Tragedi pembantaian di Bi’r Ma’unah terhadap tujuh puluh orang delegasi Rasulullah yang beliau kirimkan untuk kabilah-kabilah di kawasan Najd yang dilakukan oleh Bani Ushayyah, Ri’l, Lihyan, dan Dzakwan, masih belum dapat dilupakan oleh warga Madinah. Selama satu bulan, pasca pembantaian itu, Rasulullah dan kaum muslimin melaksanakan qunut nazilah pada setiap shalat maghrib dan shubuh, berdoa kepada Allah agar menimpakan malapetaka kepada mereka. Setelah itu, beliau mengirimkan pasukan untuk menyerang mereka.
Rasulullah bergerak bersama pasukan dan memandatkan tanggung jawab Madinah kepada Abu Dzar al-Ghifari. Setibanya di wilayah Najd, Rasulullah menempatkan pasukannya di daerah bernama Nakhl, dekat wilayah Ghathafan. Orang-orang Najd sudah mengetahui kedatangan pasukan Madinah, dan mereka juga sudah siap menghadapi serangan itu. Tetapi, tiba-tiba, nyali mereka menjadi ciut, padahal jumlah mereka lebih besar daripada pasukan Madinah. Mereka kemudian menjauhi pasukan Madinah dengan penuh kengerian. Perang pun tidak sampai terjadi.
Meskipun perang urung terjadi, ada beberapa kisah menarik terkait dengan perang ini. Salah satunya adalah seperti yang disebutkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam karya mereka. Abu Musa al-Asy’ari mengisahkan bahwa dirinya dengan enam orang sahabat lainnya mengiringi Rasulullah dalam beberapa peperangan. Enam orang itu secara bergantian naik satu unta. Jika satu naik, yang lainnya berjalan kaki. Ketika menuju Najd juga demikian. Ganti-gantian menunggang unta itu sampai membuat kaki-kaki mereka terluka, bahkan beberapa kuku Abu Musa tanggal, sehingga mereka pun membalut kaki mereka dengan potongan-potongan kain. Dalam bahasa Arab, kain disebut dengan ‘riqa’, sehingga perang di Najd—meski tidak jadi—disebut dengan Perang Dzatur Riqa’, yang berarti banyaknya kain yang dibalutkan di kaki-kaki mereka.
Masih cerita tentang Perang Dzatur Riqa, selama masa-masa di Najd, Rasulullah suatu saat beristirahat di bawah pohon, sementara para sahabat yang lainnya berpencar di tempat lain. Di pohon itu, beliau menggantungkan pedangnya. Tidak lama kemudian, Rasulullah memanggil para sahabatnya. Para sahabat pun mendatangi beliau. Tiba-tiba mereka terkejut ketika melihat di hadapan beliau ada seorang badui yang menggenggam pedang yang digantung di pohon tadi. Ternyata, ketika beliau tengah tertidur, orang badui itu mengambil pedang tersebut, kemudian membangunkan beliau dan mengacungkannya ke arah beliau, sambil mengatakan, “Siapa yang dapat melindungimu dariku?” Beliau menjawab, “Allah.” Orang badui itu pun gemetar, kemudian jatuh, dengan bertumpu lutut, berkeringat dingin. Orang badui itu tadinya berniat membunuh beliau, tetapi ia tidak sanggup mendengar beliau mengatakan ‘Allah’ dengan mantapnya. Namun, meski begitu, beliau tidak menghukum oran tersebut.
Selama di Najd, beberapa kali terjadi insiden kecil antara orang-orang Najd dengan pasukan Madinah. Dalam sebuah insiden, seorang wanita Najd kedapatan terbunuh. Ketika kaum muslimin meninggalkan tempat insiden itu, sang suami wanita itu marah besar ketika mendapati istrinya terbunuh. Ia kemudian mengejar kaum muslimin. Sementara itu, kaum muslimin tengah berada di sebuah lembah dan beristirahat.
Di tempat itu, dua orang, satu dari Muhajirin dan satunya lagi dari Anshar sepakat untuk bergantian berjaga-jaga malam. Giliran jaga pertama adalah orang Anshar. Ketika itulah, suami perempuan yang terbunuh itu sampai di lembah. Dalam keremangan malam ia melihat orang Anshar yang tengah berjaga-jaga tengah berdiri mengerjakan shalat. Tanpa pikir panjang, orang itu pun melesatkan anak panahnya ke arah orang Anshar. Anak panah itu tepat mengenai tubuh orang Anshar itu, tapi ia tetap berdiri, dan mencabut panah dari tubuhnya. Panah kedua hingga ketika pun dilesatkan dan mengenai tubuh orang Anshar, tapi ia tetap tidak meneruskan shalatnya, dan mencabut anak anak panah itu dari tubuhnya. Setelah shalat, ia membangunkan orang Muhajirin untuk giliran jaga. Ia berkata, “Duduklah engkau, aku sudah dari tadi bertahan.”
Orang Muhajirin itu pun bangun dan berdiri. Melihat bahwa ternyata ada dua orang, suami wanita yang memanah orang Anshar itu pun langsung kabur melarikan diri. Orang Muhajirin itu melihatnya, namun tidak mengejarnya. Sesaat kemudian, orang Muhajirin itu terkejut ada tiga anak panah berdarah tergeletak di tempat sahabat Anshar tadi berjaga. Ia pun menoleh ke arah sahabat Ansharnya itu, dan melihatnya yang tengah berbaring itu bersimbah darah. Ia pun segera mendekatinya, lalu mengatakan, “Kenapa engkau tidak membangunkanku tadi sejak pertama kali engkau terpanah?” Sahabat Anshar itu menjawab, “Saat itu aku sedang membaca sebuah surat Alquran, dan aku tidak ingin memutus bacaanku. Ketika tiga anak panah menancap di tubuhku, aku mencabutnya satu satu, lalu aku ruku hingga bisa menyelesaikan shalat, lalu membangunkanmu. Sungguh, demi Allah, andaikata bukan karena takut melalaikan tempat di lembah yang Rasulullah perintahkan aku untuk menjaganya, pasti nyawaku sudah melayang sebelum aku memutus shalatku.”
Perang Dzatur Riqa terjadi sebelum Perang Khandaq. Perang yang penuh dengan momen-momen pembangkit spirit perjuangan dan pesan-pesan progresif tentang arti sebuah kesetiaan pada kebenaran, kesabaran menahan sakitnya luka, keberanian menghadapi musuh di medan perang, dan pembalasan yang setimpal atas tindak kejahatan besar yang telah dilakukan, serta kebesaran hati untuk memberikan maaf kepada musuh yang sudah lemah. Demikianlah, kaum muslimin. Mereka datang untuk menuntut balasan yang setimpal atas terbunuhnya tujuh puluh orang sahabat di Bi’r Ma’unah hingga satu ekor untuk secara bergantian ditunggangi oleh enam orang, membuat kaki-kaki mereka terluka karena melewati panasnya gurun dan bebatuan yang tajam. Namun, mereka tetap lakukan itu demi memperjuangkan kebenaran yang telah dilecehkan dengan pembantian itu.
Perang ini juga memberikan gambaran tentang kesetiaan kepada kebenaran dan penyampainya, yakni Rasulullah. Bagaimana seorang sahabat Anshar tidak ingin membatalkan shalatnya meski ia dihujani tiga anak panah. Kesetiaan itulah yang membuatnya bertahan dan mampu mencabut panah-panah dari tubuhnya, meski darah deras mengalir. Ditambah lagi dengan spirit shalat. Dalam kisah lain disebutkan bahwa seorang sahabat terkena anak panah, dan agar kuat menahan sakit ketika panah itu dicabut, ia pun melaksanakan shalat. Demikianlah para sahabat. Mereka tidak menyia-nyiakan mandat dan kepercayaan penuh yang diberikan oleh Rasulullah. Orang Anshar itu tidak ingin mengkhianati kepercayaan untuk berjaga malam yang telah diberikan oleh Rasulullah, apa pun yang terjadi pada dirinya.
Perang ini juga memberikan gambaran bagaimana kebesaran hati Rasulullah yang memaafkan orang yang akan membunuhnya. Demikianlah, seorang badui mendekati Rasulullah ketika beliau tertidur di bawah pohon, dan mengambil pedang beliau yang digantung di dahan pohon, lalu membangunkan beliau dan mengancam akan membunuh beliau. Namun, ancaman itu tidak berarti apa-apa bagi beliau karena beliau dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa Allah ada di sisi beliau. Setelah itu, beliau tidak menghukum orang badui itu. Konon, dalam kisah lain, disebutkan bahwa orang badui akhirnya masuk Islam karena sikap maaf beliau.
Memberi maaf terkadang sangat berat, apalagi jika kesalahan orang dipandang sudah kelewat batas. Tetapi, justru itulah ujian kebesaran jiwa seseorang. Sebesar apa pun kesalahan orang lain, Rasulullah memberikan teladan kepada kita untuk memberikan maaf. Allah berfirman, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al-A’raf: 199). Rasulullah bukan tipe orang temperamental yang langsung membalas orang yang berbuat salah terhadap beliau, tetapi mencoba mengajaknya berbicara lebih dahulu. Orang badui itu mungkin memang benar begitu bernafsu ingin membunuh beliau, tetapi diplomasi Rasulullah justru membuat nafsu membunuh orang itu surut dan menyadari kesalahannya, hingga akhirnya ia masuk Islam, karena melihat betapa tingginya akhlak Rasulullah.
Pembantaian yang dilakukan oleh orang-orang Nejd memang membuat Rasulullah mengerahkan kaum muslimin untuk menyerang mereka, tetapi ketika mereka dengan serta merta mundur dan lari tidak jadi melawan beliau, beliau tidak bernafsu membantai mereka seperti yang mereka lakukan terhadap para delegasi beliau di Bi’r Ma’unah. Demikianlah kebesaran jiwa seorang pemimpin. Kejahatan tidak mesti dibalas dengan kejahatan, meski dalam Islam pembalasan yang setimpal dibolehkan. Beliau tidak melakukan itu, karena beliau cinta damai dan anti kekerasan. Karena kekerasan justru akan melahirkan mata rantai kekerasan berikutnya yang tiada putus-putusnya. Kebesaran jiwa sang pemimpinlah yang bisa memutus mata rantai itu.
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق