Lima hal yang termasuk sunnah fitrah: Mencukur bulu kemaluan, berkhitan, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku.” (HR Jama’ah)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajarkan kepada para nabi-Nya berbagai sunnah dan menyuruh kita agar meneladani mereka dalam melaksanakan sunnah-sunnah ini. Hal ini merupakan bagian dari syiar atau lambang jati diri yang bertujuan untuk membedakan suatu umat dengan umat yang lain. Ketentuan-ketentuan seperti ini disebut dengan sunnah-sunnah fitrah. Di antara sunnah-sunnah tersebut adalah:
1. Berkhitan
Berkhitan adalah memotong kulit yang menutupi kepala zakar (baca: kemaluan laki-laki). Tujuannya adalah agar kotoran tidak menumpuk di dalamnya; untuk memastikan semua air kencing yang keluar; dan untuk menambah kenikmatan pada saat bersetubuh. Inilah khitan yang diwajibkan bagi kaum laki-laki. Sedangkan bagi perempuan, khitan dilakukan dengan memotong bagian atas yang tampak di permukaan kemaluan.[1] Khitan merupakan satu amalan yang sudah lama dipraktikkan sejak dulu. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Nabi Ibrahim –Kekasih Allah Yang Maha Penyayang- berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun dan beliau berkhitan dengan menggunakan kampak.”(HR Bukhari).
Mayoritas ulama berpendapat, hukum berkhitan adalah wajib. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa khitan hendaknya dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Asy Syaukani berkata, “Tidak ada ketentuan waktu dalam berkhitan, dan juga tidak ada dalil yang menyatakan kewajiban khitan.”
2. Mencukur bulu kemaluan
3. Mencabut bulu ketiak.
Mencukur bulu kemaluan dan bulu ketiak merupakan amaliah fithriyyah dan dapat dilakukan dengan cara menggunting, memotong, mencabut atau mencukurnya.
4. Memotong kuku.
5. Memendekkan kumis atau menipiskannya.
Memotong kuku dan memendekkan kumis merupakan amalan sunnah berdasarkan pada riwayat hadits sahih. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bedakanlah identitas kalian dengan kaum musyrikin; panjangkan janggut dan tipiskan kumis.” HR Bukhari dan Muslim
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Lima perkara yang termasuk fitrah. yaitu berkhitan, memotong bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan memotong kumis.”
Berdasarkan pada dua hadits di atas, dapat dipahami bahwa di sana tidak ada ketentuan yang jelas berkaitan dengan memotong kumis ataupun menipiskannya. Jadi, baik memotong atau menipiskan kumis, keduanya termasuk amaliyyah fitriyyah, karena hal yang sedemikian bertujuan agar kumis tidak terlalu panjang sehingga menyebabkan makanan atau minuman menempel padanya. Selain itu, juga agar kotoran tidak menumpuk di situ. Dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang tidak mencukur atau menipiskan kumisnya, ia tidak termasuk golongan kami”.(HR Ahmad dan Nasai)
Imam Tirmidzi mengategorikannya sebagai hadits sahih.
Dianjurkan mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, mencukur atau menipiskan kumis setiap minggu untuk menjaga kebersihan, (menjaga) penampilan sehingga selalu tampak menawan dan (menumbuhkan) percaya diri. Sebab, rambut atau bulu tubuh (jika terlalu panjang) akan menyebabkan keresahan dan kegelisahan. Meksipun dibolehkan meninggalkan semua hal tersebut selama empat puluh hari, namun setelah itu lima hal tersebut mesti dilaksanakan. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits yang bersumber dari Anas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi jedah waktu kepada kami untuk tidak menggunting kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan selama empat puluh malam dan tidak boleh membiarkannya lebih dari tempo itu.”(HR Ahmad dan Abu Daud).
6. Memelihara dan Membiarkan Jenggot Hingga Lebat
Hal ini merupakan simbol kewibawaan. Jangan memotongnya terlalu pendek sehingga seakan-akan dicukur dan jangan pula dibiarkan terlalu lebat tanpa pemeliharaan sehingga terlihat tidak rapi.[8] Yang lebih baik dilakukan adalah denan mengambil jalan tengah; tidak memotongnya terlalu pendek dan juga tidak membiarkannya terlalu panjang atau lebat. Hal ini (mengambil jalan tengah) juga baik diberlakukan dalam segala hal. Di samping itu, jenggot yang lebat menunjukkan kejantanan dan kematangan. Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Bersabda,
“ Bedakanlah identitas kalian dengan kaum musyrikin; panjangkan janggut dan tipiskan kumis.”(HR Bukhari Muslim).
Imam Bukhari menambahkan, “Apabila Ibnu Umar menunaikan ibadah haji atau umrah, beliau sering memegang jenggot (dengan tangannya). Jika jenggotnya melebihi dari genggaman tangannya, beliau memotongnya.”
7. Merapikan Rambut yang Lebat dan Panjang, dengan Cara Memberinya Minyak atau Menyisirnya
Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Barang siapa yang mempunyai rambut, hendaknya ia memuliakannya (dengan cara merapikannya).”(HR Abu Daud).
Atha’ bin Yasar Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Ada seorang laki-laki yang berambut kumal dan berjenggot kusut menemui Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Saat melihatnya, beliau memberi isyarat kepadanya, dan seolah-olah menyuruhnya supaya merapikan rambut dan jenggotnya. Laki-laki itu pun pergi untuk melaksanakan perintah Rasulullah degan melakukan apa yang telah diisyaratkan kepadanya. Setelah itu, ia datang lagi untuk menemui Rasulullah. Melihat penampilannya yang sudah rapi, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya,
“Bukankah ini penampilan yang terbaik dibandingkan dengan seseorang di antara kalian yang datang kepadaku dalam keadaan rambutnya kumal, bagaikan setan?”(HR Malik).
Dari abu Qatadah Radhiyallahu ‘Anh ia mengatakan bahwa dirinya merupakan salah seorang yang berambut lebat dan panjang, yang panjangnya sampai menjulur ke bahu. Kemudian ia menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Lantas beliau menyuruhnya agar merapikan dan menyisir rambutnya setiap hari. HR Nasai.
Imam Malik dalam kitabnya, Al Muwaththa’, meriwayatkan dengan redaksi berikut: “Saya bertanya, Wahai Rasulullah, saya mempunyai rambut panjang hingga sampai ke bahu. Perlukah saya menyisirnya?’ Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Ya! Lebih dari itu, kamu juga harus menghormatinya (dengan cara merapikannya)!”
Abu Qatadah memberi minyak pada rambutnya sebanyak dua kali dalam sehari sebagai bentuk pelaksanaan atas perintah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi, “Hendaklah kamu senantiasa menghormatinya dengan cara merapikannya!”
Baik mencukur rambut kepala ataupun memanjangkannya, keduanya diperbolehkan, asal tetap dirawat (dan kelihatan rapi). Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh Ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Cukurlah semuanya atau biarkan semuanya!”(HR Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasai).
Mencukur sebagian rambut dan meninggalkan sebagian yang lain hukumnya adalah makruh tanzih. Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Nafi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, melarang al qaza’. Lalu ada seseorang yang bertanya kepada Nafi’, “Apa yang dimaksud dengan al qaza’?” Nafi’ menjawab, “Yaitu mencukur sebagian rambut kepala seorang anak kecil, dan membiarkan sebagian yang lain.”(HR Bukhari dan Muslim).
Larangan ini juga berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
8. Membiarkan Uban dan Tidak Mencabutnya
Baik uban pada jenggot atau kepala. Dalam masalah ini, antara perempuan dan laki-laki tidak ada perbedaan, di mana keduanya dianjurkan membiarkan uban yang ada pada (rambut atau janggutnya) dan tidak mencabutnya. Dalilnya adalah hadits ‘Amar bin Syua’ib Radhiyallahu ‘Anh dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Janganlah kalian mencabut uban, karena ia merupakan cahaya bagi seorang Muslim. Tidaklah seorang Muslim membiarkan ubannya –selama ia masih Islam-, kecuali Allah akan mencatat baginya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat dan menghapus satu kesalahan.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).
Diperbolehkannya Mengubah Warna Uban dengan Inai
Warna merah, warna kuning dan warna-warna yang lainnya boleh digunakan untuk menyemir rambut. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh. Ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Orang Yahudi dan Nasrani tidak mau menyemir (rambutnya yang beruban). Oleh karena itu, bedakanlah dirimu dengan cara menyemir rambutmu.”
Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anh berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Sebaik-baik bahan untuk mengubah warna uban adalah inai dan semir.”(HR Bukhari, Muslim, Nasai, Abu Daud dan Tirmidzi).
Meskipun ada juga hadits yang menyatakan makruh menyemir uban, namun para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat ini berdasarkan pada usia, kebiasaan dan tradisi. Sebagian sahabat meriwayatkan, bahwa membiarkan uban tanpa menyemirnya adalah lebih utama, sedangkan sebagian yang lain menyatakan bahwa menyemir uban adalah lebih utama. Di antara mereka ada yang menyemir uban dengan warna kuning; sebagian yang lain dengan menggunakan ; inai; ada yang menyemir dengan za’faran; dan ada juga sebagian sahabat yang menyemir ubannya dengan warna hitam.
Dalam kitab Fath Al Bari, al-Hafiz Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari Ibnu Syihab Az Zukhri, ia berkata, Kami biasa menyemir rambut dengan warna hitam ketika wajah masih segar. Namun, setelah wajah berkerut dan gigi telah ompong kami pun tidak menyemirnya lagi.
Jabir Radhiyallahu ‘Anh meriwayatkan sebuah hadits.Ia berkata, pada waktu penaklukan kota Makkah, Abu Quhafah –ayah Abu Bakar- menghadap kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, sedangkan kepalanya laksana kapas (baca : telah beruban). Melihat itu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Bawalah ia kepada salah seorang istrinya supaya menyemir rambutnya, tapi jangan menggunakan warna hitam.” (Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan Nasai).
Pada dasarnya, hadits ini bertentangan dengan keterangan-keterangan yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana rambut yang sudah beruban dapat disemir dengan menggunakan warna apapun. Namun, pernyataan hadits ini bersifat khusu karena ini hanya dikhususkan kepada Abu Quhafah. Karenanya, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang berlaku secara umum. Di samping itu, sebagai laki-laki yang seusia Abu Quhafah, di mana seluruh rambutnya sudah memutih hingga laksana kapas, tidak sepatutnya menyemir rambut dengan warna hitam. Perkara seperti ini memang tidak pantas dilakukan.
9. Memakai Minyak Kasturi dan Jenis Minyak Wangi Lainnya
Minyak wangi dapat menenangkan hati, melapangkan dada, menyegarkan jiwa, membangkitkan tenaga dan kegairahan dalam bekerja. Sebagai landasan atas hal ini adalah hadits Anas Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Telah ditambatkan kesenangan bagiku dalam urusan dunia; perempuan (istri), wangi-wangian, dan telah dijadikan ketenangan bagiku dalam shalat.” (HR Ahmad dan Nasai)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa yang ditawarkan padanya minyak wangi, hendaknya ia tidak menolaknya. Sebab, ia mudah dibawa dan baunya harum.”(HR Muslim, Nasai dan Abu Daud).
Dan dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘Anh, ia berkata, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata berkaitan dengan minyak wangi, “Ia adalah minyak wangi yang paling baik.”Hadits ini diriwayatkan oleh ulama hadits kecuali imam Bukhari dan Ibnu Majah.
Nafi’ berkata, Ibnu umar membakar kayu cendana tanpa dicampuri dengan angi-wangian yang lain dan ia juga pernah mencampur kayu cendana dengan kapur barus. Lantas ia berkata, “Beginilah cara Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai minyak wangi.”(HR Muslim dan Nasai).
0 komentar:
Posting Komentar
ترك التعليق