Surah Al-Fateha

29 Mei 2012

"Manusia bisa menjadikan semua pekerjaan itu sebagai ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Peluang yang sangat besar untuk beribadah dan mengeskpresikan rasa syukur ini adalah karunia terbesar Allah kepada manusia." 
 
Faktor yang Ketiga: Isti’anah adalah Ekspresi Ketergantungan Manusia

Mungkin kita bisa memahami seluruh dimensi dan keistimewaan yang terdapat dalam kalimat “iyyaka nasta’in” dari apa yang telah dijelaskan dalam kalimat “iyyaka na’budu”, karena perbedaan antara keduanya hanyalah pada kata “pertolongan” dan “ibadah”. Adapun dimensi lain yang berkaitan dengan struktur dan gaya bahasa sama mengesankan hal yang sama dengan apa yang sudah dikemukakan dalam “iyyaka nasta’in”, sehingga tidak perlu untuk diulangi kembali.

Isti’anah (meminta pertolongan Allah) termasuk salah satu unsur utama dalam proses kesempurnaan manusia seperti halnya ibadah. Ayat ini seolah mengingatkan manusia bahwa kesempurnaannya tidak akan terwujud hanya karena keinginannya, akan tetapi, pada hakikatnya, ia tidak bisa melakukan apapun kecuali dengan kehendak Allah Swt dan dengan pertolongan-Nya. Dan isti’anah ini bersifat mutlak mencakup semua keberadaannya.

Ketergantungan manusia terhadap Allah Swt adalah hal yang akan membuat isti’anah menjadi sebuah solusi atas apa yang tengah terjadi dalam dirinya, yaitu tumbuhnya perasaan yang lahir melalui “iyyaka na’budu” bahwa kehendaknya adalah kehendak yang independen dari kehendak Allah. Isti’anah akan menyadarkan hamba bahwa kehendaknya tunduk pada kehendak Allah Swt, terutama setelah kita membahas bahwa perjalanan kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan adanya kesesuaian antara kehendaknya dengan kehendak Allah, hal yang mengisyaratkan dengan jelas adanya dua iradah yang independen satu sama lain.

Hal ini ditegaskan al-Qur`an dalam berbagai ayatnya, al-Qur`an menjelaskan bahwa iradah yang menguasai semua kehendak dan keinginan adalah iradah Allah Swt. Allah berfirman:

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.”[56]

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”[57]

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah”.[58]

Selain itu, ekspresi yang diungkapkan melalui isti’anah akan mengobati manusia dari penyakit nafsu dan kecenderungan terhadap kelaliman, dimana ia merasa dirinya memiliki kehendak dan ikhtiar sendiri, dan terkadang mendorongnya untuk berbuat hal yang menyalahi iradah tasyri’iyyah Allah Swt.


Poin Kedua: Tujuan Tarbiyah dan Akidah
Bagian ini memuat beberapa persoalan tarbiyah dan akidah yang sangat penting, di antaranya:

Pertama: Tujuan Akidah
Penegasan tauhid dalam hal ibadah kepada Allah telah dikemukakan dalam “iyyaka na’budu” yang merupakan konsep dasar akidah Islam, sementara dalam “iyyaka nasta’in” menunjukkan ketergantungan manusia akan pertolongan Allah Swt dalam setiap amal dan perbuatannya. Ini juga adalah konsep akidah yang menjadi bukti bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat baru (karena memiliki ketergantungan terhadap pihak lain–pent) ciptaan Allah yang Maha Kaya.

Kedua: Tujuan Tarbiyah
1. Dari “iyyaka na’budu” kita bisa memahami konsep ibadah yang mutlak dan menyeluruh. Konsep ini menunjukkan bahwa seorang hamba bisa menjadikan semua perbuatannya bernilai ibadah, bahkan hingga perbuatan yang didasari keinginannya sendiri, seperti makan dan minum serta hasrat lainnya. Manusia bisa menjadikan semua pekerjaan itu sebagai ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Peluang yang sangat besar untuk beribadah dan mengeskpresikan rasa syukur ini adalah karunia terbesar Allah kepada manusia. Mungkin perbedaan utama antara para nabi dengan manusia biasa –selain para nabi terjaga dari perbuatan maksiat- adalah mereka selalu berupaya menjadikan seluruh gerak dan aktifitasnya sebagai ibadah kepada Allah.

2. Sesungguhnya setiap kali manusia mendekati kondisi ideal “iyyaka na’budu” dengan maknanya yang mutlak dan universal, dalam arti, ia menjadikan semua wujudnya tunduk kepada Allah, setiap kali itu pula ia semakin mendekat kepada Allah dan melesat naik menuju kesempurnaan, karena jalan menuju kesempurnaan mausia adalah ibadah yang dilakukan manusia secara merdeka atas dasar pilihannya.

3. Sesungguhnya manusia tidak memiliki wujud yang terlepas dari jamaahnya, dan kesempurnaan manusia, meskipun bisa dicapai melalui aktifitas individual, akan tetapi, ia hanya bisa mencapai kesempurnaan yang terbatas. Kesempurnaan yang utama hanya bisa dicapai melalui hidup bermasyarakat. Karena itulah, ia dibebani tugas untuk merubah masyarakat ke arah kesempurnaan.

4. Sesungguhnya manusia tidak akan mampu berjalan menuju kesempurnaan hanya dengan bergantung pada iradah dan ikhitarnya sendiri, akan tetapi, ia harus meminta pertolongan Allah Swt, meskipun ia seorang ahli ibadah yang terpilih. Masa depan dan nasibnya tergadai dalam kekuasaan Allah Swt. Ia sama sekali tidak bisa menentukan nasibnya sendiri, karena seluruh kehendaknya harus sesuai dengan iradah tasyriiyyah Allah. Dan hal ini tidak akan tercapai kecuali melalui pertolongan ilahi.

BAGIAN KETIGA
Meliputi firman Allah Swt,

tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”[59]

Ada dua poin utama yang menjadi pembahasan dalam hal ini:

Poin Pertama: Kandungan umum
Bagian ini memiliki keterkaitan erat dengan bagian sebelumnya, karena dalam bagian ini berisi doa seorang hamba kepada Allah Swt. Doa ini merupakan tujuan dan target perjalanan kesempurnaan manusia yang telah ditetapkan dalam bagian pertama dan kedua. Karena, setiap proses kesempurnaan harus memiliki tujuan dan target, dan tujuan itulah yang dibicarakan dalam bagian terakhir ini. Selain itu, bagian ini juga merupakan cerminan bahwa manusia memang sangat membutuhkan Allah, doa dalam bagian ini adalah ekspresi dari ketergantungan manusia terhadap Allah. Dengan demikian, terlihat jelas hubungan erat antara bagian ini dengan dua bagian sebelumnya.

Bagian ini mengisyaratkan sejumlah makna yang sangat luhur, di antaranya:

Pertama: Kesempurnaan adalah salah satu fitrah manusia

Sesungguhnya kesempurnaan adalah corak dan fitrah manusia yang diekspresikan melalui kehendak dan ikhtiarnya, jika tidak, maka manusia tidak akan memiliki doa dan permintaan. Allah Swt telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan, kemudian membebaninya dengan berbagai peribadatan dan memberikan pertolongan agar manusia mampu melaksanakan ibadah ini, karena manusia memang sangat membutuhkannya. Jika tidak ada kecenderungan fitrah menuju kesempurnaan, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan Allah lebih lanjut sebagaimana 

Dengan kecenderungan ini, manusia berbeda dengan makhluk lain, meskipun makhluk lain juga memiliki perjalanannya menuju kesempurnaan, hanya saja, mereka tunduk pada aturan iradah takwiniyyah Allah, melalui aturan itulah mereka berjalan menuju perkembangan dan kesempurnaannya. Dilihat dari segi ini, manusia juga menuju kesempurnaannya melalui aturan iradah takwiniyyah Allah, mulai dari air mani, segumpal darah, embrio...

Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.”[60]

Ciri khas kesempurnaan dan perkembangan, meskipun bersifat universal karena merupakan ungkapan kesempurnaan ilahi, dan segala sesuatu yang berasal dari Allah memiliki sifat kesempurnaan dan kebaikan, hanya saja, kesempurnaan itu dilihat dari segi iradah takwiniyah. Adapun kesempurnaan yang berbasis kehendak bebas adalah ciri khas kesempurnaan manusia, kesempurnaan ini merupakan corak fitrah dalam manusia yang mendorongnya untuk meminta pertolongan lebih dari Allah Swt.

Kedua: Pertolongan Ilahi adalah sarana mencapai tujuan

Sesungguhnya penafsiran kebutuhan manusia akan tambahan hidayah, bahkan setelah ia mendapatkan petunjuk dan tekun beribadah dan meminta pertolongan Allah Swt. Memang manusia telah dibekali alat-alat internal untuk mencapai hidayah Allah seperti akal yang menuntunnya kepada hal yang utama dan fitrah yang menjadikannya berbalik menghadap Allah. Manusia seacara fitrah selalu cenderung pada kesempurnaan, seperti yang telah kami sebutkan, dan Allah adalah kesempurnaan mutlak, karena itu, fitrahnya akan mendorong manusia menuju kepada Allah.

Meskipun demikian, manusia tetap membutuhkan petunjuk eksternal, karena akal dan fitrah tidak mampu untuk mewujudkan hidayah yang sempurna serta tingkatan yang luhur dalam kedekatan diri dengan Allah Swt.

Dan hidayah eksternal ini bisa datang dalam dua jenis; terkadang berbentuk wahyu ilahi, kitab-kitab langit, risalah ilahiyah yang dibawa para nabi dan rasul atau melalui campur tangan Allah secara langsung dalam memberikan hidayah.

Tidak ragu lagi bahwa manusia selalu merasa butuh kepada hidayah eksternal jenis kedua, yaitu hidayah yang banyak disebut para mufassir sebagai taufik Ilahi. Karena manusia sadar, jika hanya mengandalkan akal dan fitrah manusia, demikian juga hidayah melalui risalah Ilahi yang dibawa para nabi dan rasul, terkadang tidak cukup, meskipun semua itu sudah cukup menjadi hujjah bagi Allah kelak di hari kiamat, karena terhalangnya manusia dari hidayah terkadang diakibatkan kekeraskepalaan dan pembangkangan manusia.

Al-Qur`an telah mengisyaratkan hakikat ini dalam berbagai ayatnya yang menegaskan bahwa hidayah adalah kehendak ilahi:

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.”[61] “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.”[62] “Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya.”[63]

Masih banyak lagi ayat-ayat senada. Al-Qur`an juga banyak menceritakan bahwa hidayah tidak diperuntukan bagi orang-orang munafik, kafir dan zalim.

Selain itu, al-Qur`an juga memaparkan bahwa hidayah adalah salah satu sebab bertambahnya hidayah ilahiyyah, seperti dalam firman Allah:

Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.”[64] “Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka.”[65]

Tidak ragu lagi bahwa hidayah ini bukan hidayah ilahiyah yang direalisasikan dalam pengutusan para nabi dan rasul atau menurunkan kitab-kitab langit. Manusia sangat membutuhkan –setelah berbagai macam hidayah ini- bimbingan dan pertolongan Allah Swt serta taufiq khusus agar ia sampai kepada tujuan yang paling puncak. Bimbingan inilah yang dipinta manusia kepada Allah melalui bagian ketiga dari surah yang mulia ini. Permintaan ini selain mengungkapkan kecenderungan manusia untuk menuju kearah kesempurnaan juga mengungkapkan sejauh mana manusia membutuhkan hidayah Ilahi. Inilah salah satu bukti isti’anah dalam firman Allah Swt “hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”.

Ketiga: Corak Fitrah

Al-Qur`an mensifati tujuan yang dicari manusia dengan istilah “shirath al-mustaqim”, dan kita akan bahas dalam salah satu tema dibawah ini mengenai maksud dari shirat al-mustaqim. Al-Qur`an telah mensifati beberapa dimensi dan sifat shirat al-mustaqim dalam bagian yang mulia ini, akan tetapi, yang ingin kami isyaratkan disini adalah titik temu yang berkaitan dengan uslub al-Qur`an yang membutuhkan pembahasan tersendiri. Titik ini dimulai dari fakta bahwa al-Qur`an senantiasa menggunakan kata-kata, sifat-sifat serta istilah-istilah yang sesuai dengan fitrah manusia dan disenanginya, agar makna yang terkandung menjadi lebih dalam dan membekas dalam jiwa manusia. seperti penggunaan lafadz “wasath” dalam firman Allah, “dan Kami jadikan kalian sebagai ummat wasathan (pertengahan) agar kalian menjadi saksi atas manusia.”[66] Kemudian lafazh “’adl” seperti dalam firman Allah, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat[67], lafazh “al-qisth” seperti dalam firman Allah, “dan jika engkau menghukumi diantara manusia , maka putuskanlah dengan al-qisth (adil)[68], serta lafazh-lafazh lain yang disukai manusia dan sesuai dengan fitrahnya yang lurus.

Al-Qur`an telah mensifati jalan menuju hidayah dengan al-mustaqim. Kata istiqamah adalah kata yang disukai manusia yang berfitrah lurus, jiwanya cenderung kepadanya dan sesuai dengan fitrahnya. Ketika al-Qur`an mengemukakan sifat bagi jalan, al-Qur`an ingin mengisyaratkan bahwa jalan yang diminta manusia adalah jalan yang sesuai dan integral dengan fitrahnya dan menyampaikan manusia pada tujuan kesempurnaannya.

Hal ini sesuai dengan apa yang dipahami manusia dengan nalurinya, bahwa istiqamah adalah ungkapan untuk margin terpendek antara dua titik dan jalan yang lurus adalah rute terpendek yang bisa menyampaikan pada tujuan. Dengan demikian, jalan hidayah ditambah dengan fitrah yang lurus adalah jalan terpendek dan tercepat yang bisa menyampaikan manusia kepada Allah Swt.

Kesesuaian dengan fitrah ini bisa kita temukan dalam sifat yang ditentukan al-Qur`an bagi jalan yang lurus, karena al-Qur`an nenempatkan sifat pertama, “yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat.” Jelas bahwa perjalanan manusia pada jalan orang-orang yang diberi nikmat dan keutamaan Allah adalah hal yang sesuai dengan fitrah dan disukainya, terlepas dari berbagai makna yang dicakup sifat ini menurut para mufassir.

Hal ini juga bisa kita temukan dalam sifat kedua dan ketiga untuk shirat al-mustaqim, “bukannya jalan orang-orang yang dibenci dan bukan pula orang-orang yang sesat”, karena secara fitrah, manusia akan menolak konsep dimana jalannya adalah jalan orang yang dibenci dan diancam Allah, atau, orang-orang yang meniti jalan kesesatan, keraguan dan kebingungan serta keluar dari jalan yang lurus. 

Dengan uslub ini, al-Qur`an mengemukakan makna akidah dan tarbiyah dengan pola yang sesuai dengan fitrah ilahiyah. Selain itu, pendeskripsian jalan yang dipinta dengan beberapa sifat dan batasan-batasan fitrah, sesuai dengan kandungan do’a “tunjukilah kami..” yang memberikan kesan bahwa, secara fitrah, manusia selalu membutuhkan Allah menuju kesempurnaan dan kemajuan.

Keempat: Sifat objektif shirath al-mustaqim

Al-Qur`an tidak hanya menyifati shirat al-mustaqim dengan sesuatu yang sesuai fitrah, akan tetapi melalui bagian ini al-Qur`an juga menyebutkan sifat-sifat objektif bagi shirat al-mustaqim melalui cakupan eksternalnya; satu positif dan dua negatif.

Sifat objektif yang positif tercermin dalam dua hal:

1. Suri tauladan yang baik

Keteladanan ini tercakup dalam firman Allah, “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka” yang ditafsirkan sebagai para nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin. Dengan demikian, al-Qur`an mensifati shirat melalui contoh ideal dalam kehidupan manusia, yaitu orang-orang yang berjalan di atas jalan lurus ini, seperti para nabi, syuhada, shiddiqin dan shalihin serta menjadikan mereka sebagai suri tauladan.

Ayat ini mengisyaratkan pentingnya peran keteladanan yang luhur dalam proses tarbiyah dan hidayah manusia. Karena, salah satu metode dasar berdakwah dalam Islam adalah keteladanan yang baik. Pada kenyataannya, hidayah tidak akan terwujud hanya dengan mentransfer konsep dan pemahaman, akan tetapi keteladanan menjadi unsur pokok dalam metode ini. Ketika al-Qur`an ingin mensifati shirat al-mustaqim, maka al-Qur`an pun mensifatinya melalui keteladanan orang-orang yang telah diberikan karunia.

2. Syariat Ilahi

Ketika al-Qur`an menampilkan shirath ini sebagai jalannya para nabi, dengan demikian, dalam ayat ini al-Qur`an telah mengisyaratkan bahwa syariah yang dibawa oleh para nabi dari Allah Swt, pada saat yang bersamaan, datang dibarengi konsep akidah lain yang sangat penting, yaitu konsep nubuwwah (kenabian), dimana, syariat hanya ada jika mereka yang membawanya disifati dengan nubuwwah.

Hidayah akal dan fitrah tidaklah cukup untuk mengantarkan manusia kepada tujuan puncak dalam perjalanan kesempurnaannya, meskipun akal dan fitrah mampu menemukan jalan untuk menuju kepadanya. Karena itu, adalah hal yang niscaya jika manusia membutuhkan hidayah rabbaniyah untuk meniti jalan yang lurus, sehingga ia sampai kepada Allah Swt dan tujuan kesempurnaannya yang luhur.

Konsep keteladanan yang luhur dalam firman Allah, “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka” yang kemudian ditafsirkan sebagai para nabi dan orang-orang yang berjalan diatas jalannya, mencakup konsep wahyu ilahi yang merupakan salah satu ciri khas para nabi dan risalah atau yang disebut “garis kenabian”. Melalui hidayah rabbainiyyah ini, manusia akan mencapai tujuan kesempurnaannya.

Kedua sifat objektif negatif yang diungkapkan dalam hal-hal berikut:

1. Dalam kalimat “bukan jalannya orang-orang yang dibenci”. Kalimat ini mengekspresikan adanya pembangkangan, kesombongan dan keangkaramurkaan, karena al-Qur`an menggunakan istilah “kemurkaan Tuhan” dalam keadaan ini. Kondisi ini (kondisi dalam kebencian Tuhan), meskipun termasuk salah satu atibut yang melekat pada jiwa manusia, hanya saja mempunyai wujud obyektif yang bisa dipilah dan dikenali, sehingga kondisi ini kemudian digunakan untuk mensifati shirat al-mustaqim. Manusia yang berada dalam kondisi tersebut, jelas tidak berada dalam shirat al-mustaqim dan kondisi tersebut tidak mungkin terjadi pada seseorang yang berjalan diatas shirat al-mustaqim. Dengan demikian, kondisi ini membentuk salah satu dari dua sisi negatif, yaitu sifat angkara murka, kesombongan dan pembangkangan.

2. Dalam kalimat “bukan pula orang-orang yang sesat”, dimana kalimat ini menggambarkan sebuah keadaan yang melenceng atau keluar dari shirath, kehilangan arah, bingung dan ragu-ragu. Kondisi ini bisa dirasakan manusia dalam dirinya ketika ia merasa bingung, ragu dan bimbang, kemudian ia kehilangan arah dan kejelasan dalam perjalanannya. Saat itulah ia menyadari dirinya tidak berada dalam shirat al-mustaqim, karena, kondisi seperti ini tidak mungkin ada saat ia berjalan diatas shirat al-mustaqim. Dari sinilah dipahami sifat objektf negatif yang kedua untuk shirat al-mustaqim.

Dengan demikian, shirat al-mustaqim dikelilingi batasan-batasan, baik dalam dimensi positifnya yang tercermin dalam syariat, kitab dan keteladanan yang luhur, atau dalam dimensi negatifnya yang tercermin dalam keangkaramurkaan, kesombongan pembangkangan, keraguan dan kahilangan arah.

Poin Kedua: Kandungan Akidah dan Tarbiyah
Bagian yang suci ini menampilkan beberapa kandungan akidah dan tarbiyah, di antaranya:

Pertama: Kandungan Akidah

1. Bahwa Allah Swt telah menitipkan fitrah dalam diri manusia yang mendorongnya kearah kesempurnaan, hal ini berkaitan dengan teori al-Qur`an dalam memahami manusia. Dengan fitrah inilah manusia menjadi berbeda dengan mayoritas makhluk Allah di alam semesta ini.

Pemahaman ini menjadi latar belakang diutusnya para nabi dan rasul kepada manusia dan tidak untuk mayoritas makhluk lain, karena, mayoritas makhluk tidak memiliki corak fitrah seperti manusia. Allah hanya memberikan insting sebagai bekal mereka dalam mengarungi perjalanannya sebagai pemandu dan petunjuk. Dengan demikian, mereka tidak membutuhkan pengutusan para nabi dan rasul serta hidayah samawiyah (petunjuk Ilah)i. Berbeda dengan manusia yang memiliki corak fitrah menuju kesempurnaan dan perkembangan, memiliki kemampuan untuk mencapainya dengan karunia akal dan pengetahuan. Dengan bekal itulah manusia cenderung untuk berkembang dan bergerak ke arah kesempurnaan, maka, fungsi risalah langit bagi manusia adalah sebagai pemandu dan penjamin agar manusia tidak melenceng dari perjalannya.
Jika tidak ada risalah Ilahi, maka kecenderungan ini akan mendorong manusia ke arah aktifitas yang tidak jelas tujuan dan batasannya, sehingga berakhir dengan penyimpangan dari jalan menuju kesempurnaan.

2. Bagian ini menampilkan rangkaian garis nubuwwah (wahyu, para nabi dan kitab-kitab langit) dan peranannya dalam memberikan petunjuk bagi manusia.

3. Mengimani adanya taufik ilahi dan ri’ayah ilahiyyah (bimbingan Allah) dalam proses sampainya manusia kepada tujuan dan kesempurnaan. Karena, semua bawaan manusia (akal dan fitrah) demikian pula hidayah risalah ternyata tidak cukup untuk membawa manusia kepada tujuan dan kesempurnaannya --sebagaimana yang diisyaratkan konsep tafwidl israililyyah, yaitu konsep yang berpendapat bahwa Allah telah menciptakan manusia dan menyerahkan segala urusan sesuai kecakapan dan kemampuan manusia--, akan tetapi harus dibarengi dengan taufik Allah yang selalu dimohon dan dicari manusia dari Allah Swt.

4. Sesungguhnya perjalanan kesempurnaan manusia adalah perjalanan yang bersifat integral dengan model dan nilai fitrah yang dititipkan Allah Swt sebelumnya. Bibit kesempurnaan telah ada dalam diri manusia, bibit ini diciptakan Allah melalui pengajaran manusia akan nama-nama. Jika langkah dan perjalanannya integral dengan karakter bibit tersebut, maka keduanya akan saling melengkapi. Di sinilah peran agama dan syariat, yaitu menggambarkan langkah dan petunjuk jalan kesempurnaan yang integral dengan fitrah manusia.

Karena itu, agama Islam yang merupakan agama yang benar, adalah agama fitrah, Allah Swt berfirman:

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) yang lurus, itulah fitrah yang diciptakan Allah atas manusia, tidak ada pergantian terhadap ciptaan Allah,demikianlah agama yang lurus.”[69]

Dari konsep fitrah inilah memancar konsep akal praktis, karena Allah telah membekali manusia kemampuan memahami yang baik dan yang buruk dengan tingkatan masing-masing. Pemahaman ini pada hakikatnya menjadi metode tertentu dalam perjalanan manusia, dimana akal menjadi salah satu faktor hidayah dan hujjah atas hukum-hukum syariat. Ini adalah pembahasan ilmu kalam berkaitan yang populer dengan persoalan “baik dan buruk menurut akal”.

Kedua: Kandungan Tarbiyah

Kandungan tarbiyah yang bisa kita simpulkan dari ayat ini adalah sebagai berikut:

1. Keteladanan yang baik dan fungsinya sebagai penyempurna peran konsep dan pemikiran dalam proses tarbiyah dan kesempurnaan manusia. Berdasarkan hal ini, kita bisa melihat, bahwa dakwah para nabi dalam manusia tidak terbatas pada mengemukakan ayat-ayat, konsep dan pemikiran, akan tetapi dakwah tergambar nyata dalam perilaku mereka –alaihimussalam- dan peran mereka dalam mempraktekkan konsep dan pemikiran tersebut dalam tataran praktis.

Karena itu, al-Qur`an sangat memperhatikan perintah untuk senantiasa mengikuti jejak mereka dan menceritakan kisah-kisah mereka. Al-Qur`an memerintahkan manusia untuk mentadabburi sikap mereka, kesabaran, dan keteguhannya serta bagaimana mereka berinteraksi dengan manusia, agar manusia mengambil pelajaran darinya. Hal ini menjadi sebuah metode praktis dalam dakwah kepada Allah Swt, karena manusia manapun, jika ingin memberikan pengaruh dalam manusia, maka tidaklah cukup dengan menjejali mereka dengan konsep dan pemikiran, akan tetapi harus diwujudkan dalam bentuk keteladanan perilaku. Dengan demikian, maka efek dakwah akan semakin besar.

2. Peran pengalaman praktis dalam keutuhan perjalanan
Sesungguhnya pengalaman praktis memiliki peran yang sangat penting dalam keutuhan konsep dan pemahaman hakikat, karena semua konsep dan pemahaman tidak akan sempurna kecuali melalui jendela pengalaman. Dalam kisah nabi Ibrahim, kita bisa melihat hal ini dengan jelas. Allah Swt berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).”[70]

Mungkin manusia akan sampai pada derajat keimanan malalui sebuah perintah yang disampaikan dalam bentuk teori dan konsep, akan tetapi keutuhan yang sempurna hanya akan dicapai melalui pengalaman praktis dari perintah tersebut.

Hakikat ini juga harus diterapkan dalam persoalan hidayah. Keutuhan konsep hidayah tidak akan sempurna kecuali melalui aplikasinya, ketika disebutkan “tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”, disebutkan pula pemahaman dari shirat al-mustaqim, kemudian setelah itu dijelaskan kondisi praktisnya dalam firman Allah “yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka..” melalui bentuk real dalam kehidupan manusia, yaitu “suri tauladan”. Dengan demikian, shirat al-mustaqim menjadi semakin jelas dan utuh.

3. Sesungguhnya sikap membangkang dan sombong, keraguan adalah kondisi kejiwaan dan ruhani yang biasa menghinggapi manusia dan menjadikannya sebagai objek kemurkaan Ilahi. Kemurkaan ini bisa dalam bentuk semakin gigihnya mereka dalam kesombongan dan pembangkangan, seperti dalam firman Allah, “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”[71] Dengan demikian, kesombongan dan pembangkangan memiliki efek kejiwaan dan pendidikan dalam kehidupan manusia, karena sikap tersebut akan menambah kemakisatannya kepada Allah Swt.

Wanita-wanita Yang Diteladani Sepanjang Masa

Dulu sering sekali mempertanyakan hal ini, jika seorang laki-laki mempunyai sosok Nabi Muhammad sebagai teladan utama, lalu bagaimana dengan kaum wanita? Siapa teladan terbaik bagi mereka? Karena menurut saya, tidak mungkin bagi seorang wanita, apalagi dalam Islam, untuk di ombang-ambing tidak jelas, termasuk di dalamnya perihal keteladanan.
Dan akhirnya, saya menemukan jawabannya, sebuah jawaban yang diberikan oleh ia yang ucapannya selalu mengandung hikmah dan pembelajaran.
“Yang sempurna dari kaum lelaki sangatlah banyak, tetapi yang sempurna dari kaum wanita hanyalah Maryam binti Imran, Asiyah binti muzahim, Khadijah binti khuwailid dan Fatimah binti Muhammad. Sedangkan keutamaan Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid (roti yang diremukkan dan direndam dalam kuah) atas segala makanan yang ada.” (HR Bukhari)
“Cukuplah wanita-wanita ini sebagai panutan kalian. Yaitu Maryam binti Imran, Khadijah binti khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah binti muzahim, istri fir’aun.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)
 
“Sebaik-baik wanita penduduk surga adalah Khadijah binti khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah istri fir’aun.” (HR Ahmad)
 
Tetapi, nama-nama tersebut hanya akan menjadi nama saja, jika kita tidak mengetahui kisah hidup, bara api semangat perjuangan serta pancaran cahaya keimanan yang bersemburat indah dari mereka.

Sudah sewajarnya, kita sebagai umat Islam, tahu tentang kisah mereka, para wanita terbaik dunia dan akhirat, terutama kaum hawa. Bacalah biografi mereka dan dapatkan hikmah terbaik dari mereka. Apa yang akan disampaikan di sini hanya sebagian kecil saja. Namun, mudah-mudahan memberikan hikmah bagi kita semua.
 
 
Asiyah Binti Muzahim
 
Sebuah keniscayaan, bagi mereka yang Allah muliakan di dunia dan akhirat untuk mengalami ujian yang berat untuk menentukan kadar kualitas mereka. Tentulah kita sudah familiar akan siksaan dahsyat yang dialami Asiyah binti Muzahim, sampai ia harus meregang nyawa di bawah salib dan terik panas matahari, setelah sebelumnya disiksa dengan siksaan yang berat. Sampai-sampai Allah membocorkan sedikit rahasia-Nya dengan menampakkan istana surga pada Asiyah. Benar-benar sebuah pembelajaran iman bagi kita. Inilah konsekuensi terberat dari makna keimanan.
 
“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mudalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.” (QS. Attahrim: 11)
 
Dari Asiyah pula kita belajar akan fitrah indah dari seorang wanita, ketika Allah menganugerahkan kasih sayang kepadanya saat Musa kecil dihanyutkan d sungai Nil. Refleks saja baginya untuk meminta kepada firaun untuk mengasuh Musa kecil. Dan Fir’aun pun, seperti kebanyakan laki-laki lainnya, kadang tak kuasa jika berhadapan dengan keinginan wanita. Fitrah yang sering kita lihat, dari ibu kita, kakak atau adik perempuan kita, serta kaum wanita lainnya, mudah sekali bagi mereka untuk menampakkan kasih sayangnya, terutama pada anak kecil. Lihat betapa luwesnya mereka. Bandingkan dengan kaum ayah yang untuk menggendong saja banyak yang kaku.
 
“Dan berkatalah istri Fir’aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka tiada menyadari.: (QS. Al-qoshos: 9)
 
Dari Asiyah pula kita belajar tentang arti kesabaran. Kita bisa membayangkan jika mempunyai pasangan seperti fir’aun dengan sifatnya yang congkak, bahkan mengaku sebagai Tuhan. Pastinya harus luar biasa sabar menghadapi orang seperti ini.
 
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-qoshos: 4)
 
Asiyah juga menggambarkan dengan jelas, jika keimanan sudah terpatri kuat dalam hati, lingkungan yang luar biasa penuh dengan nuansa kemusyrikan dan kekufuran tidak menggoyahkan keimanannya sedikit pun. Apalagi mereka yang mendapati dalam hidupnya nuansa penuh dengan keimanan, harus benar-benar bersyukur.
 
Dan mungkin, inilah bagian yang sedikit sulit untuk saya kemukakan, seperti yang telah saya sebutkan, Asiyah lebih memilih kematian daripada menggadaikan keimanannya. Bayangkan, pengorbanan yang telah ia lakukan, semua fasilitas terbaik sebagai seorang permaisuri, semua materi yang ada dan semua kenikmatan dunia terbaik yang telah menyatu dalam kehidupannya. Semuanya dia korbankan. Entah bisa kita bandingkan dengan wanita zaman sekarang atau tidak, katanya realistis padahal aslinya materialistis, menuntut berlebihan pada ayah atau suaminya. Kita benar-benar banyak mendapatkan hikmah dan pembelajaran dari kehidupanmu, wahai permaisuri Mesir yang dirahmati Allah.


Maryam Binti Imran
 
Dan inilah wanita kedua, seorang wanita yang namanya paling masyhur di dunia dan akhirat. Jika kita coba hitung, lebih dari 3/5 penduduk dunia saat ini, umat Islam dan nasrani, tahu namanya. Namanya begitu harum, sampai-sampai menjadi nama seorang wanita yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an, bersanding dengan nama ayahnya yang mulia pula. Dialah Maryam binti Imran, namanya terabadikan dalam Al-Qur’an surat ke-19, sedangkan nama ayahnya pada surat ke-3. Sebuah penghargaan yang luar biasa yang Allah berikan.
 
“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (QS. Al-Imran: 42)
 
Hikmah pertama yang bisa kita ambil adalah bagaimana ‘gen’ orang tua berpengaruh langsung kepada anaknya. Imran dan Hanna sebagai orang tua dari Maryam adalah orang yang terkenal akan kesalehan dan track record kebaikannya. Wajar jika kemudian Maryam menjadi sosok yang banyak diinginkan oleh kaumnya ketika ia dilahirkan. Bukankah hak pertama seorang anak adalah dilahirkan dari seorang wanita yang shalih??
 
“Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”.” (QS. Maryam: 28)
 
Kedua, lingkungan tumbuh kembang seorang Maryam kecil sangat kondusif. Kita semua tahu, Maryam akhirnya diasuh oleh nabi Zakariya setelah masyarakat luas berlomba untuk mengasuhnya. Maryam kemudian ditempatkan khusus di mihrab Baitul Maqdis. Sebuah lingkungan yang begitu bagus dan istimewa (di asuh oleh nabi) untuk menjadikannya seorang wanita yang super shalihah dan super dekat dengan Allah. Bahkan, disebutkan bahwa Maryam adalah sosok wanita yang tidak pernah meninggalkan qiyamulail dan memiliki waktu puasa yang khusus, yaitu 2 hari berpuasa dan 1 hari berbuka.
 
“Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku.” (QS. Al-Imran: 43)
 
Dalam buku 4 wanita terbaik dunia dan akhirat karya Ali Awudh Uwaidhoh disebutkan bahwa Maryam mengandung Nabi Isa AS pada usia 13 tahun. Ini menandakan kedewasaan yang terbentuk pada jiwa dan diri Maryam, sehingga Allah kemudian mengujinya dengan kehamilan tanpa ayah dan menjadikannya seorang ibu bagi nabi yang mulia.
 
“Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-KitabNya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim: 12)
 
Tibalah bagi Maryam dan anaknya untuk hijrah ke negeri Mesir dikarenakan keamanan yang memburuk di negeri para nabi, 12 tahun lamanya dia menetap di Mesir, perjuangan membesarkan nabi Isa AS dilakukannya dengan penuh kesabaran, jangan dikira Maryam hanya santai-santai saja di sana, perjuangannya untuk memberikan makan anaknya dilakukan sendiri dengan menjadi buruh tani gandum, sekali lagi, semua ini dilakukan oleh seorang Maryam, wanita terbaik dunia akhirat. Coba kita bayangkan perjuangannya, perjalanan jauh dari Palestina ke Mesir, panas terik di ladang sambil membesarkan nabi Isa as. Dan, kita tahu bersama hasil didikan Maryam, seorang nabi yang terkenal karena kesantunan dan kasih sayangnya. Sampai akhir hayatnya, Maryam selalu setia mendampingi putranya dalam menyebarkan agama tauhid di masyarakat. Benar-benar menjadi teladan sejati wanita seantero dunia.
 

Khadijah Binti Khuwailid
 
Inilah sosok wanita yang tak kalah supernya, beliau merupakan istri al amin, Muhammad. Butuh keberanian yang tinggi untuk ‘nembak duluan’ bagi seorang wanita, Khadijah yang memang melihat keistimewaan dan budi pekerti yang luhur dari Muhammad, tentu tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bersanding dengan sosok seperti Muhammad. Dan tentu saja, apa yang dilakukannya membutuhkan mental baja, terlebih dengan backgroundnya sebagai janda. Tapi apakah perbuatannya itu membuat dirinya menjadi hina? Tidak sama sekali.
 
Gambaran sosok Khadijah sebenarnya cukup simpel, Khadijah adalah teladan sejati para istri dalam rangka ketaatannya pada suami. Khadijah adalah wanita pertama yang mengakui kenabian suaminya, karena memang dia yang paling paham karakter dan sifat dari suaminya.
 
“Demi Allah, sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah sungguh engkau telah menyambung tali silaturahim, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah” (HR Al-Bukhari I/4 no 3 dan Muslim I/139 no 160)
 
Dan kita semua tahu bagaimana support terbaik diberikan Khadijah kepada baginda rasul, dengan konsekuensi yang tidak murah dan mudah. Hampir semua harta yang ia dan Nabi Muhammad miliki, digunakan untuk pergerakan dakwah Islam. Ia rela membersamai Rasulullah selama 3 tahun dalam embargo ekonomi dan sosial yang dilakukan kaum kafir Quraisy, coba sejenak kita bayangkan kondisi embargo yang membuat Bani Hasyim harus makan rumput kasar padang pasir. Dan Ia, tetap setia, sekali lagi, ia tetap setia kawan.
 
“Dia (Khadijah) beriman kepadaku di saat orang-orang mengingkari. Ia membenarkanku di saat orang mendustakan. Dan ia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang tiada mau”. (HR. Ahmad)
 
Wajar jika baginda rasul sendiri tidak bisa menduakan Khadijah selama ia hidup, padahal Rasul mampu melakukan itu. Bahkan setelah Khadijah wafat pun butuh waktu lebih dari 1 tahun bagi baginda rasul sampai kemudian menikah lagi. Memang ada seorang laki-laki yang mampu menyakiti hati dan melupakan sosok seperti Khadijah? Penulis rasa tidak ada.
 
Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Belum pernah aku cemburu kepada istri-istri nabi lainnya kecuali kepada Khadijah, padahal aku belum pernah bertemu dengannya.” Ia melanjutkan setiap kali Rasulullah menyembelih seekor kambing beliau berkata ”Kirimlah daging ini kepada teman-teman Khadijah!” Pada suatu hari aku membuat beliau marah. Aku berkata:”Khadijah?”

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:”Sesungguhnya aku telah dianugerahi rasa cinta kepadanya.” (HR. Muslim)

Jangan tanya tentang kemandirian yang ada pada diri Khadijah. Dialah salah satu saudagar Mekah yang sukses, sebuah pelajaran penting bagi kaum hawa untuk menjadi pribadi yang mandiri dan profesional. Rumah tangga yang di bangun bersama Muhammad pun termasuk rumah tangga yang santun dan dewasa karena dalam keberjalanannya tidak pernah sekalipun mereka beradu kata-kata kasar, apalagi hujatan. Bahkan Khadijah tidak pernah ‘manyun’ di hadapan Muhammad, pun setelah ia diangkat menjadi Rasul. Khadijah benar-benar menjadi teladan sejati para istri.
 
Dan setiap apa yang dilakukannya mendapatkan balasan terbaik dari Rabbnya. Bersabda Rasulullah saw: Wahai Khadijah, ini malaikat Jibril telah datang dan menyuruhku untuk menyampaikan salam dari Allah kepada-mu dan memberikan kabar gembira kepadamu dengan rumah yang terbuat dari kayu, tidak ada keributan dan rasa capai di dalamnya.” (HR Bukhari dan Muslim)


Fatimah Binti Muhammad
 
Dan inilah yang terakhir. Ia merupakan cahaya mata baginda rasul. Jika ingin tahu sifat, karakter, cara bicara bahkan cara berjalan rasul versi perempuan, maka ialah yang paling mirip dengannya. Ia adalah Fatimah binti Muhammad.
 
“Saya tidak melihat seorang pun yang cara berjalan, tingkah laku, pembicaraan, dan saat berdiri juga duduknya yang sangat mirip dengan Rasulullah selain Fatimah.” (HR Tirmidzi)
 
Dari ketiga nama sebelumnya, mungkin Fatimah adalah contoh terbaik bagi wanita yang menginjak masa dewasa. Fatimah kecil adalah saksi pembangkangan kafir Quraisy terhadap apa yang dibawa oleh ayahnya. Ialah yang kemudian membersihkan pakaian rasul, saat kotoran ditimpakan padanya. Ia pula yang kemudian dengan lantang berorasi di depan kaum kafir yang menyakiti baginda rasul. Sungguh wanita yang sangat pemberani. Setidaknya ‘kecerewetan’ seorang wanita di tempatkan proporsional olehnya.
 
Fatimah juga mendapatkan tempa ujian yang dahsyat. Dari kecil, dia membersamai orang tuanya dalam embargo, membuatnya kehilangan masa kecil yang seharusnya nyaman dan mengasyikkan. Saat usianya belasan, ia harus rela untuk ditinggalkan sang ibu dan saudari-saudarinya yang lain satu per satu. Bayangkan betapa beratnya ditinggal ibu dan saudari-saudari tercinta dalam kurun waktu yang tidak telalu lama. Namun, bukan Fatimah namanya jika tidak tegar menghadapi ujian. Bahkan kemudian ia yang mengurusi setiap kebutuhan dari ayahandanya. Benar-benar contoh bakti yang luar biasa, itulah sebabnya ia terkenal dengan sebutan Ummu Abiha (anak yang menjadi seperti ibu bagi ayahnya).
 
Dan tentu saja, tak lengkap jika membicarakan Fatimah, namun tidak membicarakan kisahnya bersama suaminya, Ali bin abi Thalib. Kisah cinta mereka berdua memang menjadi teladan bagi muda-mudi dalam mengontrol setiap apa yang berkecamuk dalam hatinya. Rasa yang ada di hati Fatimah, tersimpan sangat rapi. Kata cinta, terucapkan hanya ketika ia yang telah mengusik hatinya, Ali bin Abi Thalib, telah menjadi penyempurna separuh agamanya. Hal yang sangat langka untuk kurun waktu sekarang.
 
Dari kehidupan Fatimah, kita juga mungkin banyak belajar tentang makna kesederhanaan dan penerimaan. Kita tentu paham dengan kehidupan keluarganya yang pas-pasan, menuntutnya untuk lebih banyak berkorban dan bekerja dengan tangannya sendiri. Kehidupan awal-awal rumah tangga untuk pasangan muda. Padahal dia adalah putri kesayangan Rasul, manusia termulia. Coba sedikit kita renungkan nasihat nabi sekaligus ayah kepada putri kesayangannya ini.
 
“Kalau Allah menghendaki wahai Fatimah, tentu lumpang itu akan menggilingkan gandum untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki agar ditulis beberapa kebaikan untukmu, menghapuskan keburukan-keburukan serta hendak mengangkat derajatmu

Wahai Fatimah, barangsiapa perempuan yang menumbukkan (gandum) untuk suami dan anak-anaknya, pasti Allah akan menuliskan untuknya setiap satu biji, satu kebaikan serta menghapuskan darinya setiap satu biji satu keburukan. Dan bahkan Allah akan mengangkat derajatnya.

Wahai Fatimah, barang siapa perempuan berkeringat manakala menumbuk (gandum) untuk suaminya. Tentu Allah akan menjadikan antara dia dan neraka tujuh khonadiq (lubang yang panjang).
 
Wahai Fatimah, manakala seorang perempuan mau meminyaki kemudian menyisir anak-anaknya serta memandikan mereka, maka Allah akan menuliskan pahala untuknya dari memberi makan seribu orang lapar dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang.
 
Wahai Fatimah, bilamana seorang perempuan menghalangi (tidak mau membantu) hajat tetangganya, maka Allah akan menghalanginya minum dari telaga “Kautsar” kelak di hari Kiamat.
 
Wahai Fatimah, lebih utama dari itu adalah kerelaan suami terhadap istrinya. Kalau saja suamimu tidak rela terhadap engkau, maka aku tidak mau berdo’a untukmu. Apakah engkau belum mengerti wahai Fatimah, sesungguhnya kerelaan suami adalah perlambang kerelaan Allah sedang kemarahannya pertanda kemurkaan-Nya.
 
Wahai Fatimah, manakala seorang perempuan mengandung janin dalam perutnya, maka sesungguhnya malaikat-malaikat telah memohonkan ampun untuknya, dan Allah menuliskan untuknya setiap hari seribu kebaikan serta menghapuskan darinya seribu keburukan. Manakala dia menyambutnya dengan senyum, maka Allah akan menuliskan untuknya pahala para pejuang. Dan ketika dia telah melahirkan kandungannya, maka berarti dia ke luar dari dosanya bagaikan di hari dia lahir dari perut ibunya.
 
Wahai Fatimah, manakala seorang perempuan berbakti kepada suaminya dengan niat yang tulus murni, maka dia telah keluar dari dosa-dosanya bagaikan di hari ketika dia lahir dari perut ibunya, tidak akan keluar dari dunia dengan membawa dosa, serta dia dapati kuburnya sebagai taman di antara taman-taman surga. Bahkan dia hendak diberi pahala seribu orang haji dan seribu orang umrah dan seribu malaikat memohonkan ampun untuknya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa orang perempuan berbakti kepada suaminya sehari semalam dengan hati lega dan penuh ikhlas serta niat lurus, pasti Allah akan mengampuni dosa-dosanya serta memakaikan kepadanya pakaian hijau (dari surga) kelak di hari Kiamat, serta menuliskan untuknya setiap sehelai rambut pada badannya seribu kebaikan, dan Allah akan memberinya (pahala) seratus haji dan umrah.
 
Wahai Fatimah, manakala seorang perempuan bermuka manis di depan suaminya, tentu Allah akan memandanginya dengan pandangan ‘rahmat’.
 
Wahai Fatimah, bilamana seorang perempuan menyelimuti suaminya dengan hati yang lega, maka ada Pemanggil dari langit memanggilnya “mohonlah agar diterima amalmu. Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu maupun yang belum lewat”.
 
Wahai Fatimah, setiap perempuan yang mau meminyaki rambut dan jenggot suaminya, mencukur kumis dan memotongi kukunya, maka Allah akan meminuminya dari ‘rahiqil makhtum dan sungai surga, memudahkannya ketika mengalami sakaratil maut, juga dia hendak mendapati kuburnya bagaikan taman dari pertamanan surga, serta Allah menulisnya bebas dari neraka serta lulus melewati shirat”
 
Namun, kita tentu bisa lihat, hasil dari apa yang ia lakukan, dari setiap ujian dan dari setiap pengorbanan yang dilakukannya. Allah mengangkat derajatnya dunia akhirat dan melahirkan dari rahimnya anak-anak yang menjadi penerus keturunan Rasulullah. Walaupun, hidupnya tidak lebih dari 30 tahun, namun inspirasi yang diberikan Fatimah sewajarnya terus hidup bagi wanita-wanita mukmin setelahnya. Termasuk generasi kita sekarang.
 
Demikian saudara-saudariku sedikit kisah wanita terbaik dunia akhirat. Dari kisah di atas, kita bisa mengambil banyak sekali persamaan yang ada pada mereka. Ujian yang mereka dapat tentu saja bukan ujian yang remeh remeh, tapi sebanding dengan julukan yang kemudian ada pada mereka, wanita terbaik dunia dan akhirat. Jadi, jangan khawatir bagi mereka yang mendapatkan ujian yang berat, barangkali Allah tengah mengupgrade diri kita, sehingga menjadi pribadi yang lebih berharga di sisi-Nya.
 
Mereka juga terkenal dengan wanita mutakamil atau wanita yang sempurna. Baik dari sisi lahiriah maupun ruhiyah. Mereka terkenal dengan sebutan jamilatul jamil (cantik dari yang tercantik), itu dari sisi lahir sedangkan dari sisi ruhiyah, mereka terkenal dengan sebutan albatul atau atthohiroh yang berarti suci.
 
Dari keempat nama tersebut, kita juga bisa melihat karakter atau sifat luar biasa yang seharusnya melekat pada seorang ibu. Asiyah dengan Musa, walau ia hanya anak angkatnya. Maryam dengan Isa. Khadijah dengan anak-anaknya yang cukup banyak, serta Fatimah dengan para pemuda penghulu surganya. Kasih sayang mereka, didikan dan teladan mereka pada anak-anaknya, itulah kunci keberhasilan pengasuhan mereka. Ibu memang sosok luar biasa, kita pasti sepakat dengan kalimat ini.
 
Dari kisah mereka, kaum wanita seharusnya bisa mengambil pelajaran, bahwa dalam Islam tidak membatasi potensi kebaikan dan kebermanfaatan yang mungkin dilakukan oleh seorang wanita. Apakah itu menjadi engineer, dokter, farmasist, scientist, guru, ahli gizi, plantologist, polwan, entrepreneur, penulis dan profesi lainnya. Namun, tentu saja, tidak boleh melupakan potensi kebaikan dan kebermanfaatan terbesar yang Allah berikan kepada kaum wanita, yaitu menjadi istri dan menjadi ibu. Istri yang taat kepada suaminya dan Ibu yang mengandung, melahirkan dan mendidik anaknya dengan didikan rabbani. Suatu hal yang seharusnya diingat oleh mereka yang ramai meneriakkan kesetaraan gender yang ternyata jauh dari nilai-nilai Islam.
 

Jihad (Berjuang Dijalan Allah SWT)

27 Mei 2012

Hidup ini adalah perjuangan dan perjuanganlah yang membuat kita hidup. Jihad fisabilillah merupakan puncak ajaran Islam. Sehingga umat Islam yang melaksanakannya akan mendapatkan kemuliaan dan kejayaan di dunia dan surga Allah di akhirat.

Sebaliknya mereka yang meninggalkan jihad dan tidak terbersit sedikitpun dalam hatinya untuk berjihad akan hina dan menderita di dunia serta mendapatkan siksa Allah di neraka. Jihad adalah satu-satunya jalan bagi umat Islam untuk meraih kejayaan Islam, merdeka dari penjajahan dan meraih kembali tanah yang hilang.

Ketika umat Islam lalai terhadap kewajiban, maka Allah akan menghinakan mereka. Rasulullah saw. bersabda,

”Jika kalian telah berdagang dengan ‘Inah (sistem riba’), mengikuti ekor-ekor sapi (sibuk beternak), rela bercocok tanam dan meninggalkan jihad, pasti Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabut kehinaan itu hingga kalian kembali ke ajaran agama kalian.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

Imam Syahid Hasan al-Banna berkata: Sesungguhnya umat yang mengetahui bagaimana cara membuat kematian, dan mengetahui bagaimana cara meraih kematian yang mulia, Allah pasti memberikan kepada mereka kehidupan mulia di dunia dan keni’matan yang kekal di akhirat. Wahn (kelemahan) yang menghinakan kita tidak lain karena penyakit cinta dunia dan takut mati. Maka persiapkanlah jiwa kalian untuk amal yang besar, dan semangatlah menjemput kematian niscaya diberi kehidupan. Ketahuilah bahwa kematian adalah kepastian dan tidak datang kecuali satu kali. Jika engkau menjadikannya di jalan Allah, maka hal itu merupakan keuntungan dunia dan ganjaran akhirat.


Definisi Jihad (Pengertian Jihad)

Jihad secara bahasa berarti mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dan secara istilah syari’ah berarti seorang muslim mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya untuk memperjuangkan dan meneggakan Islam demi mencapai ridha Allah SWT. Oleh karena itu kata-kata jihad selalu diiringi dengan fi sabilillah untuk menunjukkan bahwa jihad yang dilakukan umat Islam harus sesuai dengan ajaran Islam agar mendapat keridhaan Allah SWT.

Imam Syahid Hasan Al-Banna berkata, “Yang saya maksud dengan jihad adalah; suatu kewajiban sampai hari kiamat dan apa yang dikandung dari sabda Rasulullah saw.,” Siapa yang mati, sedangkan ia tidak berjuang atau belum berniat berjuang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.

Adapun urutan yang paling bawah dari jihad adalah ingkar hati, dan yang paling tinggi perang mengangkat senjata di jalan Allah. Di antara itu ada jihad lisan, pena, tangan dan berkata benar di hadapan penguasa tiran.

Dakwah tidak akan hidup kecuali dengan jihad, seberapa tinggi kedudukan dakwah dan cakupannya yang luas, maka jihad merupakan jalan satu-satunya yang mengiringinya. Firman Allah,” Berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad” (QS Al-Hajj 78).
Dengan demikian anda sebagai aktifis dakwah tahu akan hakikat doktrin ‘ Jihad adalah Jalan Kami’


Tujuan Jihad

Jihad fi sabilillah disyari’atkan Allah SWT bertujuan agar syari’at Allah tegak di muka bumi dan dilaksanakan oleh manusia. Sehingga manusia mendapat rahmat dari ajaran Islam dan terbebas dari fitnah. Jihad fi sabilillah bukanlah tindakan balas dendam dan menzhalimi kaum yang lemah, tetapi sebaliknya untuk melindungi kaum yang lemah dan tertindas di muka bumi. Jihad juga bertujuan tidak semata-mata membunuh orang kafir dan melakukan teror terhadap mereka, karena Islam menghormati hak hidup setiap manusia. Tetapi jihad disyariatkan dalam Islam untuk menghentikan kezhaliman dan fitnah yang mengganggu kehidupan manusia. (QS an-Nisaa’ 74-76).


Macam-Macam Jihad

Jihad fi Sabilillah untuk menegakkan ajaran Islam ada beberapa macam, yaitu:
  1. Jihad dengan lisan, yaitu menyampaikan, mengajarkan dan menda’wahkan ajaran Islam kepada manusia serta menjawab tuduhan sesat yang diarahkan pada Islam. Termasuk dalam jihad dengan lisan adalah, tabligh, ta’lim, da’wah, amar ma’ruf nahi mungkar dan aktifitas politik yang bertujuan menegakkan kalimat Allah.
  2. Jihad dengan harta, yaitu menginfakkan harta kekayaan di jalan Allah khususnya bagi perjuangan dan peperangan untuk menegakkan kalimat Allah serta menyiapkan keluarga mujahid yang ditinggal berjihad.
  3. Jihad dengan jiwa, yaitu memerangi orang kafir yang memerangi Islam dan umat Islam. Jihad ini biasa disebut dengan qital (berperang di jalan Allah). Dan ungkapan jihad yang dominan disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah berarti berperang di jalan Allah.

Keutamaan Jihad dan Mati Syahid

Beberapa ayat Alquran memberikan keutamaan tentang berjihad. Di antaranya, (QS an-Nisaa’ 95-96)(QS as-Shaff 10-13).

Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW ditanya: ”Amal apakah yang paling utama?” Rasul SAW menjawab: ”Beriman kepada Allah”, sahabat berkata:”Lalu apa?” Rasul SAW menjawab: “Jihad fi Sabilillah”, lalu apa?”, Rasul SAW menjawab: Haji mabrur”. (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Pagi-pagi atau sore-sore keluar berjihad di jalan Allah lebih baik dari dunia seisinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari Anas ra bahwa nabi SAW bersabda: ”Tidak ada satupun orang yang sudah masuk surga ingin kembali ke dunia dan segala sesuatu yang ada di dunia kecuali orang yang mati syahid, ia ingin kembali ke dunia, kemudian terbunuh 10 kali karena melihat keutamaan syuhada.” (Muttafaqun ‘alaihi)

”Bagi orang yang mati syahid disisi Allah mendapat tujuh kebaikan: 1. Diampuni dosanya dari mulai tetesan darah pertama. 2. Mengetahui tempatnya di surga. 3. Dihiasi dengan perhiasan keimanan. 4. Dinikahkan dengan 72 istri dari bidadari. 5. Dijauhkan dari siksa kubur dan dibebaskan dari ketakutan di hari Kiamat. 6. Diletakkan pada kepalanya mahkota kewibawaan dari Yakut yang lebih baik dari dunia seisinya. 7. Berhak memberi syafaat 70 kerabatnya.” (HR at-Tirmidzi)


Hukum Jihad Fi Sabilillah

Hukum Jihad fisabilillah secara umum adalah Fardhu Kifayah, jika sebagian umat telah melaksanakannya dengan baik dan sempurna maka sebagian yang lain terbebas dari kewajiban tersebut. Allah SWT berfirman:

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS at-Taubah 122).

Jihad berubah menjadi Fardhu ‘Ain jika:

1. Muslim yang telah mukallaf sudah memasuki medan perang, maka baginya fardhu ‘ain berjihad dan tidak boleh lari.

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS al-Anfal 15-16).

2. Musuh sudah datang ke wilayahnya, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi seluruh penduduk di daerah atau wilayah tersebut .

”Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah 123)

3. Jika pemimpin memerintahkan muslim yang mukallaf untuk berperang, maka baginya merupakan fardhu ‘ain untuk berperang. Rasulullah SAW bersabda:

”Tidak ada hijrah setelah futuh Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu diperintahkan untuk keluar berjihad maka keluarlah (berjihad).” (HR Bukhari)

 
Kata-Kata Jihad

Khubaib bin Adi ra. berkata ketika disiksa oleh musuhnya, “Aku tidak peduli, asalkan aku terbunuh dalam keadaan Islam. Dimana saja aku dibunuh, aku akan kembali kepada Allah. Kuserahkan kepada Allah kapan saja Ia berkehendak. Setiap potongan tubuhku akan diberkatinya”.

Al-Khansa ra. berpesan kepada 4 anaknya mengantarkan mereka untuk jihad, “Wahai anak-anakku ! Kalian tidak pernah berkhianat pada ayah kalian. Demi Allah, kalian berasal dari satu keturunan. Kalianlah orang yang ada dalam hatiku. Jika kalian menuju ke medan perang, jadilah kalian pahlawan. Berperanglah ! Jangan kembali. Aku membesarkan kalian untuk hari ini”.

Abdullah bin Mubarak berkata pada saudaranya Fudail bin Iyadh yang sedang asyik ibadah di tahan suci,” Wahai ahli ibadah di dua tahan Haram, jika engkau melihat kami, niscaya engkau akan tahu bahwa engkau hanya bermain-main dalam ibadah. Barangsiapa membasahi pipinya dengan air mata. Maka, leher kami basah dengan darah”.

Demikianlah jihad adalah satu-satunya jalan menuju kemuliaan di dunia dan di akhirat. Ampunan Allah, surga Adn, Pertolongan dan Kemenangan. Wallahu a’lam bishawaab.