Lebih kurang dua tahun sebelum Nabi Muhammad Saw. di Isra' Mi'raj-kan, Nabi mengalami keguncangan jiwa yang sangat mendalam. Kenapa tidak, beliau juga seorang manusia biasa seperti kita dalam merasa. Ketika itu, dalam tahun yang sama dan bulan yang sangat berdekatan paman Nabi (Abu Thalib) dan istrinya tercinta-Khadijah meninggal dunia.
Siapakah Abu Thalib? Sejauh mana peranannya dalam menjaga dan melindungi Nabi Muhammad? Di bulan Isra' Mi'raj ini layak untuk kita ungkapkan catatan sejarahnya. Pantaskah kita untuk mengatakan Abu Thalib bukan sebagai orang Islam lantaran beliau, menurut beberapa riwayat tidak sempat mengucapkan dua kalimat syahadat? Pantaskah kita mengatakan paman Nabi itu kafir? Rasanya terlalu tidak beretika dan tidak tahu diri kita akan besarnya jasa paman Nabi itu.
Abu Thalib adalah paman Nabi yang menjadi 'ayah asuh' Nabi sejak beliau kecil dan pelindung awal Nabi ketika memulai dakwah Islam. Di dalam kitab tarikh diceritakan ketika Muhammad kecil bersama pamannya berdagang ke kota Busrah, di sana keduanya bertemu dengan pendeta Nasrani. Saat itu umur Muhammad, 12 tahun. Pendeta itu melihat tanda nubuwah (kenabian) dalam diri Nabi. Pendeta itu khawatir jika itu diketahui orang Yahudi akan mengganggu keselamatan Nabi Muhammad kekhawatiran itu karena tanda-tanda kenabian itu tidak diturunkan kepada orang Yahudi tapi pada orang Quraisy. Abu Thalib mematuhi nasihat pendeta itu dan segera membawa Muhammad kecil kembali ke kota Makkah.
Catatan sejarah ini membuktikan, sebelum Muhammad kecil diangkat menjadi Nabi. Pamannya Abu Thalib sudah meyakini tanda-tanda kenabian Muhammad sebelum orang lain mengenal kenabiannya. Apakah wajar jika seorang tua yang mengangkat Muhammad kecil sebagai anaknya, kemudian mempercayainya untuk mendampinginya dalam berbisnis, lalu melindungi tanda-tanda kenabiannya agar selamat dari serangan orang kafir dan merawat hingga dewasa, kita meragukan keimanannya kepada kerasulan Nabi? Mungkin ada yang berpendapat, pamannya melindungi bukan karena tanda-tanda kenabiannya, tapi karena keponakannya yang memiliki hubungan darah kepadanya? Jika demikian halanya mengapa Abu Jahal yang juga pamannya membenci dan hendak membunuhnya? Jadi hemat saya Abu Thalib meyakini tanda kenabian Muhammad bukan saja karena hubungan darah tapi juga karena mengimani tanda-tanda kenabian Muhammad yang langsung ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, tanpa ragu sedikit pun.
Ketika orang-orang kafir Quraisy menggunakan berbagai macam cara untuk menghalangi dakwah Nabi, sampai kepada menawarkan iming-iming berupa jabatan, harta dan wanita. Jika Nabi menerimanya maka dia mendapatkan seluruh kemewahan duniawi yang diingini banyak orang, tapi karena tujuannya bukanlah ketiga hal tersebut maka ia menolaknya. Maka kemarahan orang kafir Quraisy dipimpin Abu Sofyan pun memuncak. Mereka lalu bermusyawarah dan bersepakat akan membunuh Nabi Muhammad, mereka menunjuk agar masing-masing kabilah (suku) mengutus utusannya dan dipilih orang yang paling kuat, paling gagah dan paling berani untuk membunuh Nabi. Akan tetapi sebelum mereka menyerang Nabi, mereka bersepakat mengirim utusan terakhir untuk disampaikan kepada Abu Thalib paman Nabi. Mereka pun pergi dan menghadap kepada paman Nabi dan menyampaikan keinginan mereka yang tegas bahwa jika Abu Thalib tidak bisa menghentikan keponakannya menyampaikan agama barunya itu, maka kami akan membunuhnya.
Berita itu membuat pamannya cemas, akhirnya ia memanggil keponakannya Muhammad dan berkata, Wahai Muhammad, orang-orang itu datang dan meminta kepadaku agar menyampaikan kepada engkau agar menghentikan agama barumu itu karena aku khawatir akan keselamatanmu. Nabi Muhammad menjawab, Wahai pamanku andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, aku tidak akan mundur selangkah pun meskipun aku hancur karenanya.' Ucapan Nabi yang demikian teguhnya membuat pamannya terharu, simpatik dan semakin yakin dengan kebenaran agama baru itu. Ketika orang-orang kafir Quraisy itu menemui paman Nabi untuk yang kesekian kalinya Abu Thalib berkata kepada mereka, Kalian tidak dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku. Dari catatan sejarah itu, awalnya Abu Thalib kelihatan berada pada posisi di tengah atau netral, namun setelah melihat sikap Nabi yang demikian meyakinkan dirinya membuat itu menjatuhkan pilihan untuk membela Nabi sampai titik darah penghabisan.
Peran Abu Thalib tidak hanya sampai dalam melindungi fisik Nabi, tapi memikirkan masa depan rumah tangga Nabi. Abu Thalib yang melakukan pendekatan dan meyakinkan agar Muhammad keponakannya menerima lamaran Khadijah, meskipun awalnya Nabi kelihatan ragu untuk menerima pinangan Khadijah, tapi karena peran Abu Thalib dalam meyakinkan Nabi bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang berbudi pekerti luhur dan memiliki kedudukan terhormat, maka Nabi menerima Khadijah sebagai istri. Berhasilnya peran Abu Thalib menghubungkan keduanya menjadi suami istri, membuat Nabi tidak saja disegani, tapi dihormati karena kedudukan Nabi yang berstatus sebagai orang yang berkecukupan secara finansial dan memiliki kedudukan yang terhormat karena menjadi suami dari seorang wanita yang kaya raya lagi disegani masyarakatnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan Abu Thaliblah yang memiliki jasa paling besar dalam mendidik Nabi dan memikirkan masa depannya. Sehingga Abu Thalib bukan saja sebagai sosok seorang paman, tapi juga sudah menjadi seperti seorang ayah bagi Nabi. Ketika pamannya meninggal, Nabi sangat terpukul dan bersedih, air mata beliau basah mengaliri pipinya, sambil mengusap kening pamannya, Nabi mendoakan agar pamannya diberikan imbalan yang sebaik-baiknya dari Allah karena jasanya yang demikian besar. Meninggalnya paman Beliau, sebulan kemudian istri Nabi Khadijah, meninggal dunia juga. Sehingga tahun itu menjadi tahun yang sangat penuh duka cita mendalam. Berbulan-bulan Nabi merasakan kepedihan hati. Sehingga tahun ini disebut dalam sejarah sebagai tahun duka cita ('amul huzni)
Abu Thalib Bukan Kafir
Apakah Abu Thalib seorang mukmin? Jawaban yang pantas kita ucapkan wallahualam bishawab. Inilah jawaban yang tepat, sehingga tidak pantas kita mengatakan bahwa Abu Thalib bukan seorang mukmin hanya karena kita bersandar pada riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa paman Nabi tidak sempat mengucapkan dua kalimat syahadat secara lisan, sebab boleh jadi hatinya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidaklah pantas kita menyebut-nyebut paman Nabi bukan golongan mukmin, karena perbuatan dan pembelaan Abu Thalib sendiri sudah melebihi seorang mukmin. Memang ada ayat yang turun mengatakan Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai dan akan tetapi Allah yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Ayat ini di dalam kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa asbabun nuzulnya sebagai berita kepada Nabi Muhammad bahwa yang dapat memberi hidayah kepada pamannya adalah Allah. Tapi hemat saya kita tidak bisa memutlakkan bahwa ayat itu dipahami, Abu Thalib tidak mendapat hidayah, karena secara eksplisit ayat itu tidak mengatakan bahwa Abu Thalib tidak mendapat hidayah. Lantas apa yang pantas untuk kita simpulkan adalah sebagaimana ungkapan seorang ulama yang bernama Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang ulama terkemuka di Makkah mengatakan Ékami sependapat dengan ulama yang memfatwakan bahwa mengkafirkan Abu Thalib adalah perbuatan atau pernyataan yang menyinggung dan menyakiti hati Rasulullah Saw. Karena andil kita dibandingkan dengan Abu Thalib barang kali belum seperseratusnya.
Akhirnya jika kita lihat ucapan-ucapan Abu Thalib dan perbuatannya serta perjuangannya pantaslah beliau disebut sebagai penolong Nabi Muhammad, orang yang menolong Nabi Muhammad pantas mendapat imbalan berupa kemuliaan dan derajat yang tinggi. Betapa tidak, orang yang mengucapkan shalawat kepada Nabi saja mendapatkan syafaat dan pertolongan dari Allah melalui permohonan Nabi kepada Allah Apalagi seorang Abu Thalib yang demikian sangat berjasa dalam menegakkan Islam di kota Makkah. Wallahu'alam bishawab.
Siapakah Abu Thalib? Sejauh mana peranannya dalam menjaga dan melindungi Nabi Muhammad? Di bulan Isra' Mi'raj ini layak untuk kita ungkapkan catatan sejarahnya. Pantaskah kita untuk mengatakan Abu Thalib bukan sebagai orang Islam lantaran beliau, menurut beberapa riwayat tidak sempat mengucapkan dua kalimat syahadat? Pantaskah kita mengatakan paman Nabi itu kafir? Rasanya terlalu tidak beretika dan tidak tahu diri kita akan besarnya jasa paman Nabi itu.
Abu Thalib adalah paman Nabi yang menjadi 'ayah asuh' Nabi sejak beliau kecil dan pelindung awal Nabi ketika memulai dakwah Islam. Di dalam kitab tarikh diceritakan ketika Muhammad kecil bersama pamannya berdagang ke kota Busrah, di sana keduanya bertemu dengan pendeta Nasrani. Saat itu umur Muhammad, 12 tahun. Pendeta itu melihat tanda nubuwah (kenabian) dalam diri Nabi. Pendeta itu khawatir jika itu diketahui orang Yahudi akan mengganggu keselamatan Nabi Muhammad kekhawatiran itu karena tanda-tanda kenabian itu tidak diturunkan kepada orang Yahudi tapi pada orang Quraisy. Abu Thalib mematuhi nasihat pendeta itu dan segera membawa Muhammad kecil kembali ke kota Makkah.
Catatan sejarah ini membuktikan, sebelum Muhammad kecil diangkat menjadi Nabi. Pamannya Abu Thalib sudah meyakini tanda-tanda kenabian Muhammad sebelum orang lain mengenal kenabiannya. Apakah wajar jika seorang tua yang mengangkat Muhammad kecil sebagai anaknya, kemudian mempercayainya untuk mendampinginya dalam berbisnis, lalu melindungi tanda-tanda kenabiannya agar selamat dari serangan orang kafir dan merawat hingga dewasa, kita meragukan keimanannya kepada kerasulan Nabi? Mungkin ada yang berpendapat, pamannya melindungi bukan karena tanda-tanda kenabiannya, tapi karena keponakannya yang memiliki hubungan darah kepadanya? Jika demikian halanya mengapa Abu Jahal yang juga pamannya membenci dan hendak membunuhnya? Jadi hemat saya Abu Thalib meyakini tanda kenabian Muhammad bukan saja karena hubungan darah tapi juga karena mengimani tanda-tanda kenabian Muhammad yang langsung ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, tanpa ragu sedikit pun.
Ketika orang-orang kafir Quraisy menggunakan berbagai macam cara untuk menghalangi dakwah Nabi, sampai kepada menawarkan iming-iming berupa jabatan, harta dan wanita. Jika Nabi menerimanya maka dia mendapatkan seluruh kemewahan duniawi yang diingini banyak orang, tapi karena tujuannya bukanlah ketiga hal tersebut maka ia menolaknya. Maka kemarahan orang kafir Quraisy dipimpin Abu Sofyan pun memuncak. Mereka lalu bermusyawarah dan bersepakat akan membunuh Nabi Muhammad, mereka menunjuk agar masing-masing kabilah (suku) mengutus utusannya dan dipilih orang yang paling kuat, paling gagah dan paling berani untuk membunuh Nabi. Akan tetapi sebelum mereka menyerang Nabi, mereka bersepakat mengirim utusan terakhir untuk disampaikan kepada Abu Thalib paman Nabi. Mereka pun pergi dan menghadap kepada paman Nabi dan menyampaikan keinginan mereka yang tegas bahwa jika Abu Thalib tidak bisa menghentikan keponakannya menyampaikan agama barunya itu, maka kami akan membunuhnya.
Berita itu membuat pamannya cemas, akhirnya ia memanggil keponakannya Muhammad dan berkata, Wahai Muhammad, orang-orang itu datang dan meminta kepadaku agar menyampaikan kepada engkau agar menghentikan agama barumu itu karena aku khawatir akan keselamatanmu. Nabi Muhammad menjawab, Wahai pamanku andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, aku tidak akan mundur selangkah pun meskipun aku hancur karenanya.' Ucapan Nabi yang demikian teguhnya membuat pamannya terharu, simpatik dan semakin yakin dengan kebenaran agama baru itu. Ketika orang-orang kafir Quraisy itu menemui paman Nabi untuk yang kesekian kalinya Abu Thalib berkata kepada mereka, Kalian tidak dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku. Dari catatan sejarah itu, awalnya Abu Thalib kelihatan berada pada posisi di tengah atau netral, namun setelah melihat sikap Nabi yang demikian meyakinkan dirinya membuat itu menjatuhkan pilihan untuk membela Nabi sampai titik darah penghabisan.
Peran Abu Thalib tidak hanya sampai dalam melindungi fisik Nabi, tapi memikirkan masa depan rumah tangga Nabi. Abu Thalib yang melakukan pendekatan dan meyakinkan agar Muhammad keponakannya menerima lamaran Khadijah, meskipun awalnya Nabi kelihatan ragu untuk menerima pinangan Khadijah, tapi karena peran Abu Thalib dalam meyakinkan Nabi bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang berbudi pekerti luhur dan memiliki kedudukan terhormat, maka Nabi menerima Khadijah sebagai istri. Berhasilnya peran Abu Thalib menghubungkan keduanya menjadi suami istri, membuat Nabi tidak saja disegani, tapi dihormati karena kedudukan Nabi yang berstatus sebagai orang yang berkecukupan secara finansial dan memiliki kedudukan yang terhormat karena menjadi suami dari seorang wanita yang kaya raya lagi disegani masyarakatnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan Abu Thaliblah yang memiliki jasa paling besar dalam mendidik Nabi dan memikirkan masa depannya. Sehingga Abu Thalib bukan saja sebagai sosok seorang paman, tapi juga sudah menjadi seperti seorang ayah bagi Nabi. Ketika pamannya meninggal, Nabi sangat terpukul dan bersedih, air mata beliau basah mengaliri pipinya, sambil mengusap kening pamannya, Nabi mendoakan agar pamannya diberikan imbalan yang sebaik-baiknya dari Allah karena jasanya yang demikian besar. Meninggalnya paman Beliau, sebulan kemudian istri Nabi Khadijah, meninggal dunia juga. Sehingga tahun itu menjadi tahun yang sangat penuh duka cita mendalam. Berbulan-bulan Nabi merasakan kepedihan hati. Sehingga tahun ini disebut dalam sejarah sebagai tahun duka cita ('amul huzni)
Abu Thalib Bukan Kafir
Apakah Abu Thalib seorang mukmin? Jawaban yang pantas kita ucapkan wallahualam bishawab. Inilah jawaban yang tepat, sehingga tidak pantas kita mengatakan bahwa Abu Thalib bukan seorang mukmin hanya karena kita bersandar pada riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa paman Nabi tidak sempat mengucapkan dua kalimat syahadat secara lisan, sebab boleh jadi hatinya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidaklah pantas kita menyebut-nyebut paman Nabi bukan golongan mukmin, karena perbuatan dan pembelaan Abu Thalib sendiri sudah melebihi seorang mukmin. Memang ada ayat yang turun mengatakan Dan sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau cintai dan akan tetapi Allah yang memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Ayat ini di dalam kitab-kitab tafsir disebutkan bahwa asbabun nuzulnya sebagai berita kepada Nabi Muhammad bahwa yang dapat memberi hidayah kepada pamannya adalah Allah. Tapi hemat saya kita tidak bisa memutlakkan bahwa ayat itu dipahami, Abu Thalib tidak mendapat hidayah, karena secara eksplisit ayat itu tidak mengatakan bahwa Abu Thalib tidak mendapat hidayah. Lantas apa yang pantas untuk kita simpulkan adalah sebagaimana ungkapan seorang ulama yang bernama Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang ulama terkemuka di Makkah mengatakan Ékami sependapat dengan ulama yang memfatwakan bahwa mengkafirkan Abu Thalib adalah perbuatan atau pernyataan yang menyinggung dan menyakiti hati Rasulullah Saw. Karena andil kita dibandingkan dengan Abu Thalib barang kali belum seperseratusnya.
Akhirnya jika kita lihat ucapan-ucapan Abu Thalib dan perbuatannya serta perjuangannya pantaslah beliau disebut sebagai penolong Nabi Muhammad, orang yang menolong Nabi Muhammad pantas mendapat imbalan berupa kemuliaan dan derajat yang tinggi. Betapa tidak, orang yang mengucapkan shalawat kepada Nabi saja mendapatkan syafaat dan pertolongan dari Allah melalui permohonan Nabi kepada Allah Apalagi seorang Abu Thalib yang demikian sangat berjasa dalam menegakkan Islam di kota Makkah. Wallahu'alam bishawab.
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق