Rasulullah salallhau ‘alaihi wasallam mengucapkan dalam doanya untuk Sa’d,
اَللّهُمَّ سَدِّدْ رَمْيَتَهُ وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ“Ya Allah, tepatkan lemparan panahnya dan kabulkan doanya.”*
Amirul Mu’minin al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu menunggang kudanya dalam suatu rombongan para sahabatnya, dan dia memutuskan untuk memimpin pasukan Islam dalam suatu peperangan yang menentukan melawan Persia yang ber-agama Majusi yang benci terhadap Islam dan kaum muslimin. Beliau menyerahkan pemerintahan sementara atas kota Madinah kepada Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Tetapi sebelum meninggalkan Madinah, sebagian sahabat berpendapat agar al-Faruq kembali ke Madinah (Ibu Kota Khilafah) dan menunjuk orang lain untuk kepentingan ini. Pendapat ini diprakarsai oleh Abdurrahman bin Auf radhiyallahu’anhu. Penyebabnya ialah kekhawatiran mereka terhadap al-Faruq dan melindunginya. Siapakah yang lengah terhadap al-Faruq?!
Al-Faruq memahami pendapat ini, dan bertanya kepada para sahabatnya, “Menurut kalian, siapakah yang akan kami utus ke Irak?” Semuanya diam berpikir. Tiba-tiba Abdurrahman bin Auf radhiyallahu’anhu berteriak, “Aku mendapatkannya.” Umar bertanya, “Siapakah dia?” Abdurrahman menjawab, “Singa yang ganas dengan cakarnya, Sa’d bin Malik az-Zuhri.” Yaitu Sa’d bin Abi Waqqash. Siapakah Sa’d bin Abi Waqqash? Siapakah Singa yang ganas dengan cakar-cakarnya? Siapakah orang ini yang ketika datang kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan beliau di tengah para sahabatnya, maka beliau menghormati dan mencandainya seraya berkata,
هذَا خَالِيْ، فَلْيَرِنِيْ امْرُؤٌ خَالَهُ“Ini pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan paman-nya kepadaku.” (HR. al-Hakim, 3/ 498)
Ia adalah Sa’d bin Abi Waqqash. Pamannya bernama Uhaib bin Manaf, paman Sayyidah Aminah ibunda Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Ia masuk Islam pada saat berusia 17 tahun, dan keislamannya tergolong awal. Ia bercerita tentang dirinya, “Suatu hari datang padaku, dan aku adalah orang ketiga dari tiga orang yang per-tama kali masuk Islam.”
Ia adalah orang pertama yang memanah dalam Islam, dan orang pertama yang terkena panah juga. Ia juga satu-satunya orang yang diberi tebusan oleh Rasulullah pada saat perang Uhud dengan kedua ibu bapaknya. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Aku pernah mendengar beliau Salallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari perang Uhud, “Aku tidak pernah mendengarr Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam memberikan tebusan kepada seseorang dengan kedua orang tuanya kecuali Sa’d,
اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ“Panahlah, wahai Sa’d… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755)
Ia memiliki dua senjata ampuh yaitu panah dan doanya. Rasulullah pernah mendoakan untuknya dengan doa ini,
اَللّهُمَّ سَدِّدْ رَمْيَتَهُ، وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ“Ya Allah, tepatkan lemparan anak panahnya, dan kabulkanlah doanya.”( HR. al-Hakim, 3/ 500 dan al-Kanz, no. 36644)
Ketika ia mengumumkan keislamannya, ibunya berusaha menghalanginya dan menyatakan mogok makan dan minum. Sa’d tidak peduli serta tidak menjual keimanannya dan agama-nya dengan sesuatu pun bahkan kehidupan ibunya sekalipun. Ketika ibunya hampir mati, ia pergi untuk menjenguknya, setelah sebagian sahabatnya mencegahnya karena khawatir hatinya men-jadi lunak ketika melihat keadaan ibunya. Ini suatu pemandangan yang mampu mencairkan batu cadas. Tetapi ia berkata kepada ibunya, “Engkau tahu, demi Allah, wahai ibu. Seandainya engkau punya seratus nyawa lalu nyawa tersebut keluar satu persatu, aku tetap tidak akan meninggalkan agamaku ini karena sesuatu pun. Makanlah jika engkau suka, atau tidak makan.” Sejak itu-lah ibunya meninggalkan tekadnya itu. Apabila Sa’d mendengar Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam memberi nasihat dan berkhutbah kepada para sahabatnya, maka kedua mata beliau mengalirkan air mata hingga nyaris air matanya memenuhi pangkuannya.
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam memandang wajah-wajah sahabatnya, dan berkata kepada mereka,
يَطَّلِعُ عَلَيْكُمُ اْلآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ“Akan muncul di hadapan kalian sekarang seorang dari ahli surga.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3747, dengan lafazh yang semakna )
Beberapa saat kemudian, Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu’anhu muncul di hadapan mereka.
Menjelang perang Qadisiyyah, setelah delegasinya kembali dari Rustum untuk mengabarkan kepadanya bahwa yang dipilih adalah perang, maka kedua matanya penuh dengan air mata. Sebenarnya ia menginginkan agar perang diundurkan sementara waktu atau dimajukan sedikit, karena sakit yang menimpanya cukup parah. Bisul-bisul memenuhi tubuhnya sehingga tidak dapat duduk. Ketika ia pergi dan berdiri di tengah pasukannya untuk memberikan orasi, ia memulai orasinya dengan sebuah ayat al-Qur’an. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,”Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang shalih.” (Al-Anbiya’: 105)
Kemudian ia shalat Zhuhur bersama pasukan, lalu bertakbir empat kali, kemudian memerintahkan para prajurit dengan ucapan, “Mari kita menuju keberkahan Allah.” Pasukan Persia pun berjatuhan seperti lalat, dan berjatuhan pula bersama mere-ka kaum Majusi serta para penyembah api.
Pada suatu hari, pada tahun 54 H, dan usia Sa’d telah mencapai 80 tahun; Di sana, di rumahnya, di ‘Aqiq, ia bersiap untuk berjumpa Allah Subhanahu Wata’ala.
Putranya meriwayatkan kepada kita detik-detik terakhir kehidupannya. Katanya, “Kepala ayah di pangkuanku pada saat sekarat, maka aku pun menangis. Ayah bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis, wahai putraku? Sesungguhnya Allah tidak akan mengadzabku selamanya dan aku termasuk ahli surga.” Karena Rasulullah Salallhu ‘alaihi wasallam telah memberi kabar gembira kepadanya dengan surga. Kalau begitu, untuk apa takut?!
Ia ingin berjumpa Allah Subhanahu Wata’ala dengan membawa kenangan paling indah yang telah dikumpulkannya dengan agamanya dan dicapainya berkah Rasulullah. Ia mengisyaratkan tangannya ke lemari, lalu mereka membukanya. Kemudian mereka mengeluarkan darinya sebuah selendang usang. Lalu ia memerintahkan kepada keluarganya agar mengkafaninya dengan kain tersebut, seraya berkata, “Sungguh aku bertemu kaum musyrikin dengan membawa selendang itu pada perang Badar. Dan sungguh aku telah menyimpannya untuk hari ini.”
Di atas pundak kaum laki-laki, dipikullah ke Madinah sesosok jasad akhir Muhajirin dalam keadaan sudah mati, untuk disemayamkan di tengah golongan yang suci yaitu para sahabat-nya yang lebih dahulu berpulang ke haribaan Allah Subhanahu Wata’ala. Jasad-jasad mereka yang keras mendapat ketentraman di tanah al-Baqi’.
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق