Hassan adalah penyair Rasulullah dan penyair Islam. Sedangkan Tsabit adalah juru bicara Rasulullah dan juru bicara Islam. Kalimat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kuat, padat, keras, tegas dan mempesonakan.
Pada tahun datangnya utusan-utusan dari berbagai penjuru Semenanjung Arabia, datanglah ke Madinah perutusan Bani Tamim yang mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, “Kami datang akan berbangga diri kepada anda, maka idzinkanlah kepada penyair dan juru bicara kami menyampaikannya.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam tersenyum, lalu katanya, “Telah kuidzinkan bagi juru bicara kalian, silakan!”
Juru bicara mereka Utharid bin Hajib pun berdirilah dan mulai membanggakan kelebihan-kelebihan kaumnya. Setelah selesai, Nabi pun berkata kepada Tsabit bin Qeis, “Berdirilah dan jawablah!”
Tsabit bangkit menjawahnya, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Langit dan bumi adalah ciptaan-Nya, dan titah-Nya telah berlaku padanya. Ilmu-Nya meliputi kerajaan-Nya, tidak satu pun yang ada, kecuali dengan karunia-Nya. Kemudian dengan qodrat-Nya juga, dijadikanNya kita golongan dan bangsa-bangsa. Dan Ia telah memilih dari makhluk-Nya yang terbaik seorang Rasul-Nya. Berketurunan, berwibawa dan jujur kata tuturnya. Dibekali-Nya Al-Quran, dibebani-Nya amanat. Membimbing ke jalan persatuan ummat. Dialah pilihan Allah dari yang ada di alam semesta. Kemudian ia menyeru manusia agar beriman kepada-Nya, maka berimanlah orang-orang muhajirin dari kaum dan karib kerabatnya, yakni orang-orang yang termulia keturunannya, dan yang paling baik amal perbuatannya. Dan setelah itu, kami orang-orang Anshar, adalah yang pertama pula memperkenankan seruannya. Kami adalah pembela-pembela Agama Allah dan penyokong-penyokong Rasul-Nya….”
Di Medan Jihad
Tsabit telah menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan peperangan-peperangan penting sesudah itu. Corak perjuangannya menakjubkan, sangat menakjubkan! Dalam peperangan-peperangan menumpas orang-orang murtad, ia selalu berada di barisan terdepan, membawa bendera Anshar, dan menebaskan pedangnya yang tak pernah menumpul dan tak pernah berhenti.
Di perang Yamamah, Tsabit melihat terjadinya serangan mendadak yang dilancarkan oleh tentara Musailamatul Kaddzab terhadap Muslimin di awal pertempuran, maka berserulah ia dengan suaranya yang keras memberi peringatan, “Demi Allah, bukan begini caranya kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam!” Kemudian ia pergi tak seberapa jauh, dan tiada lama kembali sesudah membalut badannya dengan balutan jenazah dan memakai kain kafan, lain berseru lagi, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dibawa mereka, yakni tentara Musailamah, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang diperbuat mereka, yakni Kaum Muslimin yang kendor semangat dalam peperangan!”
Maka segeralah bergabung kepadanya Salim bekas sahaya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, sedang ia adalah pembawa bendera muhajirin.
Keduanya menggali lobang yang dalam untuk mereka berdua. Kemudian mereka masuk dengan berdiri di dalamnya, lain mereka timbunkan pasir ke badan mereka sampai menutupi setengah badan… Demikianlah mereka berdiri tak ubah bagai dua tonggak yang kokoh, setengah badan mereka terbenam ke dalam pasir dan terpaku ke dasar lobang, sementara setengah bagian atas dadanya, kening dan kedua lengan mereka siap menghadapi tentara penyembah berhala dan orang-orang pembohong. Tak henti-hentinya mereka memukulkan pedang terhadap setiap tentara Musailamah yang mendekat, sampai akhirnya kedua mereka mati syahid di tempat itu, dan reduplah sudah sinar sang surya mereka!
Peristiwa syahidnya kedua pahlawan ra ini bagaikan pekikan dahsyat yang menghimbau Kaum Muslimin agar segera kembali kepada kedudukan mereka hingga akhirnya mereka berhasil menghancurkan tentara Musailamah, mereka tersungkur menutupi tanah bekas mereka berpijak.
Jiwa yang Pemalu
Dan Tsabit bin Qeis yang mencapai kedudukan puncak sebagai jubir dan sebagai pahlawan perang, juga memiliki jiwa yang selalu ingin kembali menghadap Allah Maha Pencipta, hatinya khusyu’ dan tenang tenteram. Ia adalah pula salah seorang Muslimin yang paling takut dan pemalu kepada Allah.
Sewaktu turun ayat mulia: “Sesungguhnya Allah tidak suka pada setiap orang yang congkak dan sombong.” (QS Luqman [31]:18),
Tsabit menutup pintu rumahnya dan duduk menangis. Lama dia terperanjak begitu saja, sehingga sampai beritanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam yang segera memanggilnya dan menanyainya. Maka kata Tsabit, “Ya Rasulallah, aku senang kepada pakaian yang indah, dan kasut yang bagus, dan sungguh aku takut dengan ini akan menjadi orang yang congkak dan sombong!” Bicaranya itu dijawab oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam sambil tertawa senang, “Engkau tidaklah termasuk dalam golongan mereka itu, bahkan engkau hidup dengan kebaikan, dan mati dengan kebaikan, dan engkau akan masuk surga!”
Dan sewaktu turun firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian angkat suara melebihi suara Nabi, dan jangan kalian berkata kepada Nabi dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebahagian kalian terhadap sebahagian yang lainnya, karena dengan demikian amalan kalian akan gugur, sedang kalian tidak menyadarinya!”(QS Al-Hujurat: 2), Tsabit menutup pintu rumahnya lagi, lalu menangis. Rasul mencarinya dan menanyakan tentang dirinya, kemudian mengirimkan seseorang untuk memanggilnya. Dan Tsabit pun datanglah.
Rasulullah menanyainya mengapa tidak kelihatan muncul, yang dijawabnya, “Sesungguhnya aku ini seorang manusia yang keras suara, dan sesungguhnya aku pernah meninggikan suaraku dari suaramu wahai Rasulullah! Karena itu tentulah amalanku menjadi gugur dan aku termasuk penduduk neraka!”
Rasulullah pun menjawabnya, “Engkau tidaklah termasuk salah seorang di antara mereka bahkan engkau hidup terpuji, dan nanti akan berperang sampai syahid, hingga Allah bakal memasukkanmu ke dalam surga!”
Wasiat Tsabit
Masih tinggal dalam kisah Tsabit ini satu peristiwa lagi, yang kadang-kadang tak dapat diterima dengan puas oleh hati orang-orang yang memusatkan pikiran, perasaan dan mimpi-mimpi mereka kepada alam kebendaan yang sempit semata, yakni alam yang selalu mereka raba, mereka lihat atau mereka cium.
Namun bagaimanapun, peristiwa itu benar-benar terjadi, dan tafsirnya nyata dan mudah bagi setiap orang yang di samping mempergunakan mata lahir, mau pula menggunakan mata batinnya.
Setelah Tsabit menemui syahidnya di medan pertempuran, melintaslah di dekatnya salah seorang Muslimin yang baru saja masuk Islam dan ia melihat pada tubuh Tsabit masih ada baju besinya yang berharga maka menurut dugaannya ia berhak mengambilnya untuk dirinya, lalu diambilnya. Dan marilah kita serahkan kepada empunya riwayat itu menceritakannya sendiri.
“Selagi seorang laki-laki Muslimin sedang nyenyak tidur, ia didatangi Tsabit dalam tidurnya itu, yang berkata padanya, “Aku hendak mewasiatkan kepadamu satu wasiat; tapi jangan sampai kau katakan bahwa ini hanya mimpi lalu kamu sia-siakan! Sewaktu aku gugur sebagai syahid, lewat ke dekatku seseorang Muslim lalu diambilnya baju besiku. Rumahnya sangat jauh, orang tersebut memiliki kuda kepalanya mendongak ke atas seakan-akan tertarik tali kekangnya.
Baju besi itu disimpan ditutupi sebuah periuk besar, dan periuk itu ditutupi pelana unta (sakeduk). Pergilah kepada Khalid minta ia untuk mengirimkan orang mengambilnya! Kemudian apabila kamu sampai ke kota Madinah menghadap khalifah Abu Bakar, katakan kepadanya bahwa aku mempunyai utang sekian banyaknya, aku mohon agar ia bersedia membayarnya.”
Maka sewaktu laki-laki itu terbangun dari tidurnya, ia terus menghadap kepada Khalid bin Walid, lalu diceritakannyalah mimpi itu. Khalid pun mengirimkan untuk mencari dan mengambil baju besi itu, lalu menemukannya sebagai digambarkan dengan sempurna oleh Tsabit.
Setelah Kaum Muslimin pulang kembali ke Madinah, orang tadi menceritakan mimpinya kepada khalifah, beliau pun melaksanakan wasiat Tsabit. Satu-satunya wasiat dari seorang yang telah meninggal ialah wasiatnya Tsabit bin Qeis yang terlaksana dengan sempurna.
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق