Manusia bisa menjadikan semua pekerjaan itu sebagai ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Peluang yang sangat besar untuk beribadah dan mengeskpresikan rasa syukur ini adalah karunia terbesar Allah kepada manusia."
Faktor yang Ketiga: Isti’anah adalah Ekspresi Ketergantungan Manusia
Mungkin kita bisa memahami seluruh dimensi dan keistimewaan yang terdapat dalam kalimat “iyyaka nasta’in” dari apa yang telah dijelaskan dalam kalimat “iyyaka na’budu”, karena perbedaan antara keduanya hanyalah pada kata “pertolongan” dan “ibadah”. Adapun dimensi lain yang berkaitan dengan struktur dan gaya bahasa sama mengesankan hal yang sama dengan apa yang sudah dikemukakan dalam “iyyaka nasta’in”, sehingga tidak perlu untuk diulangi kembali.
Isti’anah (meminta pertolongan Allah) termasuk salah satu unsur utama dalam proses kesempurnaan manusia seperti halnya ibadah. Ayat ini seolah mengingatkan manusia bahwa kesempurnaannya tidak akan terwujud hanya karena keinginannya, akan tetapi, pada hakikatnya, ia tidak bisa melakukan apapun kecuali dengan kehendak Allah Swt dan dengan pertolongan-Nya. Dan isti’anah ini bersifat mutlak mencakup semua keberadaannya.
Ketergantungan manusia terhadap Allah Swt adalah hal yang akan membuat isti’anah menjadi sebuah solusi atas apa yang tengah terjadi dalam dirinya, yaitu tumbuhnya perasaan yang lahir melalui “iyyaka na’budu” bahwa kehendaknya adalah kehendak yang independen dari kehendak Allah. Isti’anah akan menyadarkan hamba bahwa kehendaknya tunduk pada kehendak Allah Swt, terutama setelah kita membahas bahwa perjalanan kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan adanya kesesuaian antara kehendaknya dengan kehendak Allah, hal yang mengisyaratkan dengan jelas adanya dua iradah yang independen satu sama lain.
Hal ini ditegaskan al-Qur`an dalam berbagai ayatnya, al-Qur`an menjelaskan bahwa iradah yang menguasai semua kehendak dan keinginan adalah iradah Allah Swt. Allah berfirman:
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.”[56]
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”[57]
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah”.[58]
Selain itu, ekspresi yang diungkapkan melalui isti’anah akan mengobati manusia dari penyakit nafsu dan kecenderungan terhadap kelaliman, dimana ia merasa dirinya memiliki kehendak dan ikhtiar sendiri, dan terkadang mendorongnya untuk berbuat hal yang menyalahi iradah tasyri’iyyah Allah Swt.
Poin Kedua: Tujuan Tarbiyah dan Akidah
Bagian ini memuat beberapa persoalan tarbiyah dan akidah yang sangat penting, di antaranya:
Pertama: Tujuan Akidah
Penegasan tauhid dalam hal ibadah kepada Allah telah dikemukakan dalam “iyyaka na’budu” yang merupakan konsep dasar akidah Islam, sementara dalam “iyyaka nasta’in” menunjukkan ketergantungan manusia akan pertolongan Allah Swt dalam setiap amal dan perbuatannya. Ini juga adalah konsep akidah yang menjadi bukti bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat baru (karena memiliki ketergantungan terhadap pihak lain–pent) ciptaan Allah yang Maha Kaya.
Kedua: Tujuan Tarbiyah
1. Dari “iyyaka na’budu” kita bisa memahami konsep ibadah yang mutlak dan menyeluruh. Konsep ini menunjukkan bahwa seorang hamba bisa menjadikan semua perbuatannya bernilai ibadah, bahkan hingga perbuatan yang didasari keinginannya sendiri, seperti makan dan minum serta hasrat lainnya. Manusia bisa menjadikan semua pekerjaan itu sebagai ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Peluang yang sangat besar untuk beribadah dan mengeskpresikan rasa syukur ini adalah karunia terbesar Allah kepada manusia. Mungkin perbedaan utama antara para nabi dengan manusia biasa –selain para nabi terjaga dari perbuatan maksiat- adalah mereka selalu berupaya menjadikan seluruh gerak dan aktifitasnya sebagai ibadah kepada Allah.
2. Sesungguhnya setiap kali manusia mendekati kondisi ideal “iyyaka na’budu” dengan maknanya yang mutlak dan universal, dalam arti, ia menjadikan semua wujudnya tunduk kepada Allah, setiap kali itu pula ia semakin mendekat kepada Allah dan melesat naik menuju kesempurnaan, karena jalan menuju kesempurnaan mausia adalah ibadah yang dilakukan manusia secara merdeka atas dasar pilihannya.
3. Sesungguhnya manusia tidak memiliki wujud yang terlepas dari jamaahnya, dan kesempurnaan manusia, meskipun bisa dicapai melalui aktifitas individual, akan tetapi, ia hanya bisa mencapai kesempurnaan yang terbatas. Kesempurnaan yang utama hanya bisa dicapai melalui hidup bermasyarakat. Karena itulah, ia dibebani tugas untuk merubah masyarakat ke arah kesempurnaan.
4. Sesungguhnya manusia tidak akan mampu berjalan menuju kesempurnaan hanya dengan bergantung pada iradah dan ikhitarnya sendiri, akan tetapi, ia harus meminta pertolongan Allah Swt, meskipun ia seorang ahli ibadah yang terpilih. Masa depan dan nasibnya tergadai dalam kekuasaan Allah Swt. Ia sama sekali tidak bisa menentukan nasibnya sendiri, karena seluruh kehendaknya harus sesuai dengan iradah tasyriiyyah Allah. Dan hal ini tidak akan tercapai kecuali melalui pertolongan ilahi.
BAGIAN KETIGA
Meliputi firman Allah Swt,
“tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”[59]
Ada dua poin utama yang menjadi pembahasan dalam hal ini:
Poin Pertama: Kandungan umum
Bagian ini memiliki keterkaitan erat dengan bagian sebelumnya, karena dalam bagian ini berisi doa seorang hamba kepada Allah Swt. Doa ini merupakan tujuan dan target perjalanan kesempurnaan manusia yang telah ditetapkan dalam bagian pertama dan kedua. Karena, setiap proses kesempurnaan harus memiliki tujuan dan target, dan tujuan itulah yang dibicarakan dalam bagian terakhir ini. Selain itu, bagian ini juga merupakan cerminan bahwa manusia memang sangat membutuhkan Allah, doa dalam bagian ini adalah ekspresi dari ketergantungan manusia terhadap Allah. Dengan demikian, terlihat jelas hubungan erat antara bagian ini dengan dua bagian sebelumnya.
Bagian ini mengisyaratkan sejumlah makna yang sangat luhur, di antaranya:
Pertama: Kesempurnaan adalah salah satu fitrah manusia
Sesungguhnya kesempurnaan adalah corak dan fitrah manusia yang diekspresikan melalui kehendak dan ikhtiarnya, jika tidak, maka manusia tidak akan memiliki doa dan permintaan. Allah Swt telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan, kemudian membebaninya dengan berbagai peribadatan dan memberikan pertolongan agar manusia mampu melaksanakan ibadah ini, karena manusia memang sangat membutuhkannya. Jika tidak ada kecenderungan fitrah menuju kesempurnaan, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan Allah lebih lanjut sebagaimana
Dengan kecenderungan ini, manusia berbeda dengan makhluk lain, meskipun makhluk lain juga memiliki perjalanannya menuju kesempurnaan, hanya saja, mereka tunduk pada aturan iradah takwiniyyah Allah, melalui aturan itulah mereka berjalan menuju perkembangan dan kesempurnaannya. Dilihat dari segi ini, manusia juga menuju kesempurnaannya melalui aturan iradah takwiniyyah Allah, mulai dari air mani, segumpal darah, embrio...
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.”[60]
Ciri khas kesempurnaan dan perkembangan, meskipun bersifat universal karena merupakan ungkapan kesempurnaan ilahi, dan segala sesuatu yang berasal dari Allah memiliki sifat kesempurnaan dan kebaikan, hanya saja, kesempurnaan itu dilihat dari segi iradah takwiniyah. Adapun kesempurnaan yang berbasis kehendak bebas adalah ciri khas kesempurnaan manusia, kesempurnaan ini merupakan corak fitrah dalam manusia yang mendorongnya untuk meminta pertolongan lebih dari Allah Swt.
Kedua: Pertolongan Ilahi adalah sarana mencapai tujuan
Sesungguhnya penafsiran kebutuhan manusia akan tambahan hidayah, bahkan setelah ia mendapatkan petunjuk dan tekun beribadah dan meminta pertolongan Allah Swt. Memang manusia telah dibekali alat-alat internal untuk mencapai hidayah Allah seperti akal yang menuntunnya kepada hal yang utama dan fitrah yang menjadikannya berbalik menghadap Allah. Manusia seacara fitrah selalu cenderung pada kesempurnaan, seperti yang telah kami sebutkan, dan Allah adalah kesempurnaan mutlak, karena itu, fitrahnya akan mendorong manusia menuju kepada Allah.
Meskipun demikian, manusia tetap membutuhkan petunjuk eksternal, karena akal dan fitrah tidak mampu untuk mewujudkan hidayah yang sempurna serta tingkatan yang luhur dalam kedekatan diri dengan Allah Swt.
Dan hidayah eksternal ini bisa datang dalam dua jenis; terkadang berbentuk wahyu ilahi, kitab-kitab langit, risalah ilahiyah yang dibawa para nabi dan rasul atau melalui campur tangan Allah secara langsung dalam memberikan hidayah.
Tidak ragu lagi bahwa manusia selalu merasa butuh kepada hidayah eksternal jenis kedua, yaitu hidayah yang banyak disebut para mufassir sebagai taufik Ilahi. Karena manusia sadar, jika hanya mengandalkan akal dan fitrah manusia, demikian juga hidayah melalui risalah Ilahi yang dibawa para nabi dan rasul, terkadang tidak cukup, meskipun semua itu sudah cukup menjadi hujjah bagi Allah kelak di hari kiamat, karena terhalangnya manusia dari hidayah terkadang diakibatkan kekeraskepalaan dan pembangkangan manusia.
Al-Qur`an telah mengisyaratkan hakikat ini dalam berbagai ayatnya yang menegaskan bahwa hidayah adalah kehendak ilahi:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”[61] “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.”[62] “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya.”[63]
Masih banyak lagi ayat-ayat senada. Al-Qur`an juga banyak menceritakan bahwa hidayah tidak diperuntukan bagi orang-orang munafik, kafir dan zalim.
Selain itu, al-Qur`an juga memaparkan bahwa hidayah adalah salah satu sebab bertambahnya hidayah ilahiyyah, seperti dalam firman Allah:
Tidak ragu lagi bahwa hidayah ini bukan hidayah ilahiyah yang direalisasikan dalam pengutusan para nabi dan rasul atau menurunkan kitab-kitab langit. Manusia sangat membutuhkan –setelah berbagai macam hidayah ini- bimbingan dan pertolongan Allah Swt serta taufiq khusus agar ia sampai kepada tujuan yang paling puncak. Bimbingan inilah yang dipinta manusia kepada Allah melalui bagian ketiga dari surah yang mulia ini. Permintaan ini selain mengungkapkan kecenderungan manusia untuk menuju kearah kesempurnaan juga mengungkapkan sejauh mana manusia membutuhkan hidayah Ilahi. Inilah salah satu bukti isti’anah dalam firman Allah Swt “hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”.
Ketiga: Corak Fitrah
Al-Qur`an mensifati tujuan yang dicari manusia dengan istilah “shirath al-mustaqim”, dan kita akan bahas dalam salah satu tema dibawah ini mengenai maksud dari shirat al-mustaqim. Al-Qur`an telah mensifati beberapa dimensi dan sifat shirat al-mustaqim dalam bagian yang mulia ini, akan tetapi, yang ingin kami isyaratkan disini adalah titik temu yang berkaitan dengan uslub al-Qur`an yang membutuhkan pembahasan tersendiri. Titik ini dimulai dari fakta bahwa al-Qur`an senantiasa menggunakan kata-kata, sifat-sifat serta istilah-istilah yang sesuai dengan fitrah manusia dan disenanginya, agar makna yang terkandung menjadi lebih dalam dan membekas dalam jiwa manusia. seperti penggunaan lafadz “wasath” dalam firman Allah, “dan Kami jadikan kalian sebagai ummat wasathan (pertengahan) agar kalian menjadi saksi atas manusia.”[66] Kemudian lafazh “’adl” seperti dalam firman Allah, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat”[67], lafazh “al-qisth” seperti dalam firman Allah, “dan jika engkau menghukumi diantara manusia , maka putuskanlah dengan al-qisth (adil)”[68], serta lafazh-lafazh lain yang disukai manusia dan sesuai dengan fitrahnya yang lurus.
Al-Qur`an telah mensifati jalan menuju hidayah dengan al-mustaqim. Kata istiqamah adalah kata yang disukai manusia yang berfitrah lurus, jiwanya cenderung kepadanya dan sesuai dengan fitrahnya. Ketika al-Qur`an mengemukakan sifat bagi jalan, al-Qur`an ingin mengisyaratkan bahwa jalan yang diminta manusia adalah jalan yang sesuai dan integral dengan fitrahnya dan menyampaikan manusia pada tujuan kesempurnaannya.
Hal ini sesuai dengan apa yang dipahami manusia dengan nalurinya, bahwa istiqamah adalah ungkapan untuk margin terpendek antara dua titik dan jalan yang lurus adalah rute terpendek yang bisa menyampaikan pada tujuan. Dengan demikian, jalan hidayah ditambah dengan fitrah yang lurus adalah jalan terpendek dan tercepat yang bisa menyampaikan manusia kepada Allah Swt.
Kesesuaian dengan fitrah ini bisa kita temukan dalam sifat yang ditentukan al-Qur`an bagi jalan yang lurus, karena al-Qur`an nenempatkan sifat pertama, “yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat.” Jelas bahwa perjalanan manusia pada jalan orang-orang yang diberi nikmat dan keutamaan Allah adalah hal yang sesuai dengan fitrah dan disukainya, terlepas dari berbagai makna yang dicakup sifat ini menurut para mufassir.
Hal ini juga bisa kita temukan dalam sifat kedua dan ketiga untuk shirat al-mustaqim, “bukannya jalan orang-orang yang dibenci dan bukan pula orang-orang yang sesat”, karena secara fitrah, manusia akan menolak konsep dimana jalannya adalah jalan orang yang dibenci dan diancam Allah, atau, orang-orang yang meniti jalan kesesatan, keraguan dan kebingungan serta keluar dari jalan yang lurus.
Dengan uslub ini, al-Qur`an mengemukakan makna akidah dan tarbiyah dengan pola yang sesuai dengan fitrah ilahiyah. Selain itu, pendeskripsian jalan yang dipinta dengan beberapa sifat dan batasan-batasan fitrah, sesuai dengan kandungan do’a “tunjukilah kami..” yang memberikan kesan bahwa, secara fitrah, manusia selalu membutuhkan Allah menuju kesempurnaan dan kemajuan.
Keempat: Sifat objektif shirath al-mustaqim
Al-Qur`an tidak hanya menyifati shirat al-mustaqim dengan sesuatu yang sesuai fitrah, akan tetapi melalui bagian ini al-Qur`an juga menyebutkan sifat-sifat objektif bagi shirat al-mustaqim melalui cakupan eksternalnya; satu positif dan dua negatif.
Sifat objektif yang positif tercermin dalam dua hal:
1. Suri tauladan yang baik
Keteladanan ini tercakup dalam firman Allah, “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka” yang ditafsirkan sebagai para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin. Dengan demikian, al-Qur`an mensifati shirat melalui contoh ideal dalam kehidupan manusia, yaitu orang-orang yang berjalan di atas jalan lurus ini, seperti para nabi, syuhada, shiddiqin dan shalihin serta menjadikan mereka sebagai suri tauladan.
Ayat ini mengisyaratkan pentingnya peran keteladanan yang luhur dalam proses tarbiyah dan hidayah manusia. Karena, salah satu metode dasar berdakwah dalam Islam adalah keteladanan yang baik. Pada kenyataannya, hidayah tidak akan terwujud hanya dengan mentransfer konsep dan pemahaman, akan tetapi keteladanan menjadi unsur pokok dalam metode ini. Ketika al-Qur`an ingin mensifati shirat al-mustaqim, maka al-Qur`an pun mensifatinya melalui keteladanan orang-orang yang telah diberikan karunia.
2. Syariat Ilahi
Ketika al-Qur`an menampilkan shirath ini sebagai jalannya para nabi, dengan demikian, dalam ayat ini al-Qur`an telah mengisyaratkan bahwa syariah yang dibawa oleh para nabi dari Allah Swt, pada saat yang bersamaan, datang dibarengi konsep akidah lain yang sangat penting, yaitu konsep nubuwwah (kenabian), dimana, syariat hanya ada jika mereka yang membawanya disifati dengan nubuwwah.
Hidayah akal dan fitrah tidaklah cukup untuk mengantarkan manusia kepada tujuan puncak dalam perjalanan kesempurnaannya, meskipun akal dan fitrah mampu menemukan jalan untuk menuju kepadanya. Karena itu, adalah hal yang niscaya jika manusia membutuhkan hidayah rabbaniyah untuk meniti jalan yang lurus, sehingga ia sampai kepada Allah Swt dan tujuan kesempurnaannya yang luhur.
Konsep keteladanan yang luhur dalam firman Allah, “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka” yang kemudian ditafsirkan sebagai para nabi dan orang-orang yang berjalan diatas jalannya, mencakup konsep wahyu ilahi yang merupakan salah satu ciri khas para nabi dan risalah atau yang disebut “garis kenabian”. Melalui hidayah rabbainiyyah ini, manusia akan mencapai tujuan kesempurnaannya.
Kedua sifat objektif negatif yang diungkapkan dalam hal-hal berikut:
1. Dalam kalimat “bukan jalannya orang-orang yang dibenci”. Kalimat ini mengekspresikan adanya pembangkangan, kesombongan dan keangkaramurkaan, karena al-Qur`an menggunakan istilah “kemurkaan Tuhan” dalam keadaan ini. Kondisi ini (kondisi dalam kebencian Tuhan), meskipun termasuk salah satu atibut yang melekat pada jiwa manusia, hanya saja mempunyai wujud obyektif yang bisa dipilah dan dikenali, sehingga kondisi ini kemudian digunakan untuk mensifati shirat al-mustaqim. Manusia yang berada dalam kondisi tersebut, jelas tidak berada dalam shirat al-mustaqim dan kondisi tersebut tidak mungkin terjadi pada seseorang yang berjalan diatas shirat al-mustaqim. Dengan demikian, kondisi ini membentuk salah satu dari dua sisi negatif, yaitu sifat angkara murka, kesombongan dan pembangkangan.
2. Dalam kalimat “bukan pula orang-orang yang sesat”, dimana kalimat ini menggambarkan sebuah keadaan yang melenceng atau keluar dari shirath, kehilangan arah, bingung dan ragu-ragu. Kondisi ini bisa dirasakan manusia dalam dirinya ketika ia merasa bingung, ragu dan bimbang, kemudian ia kehilangan arah dan kejelasan dalam perjalanannya. Saat itulah ia menyadari dirinya tidak berada dalam shirat al-mustaqim, karena, kondisi seperti ini tidak mungkin ada saat ia berjalan diatas shirat al-mustaqim. Dari sinilah dipahami sifat objektf negatif yang kedua untuk shirat al-mustaqim.
Dengan demikian, shirat al-mustaqim dikelilingi batasan-batasan, baik dalam dimensi positifnya yang tercermin dalam syariat, kitab dan keteladanan yang luhur, atau dalam dimensi negatifnya yang tercermin dalam keangkaramurkaan, kesombongan pembangkangan, keraguan dan kahilangan arah.
Poin Kedua: Kandungan Akidah dan Tarbiyah
Bagian yang suci ini menampilkan beberapa kandungan akidah dan tarbiyah, di antaranya:
Pertama: Kandungan Akidah
1. Bahwa Allah Swt telah menitipkan fitrah dalam diri manusia yang mendorongnya kearah kesempurnaan, hal ini berkaitan dengan teori al-Qur`an dalam memahami manusia. Dengan fitrah inilah manusia menjadi berbeda dengan mayoritas makhluk Allah di alam semesta ini.
Pemahaman ini menjadi latar belakang diutusnya para nabi dan rasul kepada manusia dan tidak untuk mayoritas makhluk lain, karena, mayoritas makhluk tidak memiliki corak fitrah seperti manusia. Allah hanya memberikan insting sebagai bekal mereka dalam mengarungi perjalanannya sebagai pemandu dan petunjuk. Dengan demikian, mereka tidak membutuhkan pengutusan para nabi dan rasul serta hidayah samawiyah (petunjuk Ilah)i. Berbeda dengan manusia yang memiliki corak fitrah menuju kesempurnaan dan perkembangan, memiliki kemampuan untuk mencapainya dengan karunia akal dan pengetahuan. Dengan bekal itulah manusia cenderung untuk berkembang dan bergerak ke arah kesempurnaan, maka, fungsi risalah langit bagi manusia adalah sebagai pemandu dan penjamin agar manusia tidak melenceng dari perjalannya.
Jika tidak ada risalah Ilahi, maka kecenderungan ini akan mendorong manusia ke arah aktifitas yang tidak jelas tujuan dan batasannya, sehingga berakhir dengan penyimpangan dari jalan menuju kesempurnaan.
2. Bagian ini menampilkan rangkaian garis nubuwwah (wahyu, para nabi dan kitab-kitab langit) dan peranannya dalam memberikan petunjuk bagi manusia.
3. Mengimani adanya taufik ilahi dan ri’ayah ilahiyyah (bimbingan Allah) dalam proses sampainya manusia kepada tujuan dan kesempurnaan. Karena, semua bawaan manusia (akal dan fitrah) demikian pula hidayah risalah ternyata tidak cukup untuk membawa manusia kepada tujuan dan kesempurnaannya --sebagaimana yang diisyaratkan konsep tafwidl israililyyah, yaitu konsep yang berpendapat bahwa Allah telah menciptakan manusia dan menyerahkan segala urusan sesuai kecakapan dan kemampuan manusia--, akan tetapi harus dibarengi dengan taufik Allah yang selalu dimohon dan dicari manusia dari Allah Swt.
4. Sesungguhnya perjalanan kesempurnaan manusia adalah perjalanan yang bersifat integral dengan model dan nilai fitrah yang dititipkan Allah Swt sebelumnya. Bibit kesempurnaan telah ada dalam diri manusia, bibit ini diciptakan Allah melalui pengajaran manusia akan nama-nama. Jika langkah dan perjalanannya integral dengan karakter bibit tersebut, maka keduanya akan saling melengkapi. Di sinilah peran agama dan syariat, yaitu menggambarkan langkah dan petunjuk jalan kesempurnaan yang integral dengan fitrah manusia.
Karena itu, agama Islam yang merupakan agama yang benar, adalah agama fitrah, Allah Swt berfirman:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) yang lurus, itulah fitrah yang diciptakan Allah atas manusia, tidak ada pergantian terhadap ciptaan Allah,demikianlah agama yang lurus.”[69]
Dari konsep fitrah inilah memancar konsep akal praktis, karena Allah telah membekali manusia kemampuan memahami yang baik dan yang buruk dengan tingkatan masing-masing. Pemahaman ini pada hakikatnya menjadi metode tertentu dalam perjalanan manusia, dimana akal menjadi salah satu faktor hidayah dan hujjah atas hukum-hukum syariat. Ini adalah pembahasan ilmu kalam berkaitan yang populer dengan persoalan “baik dan buruk menurut akal”.
Kedua: Kandungan Tarbiyah
Kandungan tarbiyah yang bisa kita simpulkan dari ayat ini adalah sebagai berikut:
1. Keteladanan yang baik dan fungsinya sebagai penyempurna peran konsep dan pemikiran dalam proses tarbiyah dan kesempurnaan manusia. Berdasarkan hal ini, kita bisa melihat, bahwa dakwah para nabi dalam manusia tidak terbatas pada mengemukakan ayat-ayat, konsep dan pemikiran, akan tetapi dakwah tergambar nyata dalam perilaku mereka –alaihimussalam- dan peran mereka dalam mempraktekkan konsep dan pemikiran tersebut dalam tataran praktis.
Karena itu, al-Qur`an sangat memperhatikan perintah untuk senantiasa mengikuti jejak mereka dan menceritakan kisah-kisah mereka. Al-Qur`an memerintahkan manusia untuk mentadabburi sikap mereka, kesabaran, dan keteguhannya serta bagaimana mereka berinteraksi dengan manusia, agar manusia mengambil pelajaran darinya. Hal ini menjadi sebuah metode praktis dalam dakwah kepada Allah Swt, karena manusia manapun, jika ingin memberikan pengaruh dalam manusia, maka tidaklah cukup dengan menjejali mereka dengan konsep dan pemikiran, akan tetapi harus diwujudkan dalam bentuk keteladanan perilaku. Dengan demikian, maka efek dakwah akan semakin besar.
2. Peran pengalaman praktis dalam keutuhan perjalanan
Sesungguhnya pengalaman praktis memiliki peran yang sangat penting dalam keutuhan konsep dan pemahaman hakikat, karena semua konsep dan pemahaman tidak akan sempurna kecuali melalui jendela pengalaman. Dalam kisah nabi Ibrahim, kita bisa melihat hal ini dengan jelas. Allah Swt berfirman:
Mungkin manusia akan sampai pada derajat keimanan malalui sebuah perintah yang disampaikan dalam bentuk teori dan konsep, akan tetapi keutuhan yang sempurna hanya akan dicapai melalui pengalaman praktis dari perintah tersebut.
Hakikat ini juga harus diterapkan dalam persoalan hidayah. Keutuhan konsep hidayah tidak akan sempurna kecuali melalui aplikasinya, ketika disebutkan “tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”, disebutkan pula pemahaman dari shirat al-mustaqim, kemudian setelah itu dijelaskan kondisi praktisnya dalam firman Allah “yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka..” melalui bentuk real dalam kehidupan manusia, yaitu “suri tauladan”. Dengan demikian, shirat al-mustaqim menjadi semakin jelas dan utuh.
3. Sesungguhnya sikap membangkang dan sombong, keraguan adalah kondisi kejiwaan dan ruhani yang biasa menghinggapi manusia dan menjadikannya sebagai objek kemurkaan Ilahi. Kemurkaan ini bisa dalam bentuk semakin gigihnya mereka dalam kesombongan dan pembangkangan, seperti dalam firman Allah, “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”[71] Dengan demikian, kesombongan dan pembangkangan memiliki efek kejiwaan dan pendidikan dalam kehidupan manusia, karena sikap tersebut akan menambah kemakisatannya kepada Allah Swt.
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق