Aqidah Imam Bukhari رحمه الله

09 Juli 2012

Imam Bukhari رحمه الله berkata:“Aku telah berjumpa dengan 1000 ulama lebih di Hijaz, Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Washit, Baghdad, Syam dan di Mesir, berkali-kali kurun demi kurun. Kujumpai mereka semuanya semuanya selama 46 tahun. Ulama Syam, Mesir dan Jazirah 2 kali, Ulama Bashrah 4 kali bertahun-tahun, ulama Hijaz 6 tahun. Dan aku tak dapat menghitung berapa kali aku datang ke Kufah dan Baghdad menemui ahli hadits negeri Khurasan di antaranya: Makki bin Ibrahim, Yahya bin Yahya, Ali bin Hasan bin Syaqiq, Quiaibah bin Said dan Syihab bin Ma’mar.

Sedang di Syam di antaranya: Muhammad bin Yusul Al Firyabi, Abu Mushir Abdul A’la bin Mushir, Abul Mughirah Abdul Quddus bin Hajjaj, Abul Yaman Hakam bin Nafi’ dan ulama setelah mereka yang tidak sedikit.

Di Mesir di antaranya Yahya bin Katsir, Abu Shaleh sekretaris Laits bin Saad, Said bin Abu Maryam, Ashbagh bin Al Faraj dan Nu’aim bin Hammad. Di Makkah aku jumpai para pakar seperti Abdullah bin Yazid Al Muqri, Humaidi, Sulaiman bin Harb Qadi Makkah dan Ahmad bin Muhammad Azraqi.

Sedang di Madinah seperti Ismail bin Abi Uwais, Mutharrif bin Abdillah, Abdullah bin Nafi’ Az Zubairi, Ahmad bin abu Bakar Abu Mish’ab Az Zuhri, Ibrahim bin Hamzah Zubairy dan Ibrahim bin Hamzah Zubairi dan Mundzir Al Hizami.

Di Basrah aku dapati Abu Ashim Dhahhak bin makhlad Syaibani, Abul Walid Hisyam bin Abdul Malik, Hajjaj bin Minhal dan Ali bin Abdullah bin Ja’far Al Madini. Adapun di Kufah di antara yang kujumpai adalah Abu Nuaim Fadhl bm Dukain, Abdullah bin Musa, Ahmad bin Yunus, Qubaisah bin Uqbah, Ibnu Numair dan Abdullah serta Usman yang keduanya ibnu Abi Syaibah.
Di Baghdad di antaranya Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main dan Abu Ma’mar, Abu Khaitsamah serta Abu Ubaid Qasim bin Sallam. Di Jazirah kujumpai Amr bin Khalid Al Khurani dan di Wasith Amr bin Aun dan Ashim bin Ali bin Ashim. di Marwu kudapati para ulama seperti Shadaqah bin Fadhl dan Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali.

Supaya ringkas, cukuplah kusebutkan nama-nama ini saja. Mereka semua, baik yang kusebutkan maupun yang tidak, tak ada yang berselisih pendapat dalam masalah-masalah berikut:

1. Dien(iman) itu ucapan dan amal, sesuai dengan firman Allah سبحانه و تعالي :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Dan mereka tidak diperintah melainkan untuk me­nyembah (beribadah) kepada Allah dengan memurnikan ketaatan pada-Nya dalam (menjalankan agama) dengan lurus dan supaya mereka menegakkan shalat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (Q.S. Al Bayyinah: 5).

2. Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk, karena firman-Nya berikut ini:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثاً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ

“Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia beristiwa’ di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan (diciptakan-Nya) pula matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya….” (Q.S. Al -A’raf: 54).

Abu Abdillah bin Ismail berkata: “Ibnu Uyainah رحمه الله berkata ‘Maka Allah membedakan antara penciptaan dan perintah dengan firman-Nya:

أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ تَبَارَكَ اللّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Tuhan alam semesta.” (Q.S. Al A’raf: 54).

3. Baik dan buruk itu ditakdirkan, berdasarkan firman-Nya :

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِن شَرِّ مَا خَلَقَ.

“Katakanlah, aku berlindung kepada Allah yang meng­uasai Shubuh. Dari kejahatan makhluk yang la ciptakan (Q.S. Al Falaq: 1-2).

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Dan Allah telah menciptakan kamu dan amal perbu­atanmu. ” (Q.S. As Shaffat: 96).

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu me­nurut kadar (ukuran).” (Q.S. Al Qamar: 49).

4. Mereka semua tak mengafirkan seorangpun dari ahlulqiblat karena dosanya, karena ayat:

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) menyekutukan Allah (syirik) dan mengampuni (dosa) selainnya kepada siapa saja yang la kehendaki.” (Q.S. An Nisa: 48).

5.  Dan aku tidak melihat seorangpun aku tak melihat seorangpun dari mereka yang mencela sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم. Aisyah رضي الله عنها berkata: Mereka disuruh untuk Istighfar (memohon ampun) buat mereka. Itulah maksud firman Allah:

وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Wahai Tuhan kami beri ampunlah kami dan saudara- saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dan kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian di hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al Hasyr: 10).

6. Mereka menolak bid’ah, yakni ajaran yang tak dibawa oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan para sahabatnya, karena firman-Nya:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ

“Dan berpegang teguhlah kamu semua dengan tali Allah, janganlah bercerai berai. ” (Q.S. Ali Imran: 103)

وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kamu menaatinya, niscaya kamu mendapat hidayah.” (Q.S. An Nur: 54).

Mereka menganjurkan kita untuk menetapi ajaran yang dibawa Rasulullah صلي الله عليه وسلم. berdasarkan firman Allah تعالي :

وَأَنَّ هَـذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-berai-kan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintah kan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al An’am: 153).

7. Kita tidak boleh menentang waliyul amri (pemimpin) ka­rena Rasulullah صلي الله عليه وسلم bersabda:

ثَلاَ ثٌ لاَيَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ امْرِيٍ مُسْلِمٍ: إخْلاَصُ العَمَلِ لِلَّهِ، وَطَاعَةُ وُلاَةِ الْأَمْرِ وَلُزُوْمُ جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطُ مِنْ وَرَائِهِمْ

“Tiga hal yang tak didengki oleh kalbu seorang mukmin: ihklas beramal karena Allah, menaati pemimpin (waliyul amri) serta menetapi jamaah mereka, karena seruan (doa) para pemimpin tersebut mencakup orang yang di belakang (rakyat)-nya”

Ini diperkuat dengan firman Allah عزّوجلّ berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Taatilah Allah, taatilah Rasul dan Ulul Amri (pemimpin) dari golonganmu.” (Q.S. An Nisa: 59).

Juga tak mengacungkan pedang kepada umat Muhammad صلي الله عليه وسلم. Fudhail bin Iyadh رحمه الله berkata: 

“Sekiranya aku punya doa yang makbul, niscaya tak kutujukan selain untuk Imam (pemimpin), karena jika sang pemimpin baik, maka aman dan sejahteralah rakyat dan negara.”

Yahya Bin Ma'in

Nama lengkap beliau adalah Yahya bin Ma`in bin `Aun bin Ziyad bin Bistham Al-Ghatfan Al-Baghdadi. Ayah beliau termasuk orang penting di negerinya, sehingga ketika ayahnya meninggal, beliau mendapatkan jatah warisan sebanyak satu juta dirham, dan beliau menggunakannya sebagai bekal mencari hadis. Beliau dilahirkan tahun 158 H. Kun-yah beliau adalah “Abu Zakariya”, namun beliau lebih dikenal dengan sebutan “Ibnu Ma`in”. Beliau termasuk pakar dalam masalah hadis dan pencatat sejarah para perawi hadis.


Guru Dan Murid Beliau

Beliau banyak melakukan petualangan mencari ilmu, sehingga guru beliau sangat banyak dari berbagai negeri. Di antara guru beliau adalah Abdullah bin Mubarak, Husyaim, Ismail bin `Ayasy, Abbad bin Abbad, Sufyan bin Uyainah, Ghundar, Hatim bin Ismail, Hafs bin Ghiyats, Jarir bin Abdil Hamid, Abdur Razaq, Marwan bin Mu`awiyah, Hisyam bin Yusuf, Isa bin Yunus, Waqi`, Yahya Al-Qaththan, Abdurrahman bin Mahdi, dan masih banyak ulama lainnya dari negeri Irak, Hijaz, Al-Jazirah, Syam, dan Mesir.

Sementara, di antara murid senior beliau adalah Imam Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Sa`d, Abu Khaitsmah, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Abbas Ad-Duri, Abu Bakar Ash-Shaghani, Abdul Khalik bin Manshur, Utsman bin Sa`id Ad-Darimi, Abu Zur`ah, Abu Hatim Ar-Razi, Ibrahim bin Abdillah Al-Junaid, Ahmad bin Ali Al-Marwazi, Muhammad bin Wadhah, Ja`far Al-Firyabi, Musa bin Harun, Abu Ya`la Al-Mushili, dan masih banyak lagi.


Pujian Ulama Untuk Ibnu Ma'in

Beliau termasuk dalam jajaran ulama besar untuk masalah hadis, tidak hanya di antara ulama yang sezaman dengannya, namun juga termasuk di antara ulama pada zaman setelahnya. Di antara pujian para ulama untuk beliau adalah:

  1. An-Nasa`i mengatakan, “Abu Zakariya berstatus tsiqah dan amanah, serta termasuk salah satu pakar dalam hadis.”
  2.  Ali Al-Madini mengatakan, “Saya tidak pernah melihat, sejak zaman Adam, ada orang yang menulis hadis yang lebih bagus daripada tulisan Yahya bin Ma`in.” Beliau juga pernah mengatakan, “Puncak ilmu manusia ada pada Yahya bin Ma`in.”
  3. Yahya bin Ma`in sendiri pernah mengatakan, “Saya telah menulis dengan tanganku sebanyak satu juta hadis.”
  4. Yahya Al-Qaththan mengatakan, “Belum pernah ada orang yang mendatangi kami, seperti dua orang ini: Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma`in.”
  5. Imam Ahmad mengatakan, “Yahya bin Ma`in adalah orang yang paling mengerti tentang ‘ilmu rijal‘.”
  6. Imam Adz-Dzahabi menyebut beliau dengan “Sayyid Al-Hufazh” (pemimpin para pakar hadis).
  7. Ibnu Hajr Al-Asqalani menyebut beliau dengan “Imam Al-Jarh wa At-Ta`dil” (pemimpin dalam masalah jarh wa ta`dil).
Setelah menyebutkan biografi singkat tentang Ibnu Ma`in, Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Yahya terlalu terkenal untuk saya bahas tentang keuatamaanya.” Kemudian, beliau membawakan cerita dari Hubaisy bin Mubasyir, salah satu ulama terpercaya, “Saya bertemu dengan Yahya bin Ma`in dalam mimpi. Saya tanyakan kepadanya, ‘Apa yang Allah berikan kepadamu?’ Yahya menjawab, ‘Allah memberiku kenikmatan, menikahkanku dengan tiga ratus bidadari, dan menyiapkan untukku antara dua pintu.’”


Karya Ibnu Ma'in

Di antara karya Imam Yahya bin Ma`in adalah At-Tarikh wa Al-Ilal dan Ma`rifah Ar-Rijal.


Wafatnya Ibnu Ma'in

Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah di Madinah, ketika melaksanakan ibadah haji. Beliau meninggal di tahun 233 H. Semoga Allah merahmati beliau dan keluarganya.

Yahya Bin Muadz

Kitab-kitab tentang riwayat hidup para tokoh tidak ada yang menyebutkan keterangan yang lengkap lagi memuaskan tentang Yahya bin Mua’adz as., dan dia tidak mendapat perhatian dan sebutan yang cukup tentang riwayat hidupnya. Jika ada sebetan mengenai dirinya, hal itu hanya berupa petikan yang pendek-pendek terdiri dari sebaris, dua baris, atau tiga baris kalimat dan hanya inilah yang dapat aku temukan. Jika ternyata ditemukan sesuatu yang lain dari itu, hal tersebut merupakan karunia yang besar. Jelasnya, beliau wafat pada abad ketiga Hijriyah, tepatnya pada tahun 258 Hijriyah.

Abu Na’im Al-Ashfahani dalam bukunya yang berjudul Hilyatul Auliya mengatakan tentang Yahya bin Mu’adz sebagai berikut:

“Orang yang suka memuji lagi bersyukur, menerima apa adanya lagi penyebar, dan selalu berharap lagi suka memohon perlindungan kepada Allah, dialah Yahya bin Mu’adz, seorang juru nasihat lagi banyak berdzikir. Dia menetapi pekerjaan pande besi untuk menghindarkan diri dari pandangan para hamba (tidak ingin terkenal), tidak suka tidur malam hari demi meraih kecintaan Allah, dan tahan menghadapi berbagai kesulitan sebagai sarana untuk mendorong lebih bersyukur.”

Ibnul Jauzi dalam bukunya yang berjudul Shafwatush Shafwah mengatakan tentangnya:

“Dia tinggal di Ar-Ray, kemudian pindah ke Nisabur, lalu bertempat tinggal di sana hingga meninggal dunia. Mereka tiga bersaudara, yaitu Isma’il, Yahya, dan Ibrahim; Isma’il yang tertua, Yahya penengah; dan yang paling muda adalah Ibrahim. Ketiga-tiganya adalah ahli zuhud.”

Ibnul Imad dalam bukunya yang berjudul Syadzaraatudz Dzahab mengatakan:

“Yahya bin Mu’adz Ar-Razi, seorang yang zuhud lagi Arif, orang yang bijak pada masanya, juru nasihat pada masa hidupnya, dan wafat di Naisabur.”

Al-Khathibul Baghdadi dalam bukunya yang berjudul Tarikh Baghdad mengatakan:

“Yahya bin Mu’adz alias Abu Zakaria Ar-Razi adalah seorang juru nasihat. Dia berpindah dari Ar-Ray, lalu tinggal di Naisabur hingga wafat. Dia pernah datang ke Baghdad, lalu bergabunglah dengannya para ahli ibadah. Merema membuatnya sebuah mimbar untuknya, lalu memdudukkannya dimimbar tersebut dan mereka duduk dihadapannya seraya memohon perlindungan kepada Allah.”

Al-Imam Adz-Dzahabi dalam karya tulisnya yang berjudul Sairu A’laamin Nubala (Perjalanan hidup para tokoh yang mulia) memberikan komentarnya tentang Yahya:

“Yahya bin Mu’adz Ar-Razi adalah seorang juru nasihat, termasuk salah seorang Syekh terkemuka. Ia mempunyai kalam yang baik dan nasihat-nasihat yang terkenal.”

Az-Zarkali dalam karya tulisnya yang berjudul Al-A’lam (para tokoh) mengataklan tentangnya:

“Yahya bin Mu’adz bin Ja’far Ar-Razi wafat pada tahun 258 Hijriyah. Ia seorang juru nasihat yang zuhud, tiada yang setara dengannnya pada masanya, termasuk penduduk Ar-Ray, dan tinggal di Balakh. Ia meninggal duni di Naisabur.”

Ibnu Khalkan dalam bukunya yang berjudul Wafiyyatul A’yaan (Kematian para tokoh) menyebutkan tentangnya:

“Yahya bin Mu’adz adalah orang yang langka pada masanya. Dia mempunyai lisan dalam subjek ar-raja (harapan), khususnya pembicaraan tentang makrifat. Ia keluar dari kampung halamannya menuju Balakh dan tinggal disana selama satu masa, lalu kembali ke Naisabur dan meninggal dunia disana.”

Ibnul Atsir dalam karya tulisnya yang berjudul Al-Kaamil mengatakan:

“Pada tahun 258 wafatnya Yahya bin Mu’adz Ar-Razi, seorang juru nasihat, yaitu pada bulan Julmadil Ula. Dia adalah ahli ibadah yang shalih.”

Ibnul Mulaq dalam karya tulisnya yang berjudul Thabaqaatul Auliya mengatakan tentangnya:

“Yahya bin Mu’adz Ar-Razi seorang juru nasihat alias Abu Zakaria, salah seorang tokoh poros para wali. Dia seorang yang langka pada masanya dalam bidangnya. Dia wafat pada tahun 258 Hijriyah.”[*]

Yahya Bin Umar

A. Pemikiran Ekonomi
 
Yahya bin Umar merupakan salah satu fuqaha mazhab Maliki. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Ak Kannani Al Andalusi. Kitab yang berhasil dibuatnya adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtisar al-Mustakhrijah fi al-Fiqh al Maliki dan kitab Ahkam al-Suq. Kitab Ahkam al-Suq dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan perdagangan dalam satu wilayah; kedua, hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudharatan bagi para konsumen.
 
Penekanan pemikiran ekonomi Yahya bin Umar adalah pada masalah penetapan harga (al-tas’ir). Ia berpendapat bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan. Hujjahnya adalah mengenai kisah para sahabat yang meminta Rosulullah untuk menetapkan harga karena melonjaknya harga barang namun ditolak oleh Rosulullah dengan alasan Allah-lah yang mengusai harga. Dalam konteks ini, penetapan harga yang dilarang oleh Yahya bin Umar adalah kenaikan harga karena interaksi permintaan dan penawaran. Namun jika harga melonjak karena human error maka pemerintah mempunyai hak intervensi untuk kesejahteraan masyarakat.
Lebih luas lagi mengenai larangan penetapan harga, Yahya bin Umar mengijinkan pemerintah melakukan intervensi apabila :
 
  1. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat sehingga dapat merusak mekanisme pasar
  2. Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting harga (dumping) yang dapat menimbulakan persaingan tidak sehat dan dapat mengacaukan stabilitas harga.
B. Wawasan Ekonomi Modern Yahya bin Umar
 
Berikut adalah wawasan modern Yahya bin Umar yang dikemukakan pada masanya :
 
  1. Ihtikar (Monopoly’s Rent-Seeking), Islam secara tegas melarang ihtikar yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Ihtikar akan merusak mekanisme pasar dan akan meberhentikan keuntungan yang akan diperoleh orang lain serta menghambat proses distribusi kekeyaan diantara manusia. Maka dapat disimpulkan bahwa cirri-ciri ihtikar adalah, pertama, objek penimbunan merupakan barang-barang kebutuhan masyarakat; kedua, tujuan penimbunan adalah untuk meraih keuntungan diatas keuntungan normal.
 
  1. Siyasah Al-Ighraq (Dumping Policy), berbanding terbalik dengan ihtikar, dumping bertujuan untuk meraih keuntungan dengan cara menjual barang pada tingkat harga lebih rendah daripada yang berlaku dipasar. Hal ini dilarang dengan keras karena dapat menimbulkan kemudharatan di tengah masyarakat luas.

Amru Bin Jamuh

Biografi

Amru bin al-Jamuh berasal dari Bani Salamah dan dikenal sebagai salah seorang pemimpin dalam kaumnya. Pada awalnya ia tidak memeluk agama Islam, ia sangat mempercayai berhala-berhala yang disembahnya. Sejak kedatangan Mus'ab bin Umair banyak dari orang Madinah memeluk Islam tak terkecuali tiga orang anaknya, Mu'awadz, Muadz dan Khalid, serta sahabat sebaya mereka yang bernama Muadz bin Jabal. Ibu mereka pun yang bernama Hindun, turut serta memeluk Islam atas ajakan Mus'ab. Meski demikian, Amru tidak mengetahui tentang keimanan yang telah dianut oleh mereka. Ketiga anak-anaknya sangat menginginkan ayahnya untuk segera memeluk Islam, maka dibuat rencana untuk membuat Amr bin Jamuh memeluk Islam.

Anak-Anak dari Amr bin Jamuh akan memindahkan berhala yang disembahnya ketempat lain. Kejadian ini pemindahan berhala terjadi berulang-ulang, hingga membuat Amr bin Jamuh kesal dan bertanya kepada berhalanya
"Apabila kamu memang berkuasa maka belalah dirimu sendiri, akan Aku persenjatai dengan pedang?"
Keesokan harinya berhala itu masih berpindah tempat, sehingga membuat Amir bin al-Jamuh berpikir atas kejadian itu dan kemudian menyatakan memeluk agama Islam. Amir bin al-Jamuh dikenal sebagai seorang yang dermawan dan mau membantu setiap orang. Ia tidak ikut Pertempuran Badar, karena ia diberi kemudahan untuk tidak mengikuti perang sebagai seorang yang telah tua.

Dalam Pertempuran Uhud, ia meminta kepada Nabi Muhammad agar diizinkan ikut berperang. Dalam pertempuran ini, ia diizikan berperang untuk keinginannya memperoleh mati syahid. Sebelumnya ia memang berdoa agar dalam pertempuran ini ia dapat memperoleh mati syahid dan tidak dikembalikan kepada keluarganya. Diakhir pertempuran, ia memperoleh mati syahid. Ia dimakamkan dalam satu kuburan dengan Abdullah bin Amr bin Haram, karena keduanya adalah sahabat dekat.

Malik Bin Annas

Mālik ibn Anas bin Malik bin 'Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas (lengkapnya: Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani), (Bahasa Arab: مالك بن أنس), lahir di (Madinah pada tahun 714 (93 H), dan meninggal pada tahun 800 (179 H)). Ia adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki.
  
Biografi

Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan mengenai masalah tahun kelahiranya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam malik dilahirkan pada 95 H. sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Imam yahya bin bakir meriwayatkan bahwa ia mendengar malik berkata :"aku dilahirkan pada 93 H". dan inilah riwayat yang paling benar (menurut al-Sam'ani dan ibn farhun).

Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah. Kitab tersebut menghimpun 100.000 hadits, dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.

Sejumlah ‘Ulama berpendapat bahwa sumber sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub as Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ada pula ulama yang menetapkan Sunan ad Darimi sebagai ganti Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibn Hazm berkata,” Al Muwaththa’ adalah kitab tentang fiqh dan hadits, aku belum mnegetahui bandingannya.

Hadits-hadits yang terdapat dalam Al Muwaththa’ tidak semuanya Musnad, ada yang Mursal, mu’dlal dan munqathi. Sebagian ‘Ulama menghitungnya berjumlah 600 hadits musnad, 222 hadits mursal, 613 hadits mauquf, 285 perkataan tabi’in, disamping itu ada 61 hadits tanpa penyandara, hanya dikatakan telah sampai kepadaku” dan “ dari orang kepercayaan”, tetapi hadits hadits tersebut bersanad dari jalur jalur lain yang bukan jalur dari Imam Malik sendiri, karena itu Ibn Abdil Bar an Namiri menentang penyusunan kitab yang berusaha memuttashilkan hadits hadits mursal , munqathi’ dan mu’dhal yang terdapat dalam Al Muwaththa’ Malik.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600 dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i., Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj. Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan Abi Ishaq.

Malik bin Anas menyusun kompilasi hadits dan ucapan para sahabat dalam buku yang terkenal hingga kini, Al Muwatta.
Di antara guru beliau adalah 

1.Nafi’ bin Abi Nu’aim, 
2.Nafi’ al Muqbiri, 
3.Na’imul Majmar, 
4.Az Zuhri, 
5.Amir bin Abdullah bin Az Zubair,  
6.Ibnul Munkadir,
7.Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.

Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.




Pujian Ulama Untuk Imam Malik

An Nasa’i berkata,” Tidak ada yang saya lihat orang yang pintar, mulia dan jujur, tepercaya periwayatan haditsnya melebihi Malik, kami tidak tahu dia ada meriwayatkan hadits dari rawi matruk, kecuali Abdul Karim”.

(Ket: Abdul Karim bin Abi al Mukharif al Basri yang menetap di Makkah, karena tidak senegeri dengan Malik, keadaanya tidak banyak diketahui, Malik hanya sedikit mentahrijkan haditsnya tentang keutamaan amal atau menambah pada matan).

Sedangkan Ibnu Hayyan berkata,” Malik adalah orang yang pertama menyeleksi para tokoh ahli fiqh di Madinah, dengan fiqh, agama dan keutamaan ibadah”.

Imam as-Syafi'i berkata : "Imam Malik adalah Hujjatullah atas makhluk-Nya setelah para Tabi'in.
 
Yahya bin Ma'in berkata :"Imam Malik adalah Amirul mukminin dalam (ilmu) Hadits"
Ayyub bin Suwaid berkata :"Imam Malik adalah Imam Darul Hijrah (Imam madinah) dan as-Sunnah ,seorang yang Tsiqah, seorang yang dapat dipercaya".
Ahmad bin Hanbal berkata:" Jika engkau melihat seseorang yang membenci imam malik, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah ahli bid'ah"

Seseorang bertanya kepada as-Syafi'i :" apakah anda menemukan seseorang yang (alim) seperti imam malik?" as-Syafi'i menjawab :"aku mendengar dari orang yang lebih tua dan lebih berilmu dari pada aku, mereka mengatakan kami tidak menemukan orang yang (alim) seperti Malik, maka bagaimana kami(orang sekarang) menemui yang seperti Malik?"


Kitab Al Muwaththa

Al-Muwaththa bererti ‘yang disepakati’ atau ‘tunjang’ atau ‘panduan’ yang membahas tentang ilmu dan hukum-hukum agama Islam. Al-Muwaththa merupakan sebuah kitab yang berisikan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh Imam Malik serta pendapat para sahabat dan ulama-ulama tabiin. Kitab ini lengkap dengan berbagai problem agama yang merangkum ilmu hadits, ilmu fiqh dan sebagainya. Semua hadits yang ditulis adalah sahih kerana Imam Malik terkenal dengan sifatnya yang tegas dalam penerimaan sebuah hadits. Dia sangat berhati-hati ketika menapis, mengasingkan, dan membahas serta menolak riwayat yang meragukan. Dari 100.000 hadits yang dihafal beliau, hanya 10.000 saja diakui sah dan dari 10.000 hadits itu, hanya 5.000 saja yang disahkan sahih olehnya setelah diteliti dan dibandingkan dengan al-Quran. Menurut sebuah riwayat, Imam Malik menghabiskan 40 tahun untuk mengumpul dan menapis hadits-hadits yang diterima dari guru-gurunya. Imam Syafi pernah berkata, “Tiada sebuah kitab di muka bumi ini setelah al qur`an yang lebih banyak mengandungi kebenaran selain dari kitab Al-Muwaththa karangan Imam Malik.”
inilah karangan para ulama muaqoddimin


Wafatnya Sang Imam Darul Hijroh

Imam malik jatuh sakit pada hari ahad dan menderita sakit selama 22 hari kemudian 10 hari setelah itu ia wafat. sebagian meriwayatkan imam Malik wafat pada 14 Rabiul awwal 179 H.
sahnun meriwayatkan dari abdullah bin nafi':" imam malik wafat pada usia 87 tahun" ibn kinanah bin abi zubair, putranya yahya dan sekretarisnya hubaib yang memandikan jenazah imam Malik. imam Malik dimakamkan di Baqi

Enam Amalan Mengusir Petaka

Semua orang tentu sangat mendambakan berada dalam zona aman yang terliputi kebaikan dan kebahagiaan, sehingga apabila ada bencana yang mengancam mereka pun berusaha menangkalnya.

Dan, jika bencana sudah menimpa, berbagai cara pun ditempuh untuk menghilangkannya. Dalam keadaan seperti ini, orang yang tidak memiliki pemahaman tauhid yang benar sangat rawan terjerumus dalam kesyirikan.

Seorang Muslim harus meyakini bahwa hanya Allah yang menguasai seluruh kebaikan dan mudharat, baik yang belum maupun yang sudah menimpa.

Allah SWT berfirman, 

“Katakanlah: Maka terangkanlah kepadaku ten tang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah ber hala-berhalamu itu dapat menghilang kan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apa kah mereka dapat menahan rahmat- Nya? Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” (QS az-Zumar [39]: 38).

Ayat ini dan ayat-ayat yang semacam nya, memupus ketergantungan hati kepada selain Allah dalam meraih kebaikan atau menolak kemudharatan. Saatnya kita mengenali jalan-jalan yang bisa kita tempuh untuk menyelamatkan diri dari berbagai bencana dan balabala kehidupan.

Di antara jalan tolak bala bencana yang Allah tunjukkan kepada kita adalah 

Pertama, doa. 

“Ya Rabbana, jangan uji kami di luar batas kemampuan kami.” (QS al-Baqarah [2]: 286). 

Sebuah hadis menyebutkan,

“Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa.”

Kedua
, kesungguhan takwa. Keterjagaan terhadap amalan takwa pada akhirnya menutup hal terburuk dan apa pun yang tidak dikehendaki olehnya. 

“Barang siapa yang bertakwa, maka Allah jadikan ada jalan keluar baginya.” (QS at-Thalaq [65]: 2-3).

Ketiga, restu dan rida orang tua. Tidaklah setiap kejadian dan peristiwa yang dialami oleh seseorang kecuali atas izin Allah SWT. Dan izin atau restu Allah bersama dengan restu orang tua, demikian sebut Nabi SAW yang diriwa yatkan Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Keempat, sedekah. Orang-orang yang beriman sangat sadar terhadap ke kuatan sedekah sebagai ikhtiar me nolak bala, kesulitan, dan berbagai macam penyakit. Rasullullah SAW ber sabda, 

”Bersegeralah bersedekah, sebab yang namanya bala tidak pernah mendahului sedekah. Belilah semua kesulitanmu dengan sedekah. Dan obatilah penyakitmu dengan sedekah.”

Kelima, perbanyak istighfar.

“Kami tidak akan menurunkan azab bencana selama mereka masih beristighfar (QS al-Anfal [8]: 33).

Keenam, silaturahim, lalu selalu berzikir dan membaca shalawat. 

“Petir menyambar kafir juga mukmin, tetapi petir tidak akan menyambar orang yang sedang berzikir.”

Berikutnya, kegemarannya adalah senantiasa berbuat baik (QS 55:60). Subhanallah. Semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita dari berbagai bala bencana. Amin.
Wallahu a’lam.

Masjid Amru Bin Ash (Masjid Tertua Di Afrika)

KAIRO--Mesir merupakan negeri yang penuh dengan bangunan bersejarah. Salah satunya adalah Masjid Amru bin Ash. Inilah masjid pertama berdiri di benua Afrika. Rumah Allah itu didirikan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW yang juga penakluk negeri Mesir, Amru bin Ash.

 

Masjid yang berdiri di kota Kairo itu dibangun pada tahun 641 M/21 H. Ketika saya berkunjung ke Negeri Kinanah, beberapa waktu lalu, untuk menghadiri Workshop Internasional dan Sosialisasi Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) di Kairo, sahabat saya, Mahir Mohamad Soleh, mahasiswa Universitas Al-Azhar, mengajak mengunjungi masjid tertua di Mesir yang juga tertua di benua Afrika itu.

Di Masjid Amru bin Ash, saya sempat melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Namun, shaf (barisan-red) shalat berjamaah itu tidak dilakukan di shaf yang paling depan, melainkan di shaf belakang. Menurut Mahir, hal ini dilakukan jika jamaah yang melaksanakan shalat berjamaah sedikit, namun jika membludak maka shalat berjamaah biasa dilakukan mulai dari shaf yang paling depan.

Sebelum shalat kami mengambil wudlu. Tempat wudlu di masjid itu sangat menarik, karena dibagi menjadi dua. Tempat pertama diperuntukkan bagi yang menggunakan sandal, sementara yang menggunakan sepatu bisa melepasnya dan tanpa alas kaki langsung mengambil wudlu di tempat yang disediakan.

Usai shalat, saya merebahkan diri di atas lantai masjid yang terhampar karpet merah. Angin sepoi sepoi menyapa kami. Di antara jamaah shalat Ashar pun ada yang terlelap tidur. Meski musim panas, udara di dalam masjid itu tidak terasa panas. Bagian tengah masjid itu tidak beratap dan lantai marmernya pun tidak diberi karpet.

Di tengah-tengah bagian masjid yang terbuka itu, tersedia air siap minum. Di bagian depan masjid ada sekelompok orang yang sedang berdiskusi. Saya tak tahu apa yang mereka diskusikan. Tiang-tiang masjid yang tertata rapi membuat masjid itu jadi bernilai seni tinggi. Masjid itu sempat menjadi tempat syuting film Ketika Cinta Bertasbih yang diadopsi dari novel yang sama karya Habiburrahman El-Shirazy.

Mahir mengatakan, saat hari-hari besar umat Islam dan bulan puasa, masjid itu selalu penuh, bahkan hingga di luar masjid. Selain itu, masjid ini juga oleh mahasiswa Universitas Al-Azhar digunakan untuk belajar dan menghafal Alquran. Sayangnya, saat saya di sana tidak melihat maha siswa yang sedang belajar, sebab mereka sedang menikmati liburan musim panas sesudah bersusah payah menghadapi ujian kenaikan tingkat.

Masjid itu pertama kali dibangun pada tahun 21 Hijriah/641 Masehi. Banyak para sahabat dan tabi` in yang ikut serta dalam membangun mesjid ini, sehingga sampai delapan puluh sahabat menentukan arah Kiblat, diantaranya; Zubair Bin Awam, alMiqdad, Ubadah Bin Shamat, Abu Darda, dan yang lainnya. Masjid itu berbentuk memanjang, dengan panjang 28,9 meter, dan lebar sisinya 17,4 meter, dindingnya terbuat dari batu bata, atapnya terbuat dari pelepah pohon kurma, dan ting-tiangnya dari batang pohon kurma dan memiliki enam pintu.

Masjid ini telah berulang kali direnovasi dan diperluas. Di antaranya, pada tahun 53 Hijriyah (672 M) Pangeran Maslamah bin Mukhallad al-Anshori telah memperluas masjid, kemudian diperluas oleh Pangeran Abdul Aziz bin Marwan (Gubernur Mesir ketika itu ) tahun 79 Hijriyah (698 M).

Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, masjid itu di perbesar oleh Abdul Malik bin Thahir. Kini, panjang Mesjid Amru mencapai120 meter, dan lebarnya 100 meter. Masjid itu juga pernah diperbaiki oleh Sultan Shalahuddin al-Ayubi pada tahun 568 H/1172 M.

 

Masjid Amru begitu banyak mendapat perhatian dari kalangan pemerintah, dari masa pemerintahan Khulafau Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Ayubiyyah, Dinasti Mamalik, sampai Dinasti Usmaniyah. Masjid Amru Bin Ash bukan hanya tempat untuk shalat, tetapi juga menjadi pusat pendidikan Islam pertama di benua Afrika. Imam Syafii juga pernah mengajar di masjid itu. Hal itu menunjukan bahwa masjid Amru bin Ash telah menelurkan sarjana-sajana Muslim yang andal.

Said Bin Musayyib

Para as-Salaf ash-Shalih memahami bahwa ukuran dalam kufu` yang diinginkan adalah agama. Sehingga mereka menahan wanita-wanita mereka dari orang-orang kaya yang mengikuti hawa nafsu, serta mengedepankan orang-orang miskin yang bertakwa daripada mereka, karena keyakinan mereka bahwa kesudahan yang baik adalah bagi orang yang bertakwa.

Inilah Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah, seorang tokoh ulama tabi’in. Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan datang kepadanya melamar putrinya untuk putra mahkota, al-Walid bin Abdul Malik. Putrinya, ketika itu adalah wanita yang paling cantik dan paling sempurna, serta paling tahu (alim) dengan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Tetapi Sa’id bin al-Musayyib tidak ragu untuk meminta maaf (menolak) lamarannya, dan tetap bertahan kendati ia mendapat siksaan yang ditimpakan Abdul Malik kepadanya, hingga ia mencambuknya seratus cambukan. Hal itu karena al-Musayyib tahu sikap al-Walid yang kasar dan selalu memperturutkan hawa nafsu.

Sang alim yang mulia itu kembali ke Madinah, lalu diziarahi oleh Abdullah bin Abi Wada’ah, salah seorang muridnya. Lantas al-Musayyib bertanya tentang kondisinya hingga ia mengetahui bahwa istrinya telah meninggal.

Maka ia berkata kepadanya, “Tidakkah kamu mencari wanita lain?”
“Semoga Allah Ta’ala merahmati Anda, siapakah yang akan menikahkanku sedang aku tidak memiliki kecuali dua atau tiga dirham?” Jawabnya.
Sa’id berkata kepadanya, “Aku (yang) akan menikahkanmu.”
Dia bertanya, “Benar, Anda akan melakukannya?”
Ia berkata, “Ya.”

Lalu dia pun menikahkannya dengan putrinya dengan mahar dua atau tiga dirham. Demikianlah, Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah lebih mengutamakan laki-laki yang fakir tapi bertakwa, yang memiliki kemampuan dalam agama di atas Amirul Mukminin yang kaya raya.

Tidak hanya sampai di situ, ketentraman dan keyakinannya pada agama laki-laki yang fakir itu sampai kepada seperti yang diceritakan tentangnya. Abdullah bin Abi Wada’ah menuturkan, “Aku pun bangkit, sedang aku tidak tahu akan berbuat apa lantaran amat bahagia. Aku berjalan pulang ke rumahku dan mulai berpikir kepada siapa aku meminjam uang, dari siapa aku akan berhutang? Aku pun shalat Maghrib, lalu beranjak ke rumah.

Kunyalakan lampu, dan waktu itu aku sedang berpuasa. Aku menyegerakan makan malamku sebagai buka, yaitu berupa roti dan minyak. Tiba-tiba pintu rumahku ada yang mengetuk. 

Aku bertanya, ‘Siapa?’
Dia menjawab, ‘Sa’id…’
Aku mengingat-ingat setiap orang yang namanya Sa’id, maka tidak ada kecuali Sa’id bin al-Musayyib.

Yang demikian itu, karena ia tidak terlihat selama empat puluh tahun, kecuali (berada) di antara rumahnya dan masjid. Aku pun keluar untuk menemuinya, dan ternyata dia adalah Sa’id bin al-Musayyib. Aku mengira bahwa dia memiliki sebuah keperluan, saya berkata, ‘Wahai Abu Muhammad (yakni Sa’id al-Musayyib), sekiranya engkau mengirim utusan kepadaku (biar aku yang datang kepadamu).’

Dia berkata, ‘Tidak. Kamu lebih berhak untuk didatangi.’
Aku berkata, ‘Kalau begitu, apa yang engkau perintahkan?’
Ia berkata, ‘Sesungguhnya dahulu kamu seorang bujangan, maka kamu pun menikah. Aku tidak mau membiarkanmu malam ini tidur seorang diri. Ini istrimu.’
Ternyata ia berdiri di belakangnya. Kemudian ia mengambil tangannya dan mendorongnya ke pintu lalu menutupnya. Wanita itu jatuh lantaran malu. Aku menutup ulang pintu itu, lalu melangkah ke arah mangkuk tempat roti dan minyak. Aku meletakkannya di bayangan lampu agar ia tidak melihatnya. Kemudian aku naik ke loteng dan memanggil para tetangga. Mereka pun datang. Mereka bertanya, ‘Ada apa denganmu?’
Aku berkata, ‘Sungguh, aku telah dinikahkan oleh Sa’id bin al-Musayyib dengan putrinya hari ini, ia membawanya malam ini tanpa sepengetahuan orang.”
Mereka berkata, ‘Sa’id menikahkanmu?!’
Saya menjawab, ‘Ya.’
Mereka bertanya, ‘Sekarang (putri)nya di rumah ini?!’
Saya menjawab, ‘Ya.’
Mereka pun mendatanginya.

 Berita itu sampai kepada ibuku. Dia pun datang seraya berkata, “Wajahku haram dari wajahmu, jika kamu menyentuh istrimu sebelum aku mengarahkannya sampai tiga hari.” Aku pun menunggu selama tiga hari, kemudian baru menggaulinya. Ternyata, dia termasuk wanita yang paling cantik, paling hafal Kitab Allah Ta’ala, paling alim dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan paling tahu hak suami. Aku tinggal selama sebulan, Sa’id tidak mengunjungiku dan aku pun tidak mengunjunginya. Baru setelah satu bulan, aku datang kepadanya di halaqah (majelis ta’lim)nya. Aku mengucapkan salam kepadanya, lalu ia menjawab salamku, dan ia tidak berbicara kepadaku hingga orang-orang yang ada di majelis itu telah bubar.

Dia bertanya, ‘Bagaimana keadaan orang itu (maksudnya putrinya)?’
Aku menjawab, ‘Baik, wahai Abu Muhammad. Sebagaimana yang dicintai teman, dan dibenci oleh musuh.”
Dia berkata, ‘Jika ada yang meragukanmu darinya, maka jangan sampai kamu memukul.’
Aku pun pulang ke rumahku, dan dia mengirimkanku uang dua puluh ribu dirham.”
Betapa besar ketentraman sosok tabi’in mulia itu akan masa depan (nasib) putrinya, sampai-sampai ia tidak berpikir untuk menanyakan detail keadaannya, lantaran ketentramannya bahwa dia berada di sisi laki-laki bertakwa, yang takut kepada Allah Ta’ala, tahu hak-haknya atas dirinya dan juga kedudukannya dari dirinya.

Qasim Bin Muhammad Bin Abu Bakar Ash-Shiddiq

Sudahkah datang kepadamu berita tentang tabi’i yang mulia ini?
Ia adalah seorang pemuda yang telah mengumpulkan kemuliaan dari seluruh ujungnya, hingga tidak ada yang terlewatkan olehnya sedikitpun…
Ayahnya adalah Muhammad ibn Abi Bakar ash-Shiddiq…
Ibunya adalah putri Kaisar “Yazdajurda” raja Persia yang terakhir…
Bibinya adalah ‘Aisyah ummul mukminin…

Di atas itu semua, ia telah memasang mahkota takwa dan ilmu di atas kepalanya.
Apakah kamu mengira bahwa di atas kemuliaan ini ada kemuliaan lain yang orang-orang saling berlomba-lomba untuk mendapatkannya?
Dialah al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar ash-Shiddiq, satu dari tujuh ahli fiqih kota Madinah (al-Fuqaha’ as-Sab’ah)*…Penduduk zamannya yang paling afdlol dalam hal ilmu…paling tajam akalnya dan paling wara’.
Maka, marilah kita mulai kisah kehidupannya dari awal.
Al-Qasim ibn Muhammad dilahirkan pada akhir-akhir dari kekhalifahan Utsman ibn Affan RA…akan tetapi belum lagi anak kecil ini mampu berjalan di sarangnya sehingga angin fitnah yang kencang berhembus di tengah-tengah kaum muslimin.
Maka, syahidlah khalifah yang ahli ibadah lagi zuhud yaitu Dzunnurrain sedangkan tulang sulbinya condong ke depan mendekap al-Qur`an.
Dan bergolaklah perselisihan yang besar antara amirul mukminin Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan amir negeri Syam…
Dan di dalam rantai yang menakutkan dan membingungkan dari kajadian-kejadian yang berkesinambungan ini…anak kecil ini mendapatkan dirinya dibawa bersama saudara perempuannya dari Madinah menuju ke Mesir…Adalah merupakan keharusan bagi mereka berdua untuk menyusul ayah mereka setelah diangkat menjadi wali atas Mesir oleh amirul mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib.

Kemudian, ia melihat kuku-kuku fitnah yang merah memanjang hingga sampai kepada ayahnya yang kemudian membunuhnya dengan cara yang paling jahat.
Kemudian, ia menemukan dirinya dipidahkan kali yang lain dari Mesir menuju Madinah setelah para pembela Muawiyah menguasainya…dan ia telah menjadi anak yatim yang ditinggal oleh kedua orang tuanya.
Al-Qasim menceritakan sendiri tentang perjalanan penuh derita ini dan yang setelahnya. Ia menuturkan, “Ketika ayahku terbunuh di Mesir, datanglah pamanku Abdurrahman ibn Abi Bakar, kemudian ia membawaku dan adik perempuanku…ia lalu berangkat bersama kami menuju Madinah.
Belum lama kami sampai di Madinah, hingga bibiku ‘Aisyah RA datang kepada kami dan membawa kami dari rumah pamanku menuju rumahnya…dan ia mendidik kami di bawah asuhannya.
Aku tidak pernah melihat seorang ibu dan seorang ayah sekalipun yang lebih banyak berbuat kebajikan dan tidak pula lebih banyak kasih sayangnya dari pada dia.
Ia menyuapi kami dengan tangannya dan ia tidak ikut makan bersama kami…apabila ada sedikit makanan kami yang tersisa ia pun memakannya.
Ia mandekap (mengasihi) kami sebagaimana seroang ibu menyusui mengasihi bayi yang disapihnya. Ia mamandikan kami dan menyisir rambut kami. Ia juga memakaikan baju putih bersih kepada kami.
Ia tidak pernah berhenti menganjurkan kami atas kebaikan dan melatih kami melakukannya…ia melarang kami dari kejahatan dan membawa kami untuk meninggalkannya.
Ia membiasakan mentalqin kitab Allah kepada kami sekemampuan kami…dan menjadikan kami meriwayatkan hadits Rasul SAW apa yang kami hafal.
Pada dua hari raya ia bertambah kebajikannya dan hadiahnya kepada kami…

Di sore hari Arafah ia mencukur rambutku…memandikan aku dan adik perempuanku…dan apabila pagi telah tiba ia pun memakaikan baju baru kepada kami, dan mengirim kami ke masjid untuk menunaikan shalat ‘id. Dan apabila kami telah pulang, ia lantas mengumpulkan aku dan adik perempuanku lalu memotong kurban di hadapan kami. Pada suatu hari, ia memakaikan kami baju putih, lalu mendudukkan aku di salah satu lututnya dan adik perempuanku di lutut yang lain.

Dan sebelumnya ia telah memanggil pamanku Abdurrahman…ketika ia (pamanku) masuk menemuinya, ia (bibiku) menyalaminya kemudian berkata. Ia memuji Allah AWJ dan menyanjung-Nya dengan pujian yang sesuai dengan-Nya.

Maka, aku tidak pernah melihat seorang laki-laki atau perempuan pun yang berbicara sebelumnya dan tidak pula setelahnya yang lebih fasih lisanya dan lebih manis ucapannya dari pada dia.

Ia (bibiku) kemudian berkata, “Wahai saudaraku…aku masih melihatmu berpaling dariku sejak kedua anak ini aku ambil darimu dan aku dekap dalam pelukanku. Demi Allah tidaklah aku melakukan hal itu karena merasa lebih tinggi darimu dan tidak pula su’u dzan kepadamu serta menuduhmu lalai terhadap hak mereka berdua. Akan tetapi engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki banyak istri. Sedangkan mereka berdua adalah anak kecil yang belum mampu mengurusi diri mereka. Sehingga aku merasa takut kalau istri-istrimu melihat dari keduanya apa-apa yang mereka merasa jijik darinya sehingga mereka tidak merasa senang. Dan aku dapatkan diriku lebih berhak dari pada mereka untuk mengurusi keduanya dalam keadaan ini. Nah…keduanya sekarang telah tumbuh besar dan telah mampu untuk mengurusi dirinya sendiri. Maka, ambillah keduanya dan bawalah tinggal bersamamu.” 

Pamanku Abdurrahman mengambil kami dan menempatkan kami di rumahnya. Hanya saja, anak “al-Bakriy” (dari keturunan Abu Bakar) ini, hatinya selalu bergantung dengan rumah bibinya ‘Aisyah ummul mukminin RA…Di atas tanah rumahnya yang harum dengan parfum-parfum nubuwwah ia telah tumbuh…Di bawah asuhan shabatnya ia telah terdidik dan tumbuh…Dan dari kasih sayangnya yang terpancar ia minum hingga puas.
Maka ia pun membagi waktunya antara (mengunjungi) rumah (bibi)nya dan rumah pamannya.
Kenangan-kenangan rumah bibinya yang harum, jernih dan gemerlap selau hidup dalam benaknya sepanjang hidup.
Dengarkanlah beberapa cerita tentang kenangan-kenangannya. Ia menuturkan, “Pada suatu hari aku berkata kepada bibiku ‘Aisyah RA, “Wahai Ibu, singkaplah kuburan Nabi SAW untukku dan kuburan dua sahabatnya…sesungguhnya aku ingin melihatnya.”

Adalah ketiga kuburan tersebut masih berada di dalam rumahnya. Ia telah menutupnya dengan sesuatu yang dapat menghalanginya dari pandangan. Ia lalu menyingkap untukku ketiga kuburan tersebut yang tidaklah menggunduk tinggi dan tidak pula lengkaui. Dan telah dihampari dengan kerikil merah yang ada di halaman masjid.

Aku berkata, “Manakah kuburan Rasulullah SAW?”
Dengan tangannya ia menunjuk seraya berkata, “Ini.”
Kemudian meneteslah dua air mata besar di pipinya. Ia segera mengusapnya hingga aku tidak melihatnya.
Adalah kuburan Nabi SAW berada di depan kuburan kedua sahabatnya.
Aku berkata, “Manakah kuburan kakekku Abu Bakar?”
“Yang itu” katanya.
Adalah Abu Bakar dikubur di sisi kepala Nabi SAW.
Aku berkata, “Dan yang ini kuburan Umar?”
“Ya” jawabnya.

Dan adalah kepala Umar RA berada di sisi pinggang kakekku dekat dengan kaki Nabi SAW. Saat pemuda bakriy ini tumbuh dewasa, ia telah hafal kitab Allah SWT. Ia telah mengambil (belajar) hadits Rasulullah SAW dari bibinya apa-apa yang Allah kehendaki untuk ia mengambilnya.

Kemudian ia mendatangi al-Haram an-Nabawi (masjid nabawi) yang mulia, dan duduk pada halaqoh-halaqoh ilmu yang tersebar di setiap pojok dari pojok-pojok masjid sebagaimana tersebarnya bintang-bintang yang gemerlap di hamparan langit.

Sehingga ia meriwayatkan dari Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn az-Zubair…Abdullah ibn Ja’far, Abdullah ibn Khabbab, Rafi’ ibn Khudaij, Aslam budak Umar ibn al-Khaththaab, serta yang lainnya dan yang lainnya. Sehingga ia menjadi penduduk jamannya yang paling tahu tentang as-Sunnah (apa-apa yang shahih dari Rasulullah SAW ).

Adalah seseorang tidak dianggap menjadi orang alim di sisi mereka hingga ia kokoh dalam hal Sunnah.

Setelah perangkat ilmu pemuda bakriy ini menjadi sempurna, mulailah orang-orang mendatanginya untuk mencari ilmu darinya dengan penuh antusias dan rasa rindu. Dan ia pun mendatangi mereka memberikan ilmu kepada mereka dengan penuh derma.

Ia mendatangi masjid Rasulullah SAW pada setiap pagi hari pada waktu yang tidak pernah ia langgar…Ia shalat dua rakaat tahiyatul masjid. Ia lantas mengambil tempatnya di depan khaukhah Umar (cendela kecil) di Raudlah yang mulia antara kuburan Nabi SAW dan mimbarnya**.

Maka para thulabul ilmi dari segala tempat berkumpul kepadanya. Mereka meminum dari sumber-sumbernya yang tawar dan jernih sehingga memuaskan jiwa-jiwa yang haus.

Tidak berselang waktu yang lama sehingga al-Qasim ibn Muhammad dan anak bibinya (dari pihak ibu) yaitu Salim ibn Abdullah ibn Umar telah menjadi dua imam Madinah yang terpercaya. Dua penghulu yang ditaati dan dua orang yang didengar ucapannya, walaupun wilayah dan kekuasaan tidak berada dalam genggaman kedua tangannya.

Orang-orang telah mengangkatnya menjadi pemimpin disebabkan oleh ketakwaan dan wara’ yang mereka berdua berhias dengannya, dan karena ilmu serta fiqih (pemahaman) yang tersimpan dalam dadanya, serta apa yang mereka berhias dari kezuhudan terhadap apa yang ada pada manusia, serta raghbah (antusias/cinta) dengan apa yang ada di sisi Allah SWT.

Dan telah sampai dari ketinggian kedudukan keduanya di dalam jiwa, hingga para khalifah Bani Umayyah dan para walinya tidaklah memutuskan suatu perkara penting dari urusan Madinah kecuali dengan mengambil pendapat mereka berdua. Di antaranya, bahwa al-Walid ibn Abdul Malik bertekad untuk meluaskan al-Haram an-Nabawi yang mulia.

Dan ia tidak memiliki keluasan untuk merealisasikan angan-angannya yang mahal ini kecuali dengan menghancurkan masjid yang lama dari keempat sisinya…dan menghilangkan rumah-rumah istri Nabi SAW dan memasukkannya ke masjid. Ini adalah perkara yang terasa memberatkan manusia Dan mereka tidak merasa senang dengannya…

Lantas ia menulis surat kepada Umar ibn Abdul Aziz gubernurnya atas kota Madinah, ia berkata, “Aku berpendapat untuk meluaskan masjid Rasulullah SAW hingga luasnya menjadi dua ratus hasta kali dua ratus hasta. Maka hancurkanlah keempat temboknya dan masukkanlah kamar-kamar istri Nabi SAW ke dalamnya. Dan belilah rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Dan majukanlah kiblatnya bila kamu mampu. Dan sesungguhnya kamu mampu melakukannya karena kedudukan paman-pamanmu ali al-Khaththaab (keluarga al-Khaththaab) dan kedudukan mereka dalam hati manusia.

Apabila penduduk Madinah enggan menjalankan perintahmu itu, maka mintalah bantuan kepada al-Qasim ibn Muhammad dan Salim ibn Abdullah ibn Umar, ikutkanlah mereka berdua dalam urusan ini…

Bayarlah harga rumah-rumah mereka dengan penuh kedermawanan…sesungguhnya kamu memiliki dua pendahulu yang jujur/benar dalam hal tersebut, mereka yaitu Umar ibn al-Khaththaab dan Utsman ibn Affan.”

Umar ibn Abdul Aziz lalu mengundang al-Qasim ibn Muhammad dan Salim ibn Abdullah serta sejumlah tokoh penduduk Madinah. Ia membacakan surat amirul mukminin kepada mereka…mereka dibuat gembira dengan tekad khalifah dan bersegera melaksanakannya. Tatkala manusia melihat dua ‘alim Madinah dan dua imamnya yang besar bersegera menghancurkan masjid dengan tangannya, mereka lantas bangkit bersama keduanya secara bersama-sama. Dan melaksanakan isi surat amirul mukminin.

Dan adalah pada waktu itu, pasukan kaum muslimin yang mendapat kemenangan mendobrak pintu-pintu benteng yang menguhubungkan ke kota Kostantinopel dan menguasainya satu demi satu dengan kepemimpinan amir yang gagah berani yaitu Maslamah ibn Abdul Malik ibn Marwan…dan itu adalah tamhid (pendahuluan dan pengantar) untuk penaklukkan kota Kostantinopel itu senidri.

Tatkala raja Romawi mengetahui tekad amirul mukminin untuk meluskan masjid nabawi yang mulia, ia ingin merayunya dan mendekat kepadanya dengan apa yang ia senangi…

Ia (raja Romawi) lalu mengirim seratus ribu mitsqol (batu timbangan) dari emas dan mengutus bersamanya seratus pekerja dari ahli bangunan yang paling mahir di negeri Romawi.  Dan ia membekali para pekerja dengan empat puluh muatan dari al-fusaifisaa***…

Lalu al-Walid mengirim itu semua kepada Umar ibn Abdul Aziz guna membantunya dalam membangun masjid…maka, Umar mendistribusikannya setelah bermusyawarah dengan al-Qasim ibn Muhammad dan sahabatnya. Al-Qasim ibn Muhammad adalah orang yang paling menyerupai kakeknya yaitu ash-Shiddiq RA, hingga orang-orang berkata, “Abu Bakar tidak melahirkan seorang anak yang lebih mirip dengannya dari pemuda ini.”

Ia (al-Qasim) telah menyerupainya dalam kemuliaan kepribadiannya dan ketinggian sifatnya, keteguhan imannya dan kebesaran wara’nya serta kedermawanan jiwa dan tangannya.
Telah diriwayatkan darinya banyak perkataan-perkataan dan perbuatan yang mempersaksikan akan hal ini.

Di antaranya, bahwa ada seorang badui yang mendatanginya ke masjid, ia berkata, “Siapakah yang lebih alim, kamu atau Salim ibn Abdullah?”
Ia (al-Qasim) lalu pura-pura menyibukkan diri darinya…
Badui tersebut mengulangi pertanyaannya kepadanya.
Ia menjawab, “Subhaanallah.”

Badui itu mengulanginya kali yang ketiga, lalu ia (al-Qasim) berkata kepadanya, “Itu Salim duduk di sana wahai anak saudaraku.”

Orang yang ada dalam majlisnya berkata, “Lillahi abuuhu****…”, ia tidak senang mengatakan, “Aku lebih alim darinya” sehingga ia mentazkiyah (merekomendasi) dirinya…dan ia juga tidak senang mengatakan, “Dia lebih alim dariku” sehingga ia berdusta Karena memang ia lebih alim dari Salim.

Suatu kali ia pernah terlihat di Mina. Dan para penduduk negeri dari orang-orang yang berhaji ke baitullah mengerumuninya dari segala sisi dan menanyainya. Ia menjawabi mereka dengan apa yang ia tahu, dan pada apa yang ia tidak tahu, ia mengatakan, “Aku tidak tahu…aku tidak mengerti…aku tidak faham.” Mereka pun dibuat heran dengannya.

Ia lalu berkata, “Aku tidak tahu seluruh apa yang kalian tanyakan…kalau aku mengetahuinya, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya…dan tidak halal bagiku untuk menyembunyikannya. Dan (ketahuilah) seseorang hidup dalam keadaan bodoh –setelah mengetahui hak Allah atasnya- adalah lebih baik baginya daripada ia mengatakan apa yang ia tidak mengetahuinya.”

Pada suatu kali, ia diberi amanat untuk membagi zakat kepada para mustahiknya, ia pun berijtihad semampunya, dan memberi setiap orang akan haknya. Hanya saja salah seorang dari mereka tidak ridla dengan bagiannya yang telah diberikan kepadanya. Ia lalu mendatanginya di masjid sedangkan al-Qasim sedang berdiri shalat. Ia lalu mulai berbicara tentang zakat.

Maka putra al-Qasim berkata kepadanya, “Demi Allah, sesungguhnya kamu membicarakan seseorang yang tidak mengambil dari zakat kalian satu dirham pun dan tidak pula satu daanik (seperenam dirham)…dan tidak merasakan satu korma pun darinya.”

Al-Qasim lalu mempercepat shalatnya dan menoleh ke arah anaknya seraya berkata, “Wahai anakku, janganlah kamu berkata setelah hari ini apa yang kamu tidak tahu.” Orang-orang berkata, “Sesuungguhnya anaknya telah benar (dalam perkataannya)….” Akan tetapi al-Qasim berkeinginan untuk mendidiknya dan menjaga lisannya dari mengatakan sesuatu yang tidak ada faidahnya.

Al-Qasim ibn Muhammad telah diberi umur hingga lebih dari tujuh puluh dua tahun. Akan tetapi matanya menjadi buta di saat ia berusia lanjut. Pada akhir tahun dari kehidupannya, ia menuju ke Mekkah menginginkan haji…dan di tengah perjalanan kematian menjemputnya.

Ketika ajalnya sudah dekat, ia menoleh kepada anaknya dan berkata, “Bila aku mati, kafanilah aku dengan pakaianku yang aku shalat dengannya, yaitu gamisku…sarungku…dan kainku…itu adalah kafan kakekmu Abu Bakar. Kemudian ratakan kuburanku dan pulanglah kepada keluargamu. Dan hati-hatilah (janganlah kamu) berdiri di atas kuburanku dan berkata, “Dahulu ia begini…dan dulu ia begitu….”, karena aku bukanlah siapa-siapa”.

Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian Dan Musik

Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Ghanam berkata : Abu Amir atau Abu Malik Al-Asy'ari Radiyallahu 'anhu telah menceritakan kepadaku bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda, "Di kalangan umatku nanti akan ada suatu kaum yang menghalalkan perzinaan, sutera, khamr dan alat-alat musik."

Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya, meskipun diriwayatkan secara mu'allaq, namun tetap dijadikan hujjah yang beliau masukkan dalam bab tersendiri, yaitu Bab tentang Orang yang menghalalkan Khamr dan Menamainya dengan Nama Lain. "Hisyam bin Ammar berkata : telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Athiyah bin Qais Al Kilabi, dari Abdurrahman bin Ghanm Al Asy'ari bahwa ia berkata : Amir atau Abu Malik Al Asy'ari, - Demi Allah dia tidak membohongiku - menceritakan kepada bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda : " Sungguh akan ada suatu kaum dari umatku yang menghalalkan perzinaan, sutera, khamr dan alat-alat musik."

Orang-orang yang mencacatkan keshahihan hadits ini tidak dapat beralasan apa-apa, seperti Ibnu Hazm, kecuali hanya untuk membela madzhabnya yang batil dalam hal membolehkan hiburan atau musik dengan menganggap hadits Al Bukhari di atas adalah munqathi' (terputus -red), karena Al Bukhari tidak menyambungkan sanad hadits tersebut.

Jawaban mengenai kerancuan ini adalah sebagai berikut: 

Sesungguhnya Al Bukhari telah bertemu Hisyam bin Ammar dan telah mendengarkan hadits dirinya. Maka jika Al Bukhari mengatakan, "Hisyam telah berkata. " itu berarti sama artinya dengan mengatakan, : Dari Hisyam." Seandainya Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu darinya, maka sudah tentu dia tidak akan membolehkan untuk meyakini hadits itu darinya, kecuali memang shahih bahwa ia (Hisyam) benar-benar pernah mengatakannya. Hal semacam ini banyak digunakan saking banyaknya rawi yang meriwayatkannya hadits dari syaikh tersebut dan karena kemasyhurannya. Lagi pula yang namanya Al Bukhari itu adalah rawi yang paling jauh dari perbuatan tadlis (pemalsuan). Al Bukhari sendiri memasukkan hadits tersebut dalam kitabnya yang diberi nama Shahih, yang dijadikan hujah oleh beliau. Seandainya hadits ini tidak dianggap shahih oleh beliau, tentu beliau tidak akan memasukkannya dalam kitab Shahih beliau.

Al Bukhari menta'liqnya dengan shighar jazm, bukan shighat tamridh. Ia juga mengambil sikap tawaquf mengenai suatu hadits atau jika hadits yang ada itu tidak memenuhi persyaratannya, maka Al Bukhari biasanya mengatakan, "Wa yurwa'an Rasulullah wa yudzkaru'anhu." (Diriwayatkan dari Rasulullah dan disebutkan darinya), atau ungkapan yang sejenisnya.

Namun jika Al Bukhari sudah mengatakan, "Qola Rasulullah " (Rasulullah telah bersabda), maka berarti ia telah menetapkan dan memastikan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi. Kalau saja kita buang alasan di atas, maka hadits ini tetap dianggap shahih dan muttasil oleh hadits lainnya. Abu Dawud dalam kitab Al Libas mengatakan : telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin Najdah, katanya : Bisyr bin Bakar telah menceritakan kepada kami Athiyah bin Qais yang mengatakan : Aku telah mendengar Abdurrahman bin Ghanm Al Asy'ari berkata : Abu Amir atau Abu Malik telah menceritakan kepada kami, lalu disebutkan hadits seperti di atas secara ringkas.

Abu Bakar Al Ismaili juga meriwayatkan dalam kitabnya As Shahih, secara musnad.
Ia mengatakan : Abu Amir tidak dapat diragukan.

Nalarnya, bahwa segala alat musik merupakan alat hiburan atau permainan, dan hal ini tidak diperselisihkan di antara para ahli bahasa. Seandainya hal itu halal (dibolehkan), tentu Rasul tidak akan mencela tindakan menghalalkan hal tersebut, dan tidak menyandingkan dengan khamr dan perzinaan.

Ibnu Majah di dalam kitab Sunannya mengatakan : Abdullah bin Said telah menceritakan riwayat hadits kepada kami dan Muawiyah bin Shalih, dari Hatim bin Huraits dari Abi Maryam, dari Abdurrahman bin Ghanm Al Asy'ari, dari Abu Malik Al Asy'ari ra bahwa ia berkata : Rasulullah telah bersabda : " Sungguh akan ada manusia-manusia dari umatku yang meminum khamr yang mereka namakan dengan nama lain, kepalanya dipenuhi dengan musik dan penyanyi-penyanyi wanita. Maka Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi dan menjadikan di antara mereka ada kera dan babi.' (sanad hadits ini shahih).

Orang-orang yang menghalalkan musik -dalam hadits tersebut- diancam bahwa Allah akan meneng-gelamkan mereka ke dalam bumi dan merubah bentuk mereka menjadi kera dan babi. Meskipun ancaman ini untuk seluruh perbuatan yang tersebut dalam hadits itu, namun masing-masingnya mendapatkan bagian dari celaan dan ancaman ini.

Dalam hal ini terdapat berbagai riwayat hadits, yaitu hadits dari Sahl bin Sa'ad As Saidi, Imron bin Hushain, Abdullah bin Amru, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Abu Umamah Al Bahli, 'Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Anas bin Malik, Abdurrahman bin Sabith dan hadits Al Ghazi bin Rabi'ah. Kami sengaja mengungkapkannya agar para Ahlul Qur'an mendapat kepuasan, di samping agar orang-orang yang suka mendengarkan suara setan itu dapat tergugah hatinya.

1. Hadits Sahal bin Sa'id

Ibnu Abi Dunya berkata : Al Haitsam bin Kharijah telah menceritakan kepada kami, katanya : telah mencertiakan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa'ad As Saidi bahwa ia telah berkata : Rasulullah bersabda : 

"Di dalam umatku ini akan ada (siksaan yang berupa) pembenaman, pelemparan dan pengubahan bentuk. "Ditanyakan, " Kapan hal itu terjadi ya Rasulullah?" Beliau Menjawab, "Jika telah tampak berbagai alat musik, qainah (budak wanita yang menjadi penyanyi) serta dihalalkannya khamr."

2. Hadits Imran bin Hushain
Hadits ini diriwayatkan oleh At Tarmidzi dari hadits Al A'masy, dari Hilal bin Yisaf, dari Imran bin Hushain yang berkata : Rasulullah telah bersabda : 

"Pada umatku nanti akan ada (siksaan atau bencana yang berupa) pembenaman, pelemparan dan pengrubahan bentuk." Lalu salah seorang di antara kaum muslimin ada yang bertanya. "Kapan hal itu terjadi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Jika telah tampak berbagai qainah, alat-alat musik dan diminumnya khamr." At Tarmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib.

3. Hadits Abdullah bin Amru
Imam Ahmad di dalam Musnadnya dan juga Abu Dawud sama-sama meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah telah bersabda, 

"Sesungguhnya Allah SUBHANAHU WA TA’ALA telah mengharamkan atas umatku : khamr, judi, kubah (kartu atau dadu; dapat pula diartikan at thibl (genderang; juga termasuk jenis alat musik lainnya) -pent.) dan ghubaira' (minuman keras yang diperas dari jagung yang biasa dibuat oleh orang-orang Habasyah); dan setiap yang memabukkan itu haram. " Dalam lafal Ahmad yang lain disebutkan : "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan atas umatku khamr, judi, mizr (sejenis ghubaira', namun ada yang mengatakan terbuat dari gandum), kubah dan qinnin (jenis permainan judi yang dipraktekkan bangsa Romawi; namun ada pula yang mengartikan genderang yang biasa ditabuh oleh orang-orang Habasyah."

4. Hadits Ibnu Abbas
Di dalam Musnad Ahmad juga disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah telah bersabda : 

"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan khamr, judi dan kubah. Setiap yang memabukkan itu haram."

5. Hadits Abu Hurairah
At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah telah bersabda :

"Jika harta hanya diedarkan pada kalangan terbatas, amanat jadi barang rampasan, zakat sebagai utang, ilmu dipelajari untuk selain agama, seorang lelaki (suami) mentaati istrinya dan mendurhakai ibunya, mendekatkan temannya dan menjauhkan ayahnya, tampak suara-suara di dalam masjid, orang yang fasik tampil memimpin kabilah, orang yang paling hina menjadi pimpinan suatu kaum, seorang dimuliakan karena ditakui kejahatannya, muncul penyanyi-penyanyi dari budak-budak wanita dan berbagai alat musik, diteguknya khamr dan orang-orang akhir dari umat ini telah melaknat (mengutuk) umat terdahulu; maka ketika itu tunggulah angin merah, gempa, amblesnya bumi, perubahan bentuk, penjerumusan serta tanda-tanda lain yang beruntun seperti sebuah jaring tua (usang) yang jika kawatnya terputus maka akan terus merembet." At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan gharib.

Ibnu Abi Dunya berkata : Abdullah bin Umar Al Jusyami menceritakan kepada kami,
katanya : telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Salim yaitu Abu Dawud, katanya : Hasan bin Abi Sinan telah menceritakan kepada kami dari seorang laki-laki, dan Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulullah telah bersabda : 

"Suatu kaum dari umat ini pada akhir zaman akan diubah menjadi kera dan babi. "Para sahabat bertanya. "Ya Rasulullah, bukankah mereka itu bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah?" Beliau menjawab. "Ya, bahkan mereka juga menunaikan shalat, puasa dan haji. "Ditanya lagi. "Apa pasalnya mereka itu?" Beliau menjawab, "Mereka hanyut oleh musik, rebana dan qainah (budak yang menjadi biduanita) dan mereka begadang dengan suguhan minuman dan hiburan, lalu pada esok harinya mereka diubah bentuknya menjadi kera dan babi." (hadits dha'if - ed.)

6. Hadits Abu Umamah Al Bahili
Hadits ini dikemukakan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga oleh At Tirmidzi bahwa Rasulullah telah bersabda. 

"Ada sekelompok dari umatku yang begadang dengan suguhan makanan dan minuman serta hiburan dan permainan, kemudian esok harinya mereka menjadi kera dan babi, lalu dikirimkan angin terhadap orang-orang yang hidup di antara mereka, kemudian angin itu menghamburkan mereka sebagaimana telah menghamburkan orang-orang sebelum kalian lantaran mereka telah menghalalkan khamr, menabuh rebana, dan mengambil budak-budak wanita untuk menyanyi."

Di dalam sanad hadits ini terdapat Farqad As Sabakhi yang termasuk pembesar kaum Shalih, namun demikian ia tidaklah kuat dalam hal hadits. At Tirmidzi mengatakan : "Yahya bin Asa'id melemahkannya namun ada juga rawi-rawi yang mengambil riwayat darinya."

Ibnu Abi Dunya berkata : Abdullah bin Umar Al Jusyami menceritakan kepada kami,
katanya : telah menceritakan kepada kami Ja'far bin Sulaiman, katanya " Farqad As Sabakhi menceritakan kepada kami : telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Sa'id bin Al Musayyab, katanya : telah menceritakan kepadaku Ashum bin Amru Al Bajali dari Abu Umamah dari Rasulullah bahwa beliau bersabda : "Akan ada suatu kaum dari umat ini yang menghabiskan malamnya di atas makanan, minuman dan hiburan. Lalu pada pagi harinya mereka telah diubah bentuknya menjadi kera dan babi. Dan pasti mereka itu akan ambles ditelan bumi, sehingga pada esok harinya orang-orang pun bercerita, "Kampung si fulan ambles (terbenam) tadi malam, Bani Fulan ambles ditelan bumi tadi malam!" Dan pasti akan dikirimkan (dijatuhkan) bebatuan dari langit terhadap mereka sebagaimana pernah dijatuhkan terhadap kaum Nuh, atas kabilah-kabilah yang ada di dalamnya dan atas kampung-kampung (rumah) yang ada di dalamnya. Pasti akan dikirim-kan pula kepada mereka angin pemusnah yang pernah membinasakan bangsa 'Ad, karena mereka meminum khamr, memakan riba, menjadikan budak-budak wanita untuk menyanyi, dan memutuskan tali kekeluargaan." (Hadits dha'if - ed.).

Di dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan riwayat hadits dari Ubaidillah bin Zahr, dari Ali bin Yazid dari Al Qasim, dari Abu Umamah, dari Rasulullah bahwa beliau bersabda : 

"Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam, dan memerintahku untuk membinasakan seruling, genderang, alat-alat musik senar dan patung-patung (berhala) yang disembah di masa jahiliyah." (Hadits dha'if - ed.).

Al Bukhari mengatakan : "Ubaidillah bin Zahr itu tsiqat (sekian banyak ulama menyatakan dha'if. Lihat At Tahdzib, VII/13 - ed.). Ali bin Yazid adalah dha'if dan Al Qasim bin Abdurrahman Abu Abdurrahman adalah tsiqat.

At Tirmidzi dan Imam Ahmad dalam Musnadnya juga meriwayatkan dengan sanad yang persis seperti ini bahwa Nabi telah bersabda, 

"Janganlah engkau jual qainah (budak wanita menjadi biduanita), jangan membelinya dan jangan mengajarinya. Tiada kebaikannya dalam memperdagangkannya dan harganya itu haram".

Berhubungan dengan hal ini maka turunlah ayat : 

"Di antara manusia ada orang yang membeli lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah." (Luqman : 6)

7. Hadits Aisyah radhiallahu 'anha
Ibnu Abi Dunya berkata : Al Hasan bin Mahbub menceritakan kepada kami, katanya : telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhar yaitu Hasyim bin Al Qasim, katanya : telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar dari Muhammad bin Al Munkadir dari "Aisyah radhiallahu'anha bahwa ia berkata : Rasulullah telah bersabda : 

"Pada umatku nanti akan terjadi pengamblesan, pengubahan bentuk dan pelemparan,"Aisyah bertanya, "Ya Rasulullah, sedangkan kaum itu masih mengatakan Laa ilaaha ilallah?" Beliau menjawab, "Jika telah tampak biduanita-biduanita, telah muncul perzinaan, diteguknya khamr dan dipakainya kain sutera, maka di sinilah hal itu terjadi." (Ibnu Abi Dunya meriwayatkan hadits ini dalam Dzammul Malalhi, hadits no. 3. Pensanadan hadits ini dha'if, namun banyak syawahid (bukti atau penguat dari hadits lain) yang mengangkat derajat hadits ini ke tingkat hasan lighairihi - ed.).

Ibnu Abi Dunya juga meriwayatkan : telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Nashih, katanya : Baqiyyah bin Al Walid telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abdullah Al Juhani, katanya : telah menceritakan kepadaku Abul A'la dari Anas bin Malik bahwa ia pernah mengunjungi 'Aisyah radhiallahu'anha beserta seorang teman. Orang itu berkata, "Ya Ummul Mukminin, ceritakanlah kami tentang gempa!" 'Aisyah radhiallu'anha menjawab, "Itu merupakan nasehat (pelajaran), rahmat, dan berkah bagi orang-orang mukmin serta merupakan hukuman, adzab serta kemurkaan terhadap orang-orang kafir," Anas berkata, "Aku tiada mendengar satu hadits pun setelah Rasulullah (wafat) yang membuatku sangat bergembira daripada hadits ini." (Sanad hadits ini dha'if).

8. Hadits Ali ra.
Ibnu Abi Dunya berkata : telah menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Tsaqlab, katanya : Farj bin Fadhalah menceritakan kepada kami riwayat dari yahya bin Sa'id, dari Muhammad bin Ali, dari Ali ra, katanya Rasulullah telah bersabda : 

"Jika umatku telah melakukan lima belas perilaku, maka ia layak mendapatkan bala' (bencana)," Ditanyakan, "Apa saja kelima belas perilaku itu ya Rasulullah" Beliau menjawab, "Jika kekayaan hanya berputar pada kalangan tertentu, amanat menjadi barang rampasan, zakat menjadi utang; seorang lelaki (suami) menurut pada istrinya dan mendurhakai ibunya; berbuat baik kepada teman namun kasar terhadap ayahnya sendiri; ditinggikannya suara-suara di masjid; yang menjadi pemimpin suatu kaum adalah orang yang paling hina di antara mereka; seseorang dimuliakan karena ditakuti kejahatannya; diminumnya khamr; dipakainya kain sutera, mengambil para biduanita; dan orang-orang akhir dari umat ini telah melaknat orang-orang terdahulu. Maka kalau sudah demikian, tunggulah datangnya angin merah, pengamblesan bumi dan pengubahan bentuk." (Di dalam sanad hadits ini terdapat Al Farj bin Fadhalah yang oleh sebagian ahli hadits dinyatakan dha'if mengenai hafalannya, namun Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Takhrijul Misykat (5451) - ed.).

Abdul Jabbar bin Ashim menceritakan kepada kami, katanya : telah menceritakan kepada kami Ismail bin Asysy dari Abdurrahman At Tamimi, dari Abbad bin Abu Ali,dari Ali bin Abi Thalib ra dari Nabi bahwa beliau telah bersabda : 

"Segolongan dari umatmu nanti akan ada yang diubah menjadi kera, ada yang dihantam oleh angin yang membinasakan. Itu semua disebabkan karena mereka meneguk khamr, memakai kain sutera, mengambil biduanita-biduanita, dan bermain musik." (Di dalam sanad hadits ini terdapat Abbad bin Abi Ali yang sebagaimana dikomentari oleh Ibnu Al Qatthan disangsikan adalahnya (Al Mizan, 2 : 370), Ibnu Hajar dalam At Taqrib (7137) hal. 290 menyatakan maqbul (dapat diterima) jika ada penguatnya, dan jika tidak maka ia lemah haditsnya. Juga terdapat Ismail bin Asyasy di mana riwayatnya selain dari ulama Syam adalah dha'if (An Nizab, 1:240), sedangkan dalam riwayat ini bukan dari ulama Syam. Dengan demikian dha'if, - ed.).

9. Hadits Anas ra
Ibnu Abi Dunya berkata : Abu Amru harun bin Umar Al Qursyi menceritakan kepada
kami, katanya : telah menceritakan kepada kami Al Khasib bin Katsir dari Abu Bakar Al Hudzali, dari Qatadah, dari Anas bin Malik ra yang berkata : Rasulullah ra telah bersabda : 

"Pada umatku ini akan terjadi pembenaman, pelemparan dan pengubahan bentuk. Itu terjadi jika umat tersebut telah meneguk khamr, mengambil biduanita-biduanita dan bermain musik." (Sanad hadits ini rusak karena ada Abu Bakar Al Hudzali. Disebutkan bahwa namanya adalah Sulami bin Abdullah dan ada yang mengatakannya namanya Rauh. Ia adalah seorang yang haditsnya ditinggalkan (matrukul hadits) sebagaimana disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Taqrib (8002) hal. 625 - ed.).
Ibnu Abi Dunya juga mengatakan : Abu Ishaq Al Azdi telah memberitahukan kepada kami, katanya : telah menceritakan kepada kami Ismail bin Uwais, katanya : telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari salah satu putera Anas bin Malik ra dan juga dari yang lainnya, dari Anas bin Malik ra bahwa ia berkata : Rasulullah ra telah bersabda : 

"Pada umat ini kelak ada orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan makanan, minuman dan musik. Lalu esok harinya mereka diubah bentuk menjadi kera dan babi." (Di dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam yang dha'if seperti disebutkan dalam Taqribut Tahdzib (3867) hal. 340. Juga terdapat rawi yang tidak jelas, karena tidak ada namanya. Dengan demikian sanad hadits ini dha'if. Namun dengan syawahid yang ada, ia dapat naik derajat menjadi hasan lighairihi - ed.).


10. Hadits Abdurrahman bin Sabith
Ibnu Abi Dunya berkata : Ishaq bin Ismail telah menceritakan kepada kami, katanya : telah menceritakan kepada kami Jarir : dari Aban bin Taghlab, dari Amru bin Murrah, dari Abdurrahman bin Sabith, bahwa ia berkata : Rasulullah telah bersabda : 

"Pada umatku nanti akan terjadi pembenaman (pengamblesan bumi), penglemparan dan pengubahan bentuk."Para sahabat bertanya : "Kapan hal itu terjadi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Jika mereka telah merajalelakan musik dan menghalalkan khamr." (Hadits ini mursal, karena yang membawakan hadits ini adalah seorang dari kalangan Tabi'in (yang tidak pernah bertemu Nabi), yaitu Abdurrahman bin Sabith, meskipun ia sebenarnya tsiqat. Dia banyak meriwayatkan hadits secara mursal, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At Taqrib (3867) hal. 340 - ed.).

11. Hadits Al Ghazi bin Rabi'ah
Ibnu Abi Dunya berkata : Abdul Jabbar bin Ashim telah menceritakan kepada kami, katanya : telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ayasy, dari Ubaidullah bin Ubaid, dari Abul Abbas Al Hamdani, dari Umarah bin Rasyid, dari Al Ghazi bin Rabi'ah - yang mengangkat (menyambungkan) hadits ini kepada Nabi - bahwa ia mengatakan, "Suatu kaum nanti pasti akan berubah menjadi kera dan babi sedang mereka masih berada di atas dipan-dipan mereka. Itu disebabkan karena mereka meneguk khamr, bermain musik dan mengambil biduanita." (Hadits mursal, karena Al Ghazi adalah seorang dari kalangan Tabi'in - ed.).

Ibnu Abi Dunya berkata : Abul Jabbar bin Ashim telah menceritakan kepada kami, katanya : telah menceritakan kepada kami Al Mughirah bin Al Mughirah dari Shalih bin Khalid - yang mengangkat hadits tersebut kepada Nabi - bahwa ia berkata, 

"Akan ada manusia dari umatku ini yang menghalalkan sutera, khamr dan musik. Dan pasti Allah akan mendatangkan gunung yang besar sehingga gunung itu melalap mereka, dan sebagian dari mereka diubah bentuk menjadi kera dan babi." (Hadits mursal - ed.).

Ibnu Abi Dunya berkata : Harun bin Ubaid telah menceritakan kepada kami, katanya : Yazid bin Harun telah menceritakan kepada kami, katanya : telah menceritakan kepada kami Asyras Abu Syaiban Al Hudzali yang berkata : aku pernah berkata kepada Farqad As Sabakhi : Beritahukan kepadaku wahai Abu Ya'qub mengenai kejadian-kejadian aneh yang aku baca dalam Taurat, bahwa akan ada pengubahan bentuk, pembenaman dan penglemparan pada uamt Muhammad ini yang termasuk ahlu kiblat! Wahai Abu Ya'qub, apa sebenarnya perbuatan mereka itu?" Ia menjawab,"Itu disebabkan karena mereka mengambil biduanita- biduanita untuk menyanyi, menabuh rebana (bermain musik) serta memakai pakaian sutera dan emas. Jika kamu hidup hingga dapat melihat tiga perbuatan, maka yakinlah, bersiap-siaplah dan berhati-hatilah!" Aku bertanya, "Apa itu?" Ia menjawab, "Jika kaum laki-laki sama kaum laki-laki dan kaum perempuan sama kaum perempuan dan bangsa Arab sudah suka terhadap bejanan orang A'jam, maka itulah saatnya!" Aku bertanya kepadanya, "Apakah khusus orang Arab?" Ia menjawab, "Tidak, namun seluruh ahlu kiblat." selanjutnya ia berkata : "Demi Allah, orang-orang seperti itu pasti akan dilempari batu dari langit yang akan menghancurkan mereka dalam keadaan sedang di jalanan dan di tengah-tengah kabilah mereka seperti yang pernah menimpa kaum Luth; yang lain diubah bentuk mereka menjadi kera dan babi seperti yang pernah terjadi pada Bani Israil; dan sebagian lagi dari mereka dibenamkan ke dalam bumi seperti yang pernah menimpa Qarun.

Banyak sekali khabar (hadits) yang menjelaskan tentang adanya al maskh (pengubahan bentuk) pada umat ini yang bersifat muqayyad, namun kebanyakan hadits menyebutkan akan menimpa orang-orang yang bergelimang dengan nyanyian dan para peminum khamr, dan sebagaimana bersifat muthlaq.

Salim bin Abu Al Ja'd mengatakan : Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman di mana ketika itu orang-orang berkumpul di depan pintu rumah seorang laki-laki untuk menunggu keluarnya lelaki dari dalam rumahnya untuk menemui mereka lalu mereka eminta keperluan kepadanya, lalu laki-laki itupun keluar dalam keadaan sudah berubah bentuk menjadi kera atau babi. Dan seorang laki-laki akan lewat dan bertemu dengan aki-laki lain di kedainya yang sedang berjualan,lalu ia kembali sudah berubah menjadi kera atau babi."

Malik bin Dinar berkata :"Telah sampai kepadaku bahwa pada akhir zaman nanti akan ada badai dan kegelapan, lalu orang-orang pun meminta tolong kepada ulama-ulama mereka, namun ternyata para ulama itu mendapati mereka telah berubah bentuk."

Sebagian ulama mengatakan,"Jika hati itu telah bersifat dengan makar, tipuan dan kefasikan serta telah tercelup dengan hal itu secara sempurna, maka orangnya telah berperilaku seperti perilaku hewan yang disifati dengan sifat tersebut, diantaranya adalah kera, babi dan sejenisnya. Selanjutnya pensifatan itu terus meningkat sehingga tampaklah di raut mukanya secara remang-remang. Selanjutnya semakin menguat dan bertambah terus sehingga tampak secara jelas di raut muka. Kemudian menguat lagi sehingga paras yang tampak itu terbalik (berubah bentuk) sebagaimana unsur batinnya pun sudah terlebih dahulu terbalik."

Barangsiapa yang memiliki pandangan yang jeli, maka ia akan dapat melihat bahwa sebenarnya paras manusia itu merupakan metamorfosis dari paras hewan di mana secara batin mereka berakhlak dan berperilaku seperti perilaku hewan tersebut. Maka jika engkau melihat seorang yang curang, suka mengelabuhi, penipu dan pengkhianat, tentu di wajahnya terlihat adanya hasil metamorfosis dari kera. Di raut muka orang-orang Rafidhah (Syi'ah) akan anda lihat wajahnya terlihat adanya hasil metamorfosis dari wajah anjing.

Yang lahir (zhahir) itu selalu terkait dengan yang batin. Maka jika sifat-sifat tercela itu mendominasi jiwa,maka paras yang lahir pun akan kentara pula. Oleh karena itu Nabi menakut-nakuti makmum yang mendahului imam dalam shalat berjama'ah bahwa Allah akan menjadikan parasnya sebagai paras keledai, karena secara batin ia memang menyerupai keledai. Sebab, jika ia mendahului imam, maka shalatnya akan rusak dan pahalanya akan gugur. Maka makmum yang seperti itu, bodohnya seperti keledai.

Jika hal ini sudah dapat dimengerti, maka sebenarnya manusia yang paling layak untuk dimetamorfosis adalah manusia-manusia yang disinyalir oleh hadits-hadits di atas. Merekalah manusia yang paling cepat dimetamorfosis menjadi kera dan babi karena adanya keserupaan batin antara mereka dengan binatang itu.

Hukuman-hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala na'udzu billah berjalan sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Telah kami kupas masalah keserupaan orang-orang yang menyanyi serta yang terfitnah dengan mendengarkan lagu-lagu setan serta telah kami hantam habisan-habisan dalam kitab kami yang cukup besar yang mengupas masalah ini. Kami sebutkan pula perbedaan antara apa yang cukup besar bisa digerakkan dari mendengarkan bait-bait dan apa yang bisa digerakkan dari mendengarkan ayat-ayat. Barangsiapa yang ingin lebih jauh lagi memahami hal ini, maka silakan baca buku tersebut. Masalah ini memang sengaja kami kupas sedikit dalam buku ini, karena hal ini termasuk di antara perangkap setan.

Wabillahit taufiq. (Buku yang dimaksud Ibnul Qayyim tersebut sekarang sudah diterbitkan dengan judul "Al Kalam 'ala Masalitis Sama" yang ditahqiq oleh Syaikh Rasyid Abdul Haziz Al Hamd, - ed.). Sumber : Kitab Ighotsatul Lahfan, Menyelamatkan Hati dari Tipu Daya, karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah