Makanan Dan Minuman Yang Halal

26 April 2012

Agama Islam adalah agama yang sangat sempurna, komprehensip dan mudah syariatnya. Di antara bukti kebaikan dan kemudahan syari’at Islam, Allah  menghalalkan semua makanan dan minuman yang mengandung maslahat dan manfaat bagi badan, ruh maupun akhlak manusia. Demikian pula sebaliknya, Allah mengharamkan semua makanan dan minuman yang menimbulkan mudharat atau yang mengandung mudharat lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad manusia.

KEWAJIBAN MENGKONSUMSI MAKANAN YANG BAIK DAN HALAL
Bagi seorang muslim, makanan bukan sekedar pengisi perut dan penyehat badan saja, sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi, tetapi di samping itu juga harus halal. Baik halal pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah, dan halal pada cara mendapatkannya.
Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah  memerintahkan seluruh hamba-Nya yang beriman dan yang kafir agar mereka makan makanan yang baik lagi halal, sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Dan firman-Nya pula:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ
 
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik dari yang telah Kami rizkikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 172).

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Perintah ini (yakni memakan makanan yang halal lagi baik) ditujukan kepada seluruh manusia, baik dia seorang mukmin ataupun kafir. Mereka diperintahkan memakan apa yang ada di bumi, baik berupa biji-bijian, buah-buahan, dan binatang yang halal. Yaitu diperolehnya dengan cara yang halal (benar), bukan dengan cara merampas atau dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan. Dan Tayyiban (yang baik) maksudnya bukan termasuk makanan yang keji atau kotor, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lainnya”. (Tafsir Taisir Karimirrahman, hal. 63).
Di dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW memberikan ancaman masuk neraka kepada siapa saja yang mengkonsumsi makanan yang haram, sebagaimana sabda beliau:
أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ
“Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu (makanan) yang haram, maka neraka lebih pantas (sebagai tempat tinggal, pent) baginya”.

Demikian pula orang yang mengkonsumsi makanan yang haram, ia terancam ibadah (doa)nya tidak diterima dan dikabulkan oleh Allah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi  menceritakan ada seorang laki-laki yang sedang musafir rambutnya kusut dan penuh debu. Dia menadahkan kedua tangannya ke langit sembari berdo’a: “Wahai Tuhanku , wahai Tuhanku, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan perutnya diisi dengan makanan yang haram, maka kata Rasulullah : “Bagaimana mungkin permohonannya dikabulkan? (HR. Muslim II/703 no.1015)
KAIDAH FIQIH: HUKUM ASAL SEGALA SESUATU (MAKANAN, BINATANG, DLL) ADALAH HALAL KECUALI JIKA ADA DALIL SYAR’I YANG MENGHARAMKANNYA.
Kaidah ini disimpulkan oleh para ulama dari beberapa ayat Al-Qur’an, di antaranya firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu (termasuk makanan dan binatang) yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dikonsumsi dan boleh dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.
Dan berdasarkan firman-Nya pula:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119)
Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at Islam berarti hukumnya adalah halal sepanjang tidak menimbulkan mudharat kepada dirinya. Demikian pula binatang yang tidak ada pengharamannya dalam dalil-dalil syar’i dan tidak termasuk ke dalam golongan binatang yang haram dikonsumsi, baik karena kesamaan jenis, bentuk atau sifat, maka hukumnya halal dikonsumsi dan boleh dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti dijadikan kendaraan, perhiasan, hiburan atau selainnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda’ , bahwa Rasulullah  bersabda: “Apa saja yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya itulah yang halal, dan apa saja yang diharamkan oleh-Nya itulah yang haram, adapun yang tidak dijelaskan, berarti termasuk yang dimaafkan bagimu. Dan terimalah pemaafan Allah itu, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu, kemudian beliau membaca firman Allah:
وَماَ كَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا
“Dan tidaklah Tuhanmu lupa”. (QS. Maryam: 64.) (HR. Hakim II/406 no.3419 dan dia menshahihkannya).

MACAM-MACAM MAKANAN:
Pada umumnya makanan yang sering dikonsumsi manusia ada dua jenis, yaitu:
1. Makanan selain binatang (nabati), terdiri dari biji-bijian, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda (roti, kue dan sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua bentuknya).
Ibnu Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (II/453) menukil kesepakatan ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudharat.
2. Binatang (hewani), yang terdiri dari binatang darat dan binatang air.
Binatang darat ada dua macam;
1. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak (Onta, sapi, kambing, ayam, bebek, dan semisalnya).

2. Liar, yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: Singa, serigala, ayam hutan, kuda liar dan sejenisnya.
Hukum binatang darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang diharamkan oleh syari’at. (Manhajus Salikin hal. 52)
Binatang air juga terbagi menjadi 2:
1. Binatang yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
2. Binatang yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting. (Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthubi VI/318 dan Al-Majmu’ IX/31-32)
Hukum binatang air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal untuk dikonsumsi secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah :

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)
Dan sabda Rasulullah :

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ


“Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud I/69 no.83, At-Tirmidzi I/100 no.69, An-Nasa`i I/50 no.59, dan Ibnu Majah I/136 no.386. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Adapun bentuk yang kedua dari binatang air, yaitu binatang yang hidup di dua alam, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh binatang yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya. (Lihat Al-Majmu’ IX/32-33).
KRITERIA MAKANAN ATAU BINATANG YANG DIHARAMKAN DALAM ISLAM
Di dalam syari’at Islam, makanan atau binatang yang haram dikonsumsi itu ada dua jenis:

Pertama: Haram Lidzatihi (makanan yang haram karena dzatnya). Maksudnya hukum asal dari makanan itu sendiri memang sudah haram.
Berdasarkan firman Allah  di dalam Al Qur’an dan sabda Nabi  di dalam hadits-hadits beliau, maka dapat diketahui beberapa jenis makanan yang haram dikonsumsi manusia karena memang dzat makanan itu sendiri telah diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya, di antaranya ialah:

1. DarahDarah yang mengalir dari binatang atau manusia haram dikonsumsi, baik secara langsung maupun dicampurkan pada bahan makanan karena dinilai najis, kotor, menjijikkan, dan dapat mengganggu kesehatan. Demikian juga darah yang sudah membeku yang dijadikan makanan dan diperjualbelikan oleh sebagian orang. Adapun darah yang melekat pada daging halal, boleh dimakan karena sulit dihindari. Hal ini berdasarkan firman Allah :

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145)
2. Daging Babi
Para ulama telah sepakat, daging babi haram dikonsumsi. Hal ini berdasarkan firman Allah :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّه

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”. (QS. Al-Baqarah: 173)

Dan juga firman-Nya:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah…”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Demikian pula lemak babi yang dipergunakan dalam industri makanan yang dikenal dengan istilah shortening, serta semua zat yang berasal dari babi yang biasanya dijadikan bahan campuran makanan (food additive).

Seluruh makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika yang mengandung unsur babi dalam bentuk apapun, haram dikonsumsi. (Lihat Ahkam al-Ath’imah, karya Ath-Thuraiqi, hal: 307-314).
3. Khamar (minuman keras)
Allah  berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma`idah: 90)
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar  secara marfu’:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ

“Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”. (HR. Muslim III/1587 no.2003)
Dan dapat dianalogikan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan macamnya.
4. Semua Binatang Buas Yang Bertaring, Yang Dengan Taringnya Ia Memangsa Dan Menyerang Mangsanya
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah , Rasulullah bersabda:
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Semua binatang buas yang bertaring, maka mengkonsumsinya adalah haram.” (HR. Muslim III/1534 no.1933).
Juga apa yang diriwayatkan oleh Abu Tsa’labah Al-Khusyani , ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ


Rasulullah  melarang memakan semua binatang buas yang mempunyai taring.” (HR. Bukhari V/2103 no.5210, dan Muslim III/1533 no.1932).
Yang dimaksudkan di sini adalah semua binatang buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan binatang lainnya. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qayyim II/117).
5. Semua Jenis Burung Yang Bercakar, Yang Dengan Cakarnya Ia Mencengkeram Atau Menyerang Mangsanya.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِى مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ

“Rasulullah  melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring dan semua burung yang mempunyai cakar.” (HR.Muslim III/1534 no.1934)
Yang dimaksud burung yang memiliki cakar di atas adalah yang buas, seperti burung Elang dan Rajawali. Sehingga tidak termasuk sebangsa ayam, burung merpati dan sejenisnya. Abu Musa Al-Asy’ari  berkata:

رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَأْكُلُ دَجَاجًا

“Saya melihat Rasulullah  memakan daging ayam.” (HR. Bukhari V/2100 no.5198)
6. Semua Binatang Yang Diperintahkan Untuk Dibunuh 
Di antara binatang-binatang yang diperintahkan untuk dibunuh adalah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi  bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“Lima binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah haram (Mekkah dan Madinah, pent) atau di luarnya: tikus, kalajengking, burung buas, gagak, dan anjing hitam.” (HR.Bukhari III/1204 No.3136, dan Muslim II/856 no.1198)
Demikian pula cecak, termasuk binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, sebagaimana diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash , dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا

“Bahwa Nabi  memerintahkan untuk membunuh cecak, dan beliau menamakannya Fuwaisiqah (binatang jahat yang kecil)”. (HR. Muslim IV/1758 no.2238)
Pada riwayat lain Nabi  bersabda:
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِي الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِي الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
“Barangsiapa membunuh cecak dengan sekali pukulan, ditulis baginya seratus kebajikan, barangsiapa yang membunuhnya pada pukulan yang kedua maka baginya kurang dari itu, dan pada pukulan yang ketiga baginya kurang dari itu.” (HR. Muslim IV/1758 no.2240)

Di dalam hadits-hadits yang telah lalu, Nabi  memerintahkan agar membunuh binatang -binatang tersebut, maka itu sebagai isyarat atas larangan untuk memakannya. Sebab, jika sekiranya binatang itu boleh dimakan, maka akan menjadi mubadzir (sia-sia) kalau sekedar dibunuh, padahal Allah melarang hamba-Nya untuk melakukan hal-hal yang mubadzir, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Isra’ ayat 26-27.
7. Semua Binatang Yang Dilarang Untuk Dibunuh.
Di antara binatang yang dilarang untuk dibunuh adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ
“Sesungguhnya Nabi  melarang membunuh empat jenis binatang, yaitu: semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad (sejenis burung gereja).” (HR. Abu Daud II/789 no.5267. Dan Syaikh Al-Albani men-shahih-kannya).
Menurut pendapat sebagian ulama, kodok juga termasuk binatang yang tidak boleh dibunuh. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Utsman , ia berkata:

أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ضِفْدَعٍ يَجْعَلُهَا فِى دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَتْلِهَا

“Bahwa ada seorang thabib (dokter) bertanya kepada Rasulullah  tentang kodok yang dia racik sebagai obat, maka Nabi  melarangnya untuk membunuhnya.” (HR.Abu Daud II/399 no.3871 dan II/789 no.5269. dan Syaikh Al-Albani men-Shahih-kannya).
Di dalam hadits tersebut, Nabi  melarang membunuh binatang-binatang itu, berarti dilarang pula memakannya. Sebab, jika binatang itu termasuk yang boleh dimakan, bagaimana cara memakannya kalau dilarang membunuhnya?
8. Keledai jinak (bukan yang liar)
Ini merupakan pendapat Empat Imam madzhab selain Imam Malik dalam sebagian riwayat darinya. Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik , ia berkata: Bahwa ada seorang pesuruh Rasulullah  yang berseru:
إِنَّ الله ورسوله يَنْهَيَاكُمْ عَنْ لُحُوْمِ ِالْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis”. (HR. Bukhari V/2103 no.5208, dan Muslim III/1540 no.1940)
Adapun keledai liar, maka halal dikonsumsi. Sebagaimana hadits Jabir , ia berkata:
أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرٍ اَلْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ ، وَنَهَانَا النبي صلى الله عليه وسلم عَنِ الْحِمَارِ الْأَهْلِيْ
“Saat (perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi  melarang kami dari (memakan) keledai jinak”. (HR. Muslim III/1541 no.1941, dan Imam Ahmad III/322 no.14490)
Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu ‘Abdil Barr menyatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang pengharamannya”. (Lihat Al-Mughni beserta Asy-Syarhul Kabir IX/65).
9. Binatang Yang Lahir Dari Perkawinan Dua Jenis Binatang Yang Berbeda, Yang Salah Satunya Halal Dan Yang Lainnya Haram. 
Hal ini karena menggolongkannya kepada binatang yang haram lebih baik dan utama daripada menggolongkannya kepada induknya yang halal. Seperti Bighal, yaitu hewan hasil peranakan antara kuda yang halal dimakan dan keledai jinak yang haram dimakan.
Jabir bin Abdullah berkata:
حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي يَوْمَ خَيْبَرٍٍ – لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ
“Rasulullah  mengharamkan -yakni pada saat perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging bighal.” (HR. Ahmad III/323 no.14503, dan At-Tirmidzi IV/73 no.1478)
Dan keharaman ini berlaku untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan hewan yang haram dimakan.
10. AnjingPara ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, karena ia termasuk binatang buas yang bertaring. Di samping itu Nabi  telah mengharamkan harga jual-beli anjing dan menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Mas’ud Al-Anshari , ia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

“Bahwa Rasulullah melarang dari harga (jual-beli) anjing, upah pelacuran dan hasil praktek perdukunan.” (HR. Bukhari II/779 no.2122, dan Muslim III/1198 no.1567)

Dan diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij , bahwa Rasulullah bersabda:

ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ وَمَهْرُ الْبَغِىِّ خَبِيثٌ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ

“Harga (jual-beli) anjing adalah buruk, upah pelacur adalah buruk, dan pendapatan tunkang bekam adalah buruk.” (HR. Muslim III/1199 no.1568, dan Ahmad IV/141 no.17309)
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah  bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya jika Allah  mengharamkan memakan sesuatu, maka Dia akan mengharamkan harganya”. (HR. Ahmad I/293 no.2678)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar , ia berkata: “Kami diperintahkan untuk membunuh anjing, kecuali anjing untuk berburu dan anjing untuk menjaga tanaman.” (HR. Muslim III/1200 no.1571)
11. Binatang Yang Buruk Atau Menjijikkan. 
Semua yang menjijikkan –baik hewani maupun nabati- diharamkan oleh Allah. Sebagaimana firmanNya:
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ

“Dan dia (Muhammad) mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf: 157)
Namun kriteria binatang yang buruk dan menjijikkan pada setiap orang dan tempat pasti berbeda. Ada yang menjijikkan bagi seseorang misalnya, tetapi tidak menjijikkan bagi yang lainnya. Maka yang dijadikan standar oleh para ulama’ adalah tabiat dan perasaan orang yang normal dari orang Arab yang tidak terlalu miskin yang membuatnya memakan apa saja. Karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan pertama kali dan dengan bahasa merekalah semuanya dijelaskan. Sehingga merekalah yang paling mengetahui mana binatang yang menjijikkan atau tidak. (lihat penjelasan syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa IX/26, dan seterusnya).
Kalau binatang itu tidak diketahui oleh orang Arab, karena tidak ada binatang sejenis yang hidup di sana, maka dikiyaskan (dianalogikan) dengan binatang yang paling dekat kemiripannya dengan binatang yang ada di Arab. Jika ia mirip dengan binatang yang haram maka diharamkan, dan sebaliknya. Tetapi jika tidak ada yang mirip dengan binatang tersebut maka dikembalikan kepada urf (tradisi/penilaian) masyarakat setempat. Kalau mayoritas mereka menganggapnya tidak menjijikkan, maka Imam at-Thabari membolehkan untuk dimakan, karena pada asalnya semua binatang boleh dimakan, kecuali kalau itu mengandung mudharat.
12. Semua makanan yang bermudharat terhadap kesehatan manusia -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya.
Allah  berfirman:

وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah: 195)
Juga Nabi bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”. (HR. Ahmad I/313 no.2867, dan Ibnu Majah no.2431)
Kedua: Haram Lighairihi (makanan yang haram karena faktor eksternal). Maksudnya hukum asal makanan itu sendiri adalah halal, akan tetapi dia berubah menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri atau dibeli dengan uang hasil korupsi, transaksi riba, upah pelacuran, sesajen perdukunan, dan lain sebagainya.
1. Binatang Disembelih Untuk Sesaji
Hewan ternak yang disembelih untuk sesaji atau dipersembahkan kepada makhluk halus, misalnya kerbau, yang disembelih untuk ditanam kepalanya sebagai sesaji kepada dewa tanah agar melindungi jembatan atau gedung yang akan dibangun, hewan ternak yang disembelih untuk persembahan Nyai Roro Kidul dan sebagainya adalah haram dimakan dagingnya, karena itu merupakan perbuatan syirik besar yang membatalkan keislaman, sekalipun ketika disembelih dibacakan basmalah. Hal ini sebagaimana firman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala….”. (QS. Al-Ma’idah: 3)
2. Binatang Yang Disembelih Tanpa Membaca Basmalah
Hewan ternak yang disembelih tanpa membaca basmalah adalah haram dimakan dagingnya kecuali jika lupa. Allah berfirman: Al An’am, 6:121.

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’am: 121)
3. BangkaiYaitu semua binatang yang mati tanpa penyembelihan yang syar’i dan juga bukan hasil perburuan. Allah berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat di atas:
1. Al-Munhaniqoh, yaitu binatang yang mati karena tercekik.
2. Al-Mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena terkena pukulan keras.
3. Al-Mutaroddiyah, yaitu binatang yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
4. An-Nathihah, yaitu binatang yang mati karena ditanduk oleh binatang lainnya.
5. Binatang yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
6. Semua binatang yang mati tanpa penyembelihan, seperti disetrum.
7. Semua binatang yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid Al-Laitsi secara marfu’:
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ
“Apa saja yang terpotong dari binatang dalam keadaan binatang itu masih hidup, maka potongan itu adalah bangkai”. (HR. Ahmad V/218 no.21953, Abu Daud II/123 no.2858, At-Tirmidzi IV/74 no.1480, dan ia men-shahih-kannya).
Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan:
1. Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2. Belalang. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar , bahwa Rasulullah bersabda:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan limfa”. (HR. Ahmad II/97 no.5723, dan Ibnu Majah II/1102 no.3314. dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani)
3. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri , bahwa Nabi  bersabda:

ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ

“Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya”. (HR. Ahmad III/39 no.11361, Abu Daud II/114 no.2828, At-Tirmidzi IV/72 no.1476, dan Ibnu Majah II/1066 no.3199)

Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.
4. Makanan Halal Yang Diperoleh Dengan Cara Haram
Pada dasarnya semua makanan (nabati dan hewani) yang ada di muka bumi ini halal dikonsumsi sepanjang tidak berbahaya bagi fisik dan psikis manusia. Akan tetapi akan dapat berubah menjadi haram, jika diperoleh dengan cara yang diharamkan Allah . Misalnya, makanan hasil curian, atau dibeli dari uang hasil korupsi, manipulasi, riba (rentenir), perjudian, pelacuran, dan sebagainya. Hal ini sebagaimana firman Allah :

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
5. Jallalah
Yaitu binatang yang sebagian besar makanannya adalah feses (kotoran manusia atau hewan lain atau najis), baik berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti: garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan selainnya.
Hukumnya adalah haram, walaupun pada awalnya ia adalah binatang yang halal dimakan, tetapi menjadi tidak boleh dimakan apabila binatang tersebut tidak mau makan atau lebih banyak memakan sesuatu yang kotor. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin umar , ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا
“Rasulullah  melarang memakan Jallalah dan meminum susunya.” (HR.Abu Daud II/379 No. 3785, dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani)
Dalam riwayat lain, Abdullah bin Umar berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْجَلاَّلَةِ فِى الإِبِلِ أَنْ يُرْكَبَ عَلَيْهَا أَوْ يُشْرَبَ مِنْ أَلْبَانِهَا

“Rasulullah melarang memakan Jallalah dari onta, menunggangnya, dan meminum susunya.” (HR.Abu Daud II/379 no.3787).
Agar Jallalah tersebut menjadi halal diharuskan untuk dikurung minimal tiga hari, dan diberi makanan yang bersih atau suci, sebagaimana yang dicontohkan oleh Abdullah bin Umar , bahwa ia pernah mengurung ayam yang suka makan feses (kotoran atau najis) selama tiga hari. (Hadits Shahih riwayat Ibnu Abi Syaibah. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, karya Syaikh Al-Albani No.2504).

Hanya saja para ulama berselisih pendapat mengenai berapa lamanya jallalah itu dibiarkan atau dikurung agar binatang tersebut menjadi normal kembali, yaitu memakan makanan bersih yang biasa ia makan? Menurut pendapat yang benar adalah dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. (Lihat Al-Majmu’, karya An-Nawawi IX/28).
6. Semua Makanan Halal Yang Tercampur Najis
Contohnya seperti mentega, madu, susu, minyak goreng atau selainnya yang kejatuhan tikus atau cecak. Hukumnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah -radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi ditanya tentang minyak samin (lemak) yang kejatuhan tikus, maka beliau bersabda:
أَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوهُ . وَكُلُوا سَمْنَكُمْ

“Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah (sisa) lemak kalian”. (HR. Bukhari I/93 no.233, 234)
Jadi jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau, rasa, dan warna), maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh dikonsumsi, demikian pula sebaliknya.
Demikian pembahasan tentang kaidah dan kriteria makanan dan binatang yang diharamkan dalam agama Islam yang dapat kami sebutkan. Semoga apa yang kami tulis menjadi amal shalih dan ilmu yang bermanfaat bagi penulisnya maupun pembaca semuanya.


HALALKAH IKAN YANG MEMAKAN KOTORAN MANUSIA
Oleh: Ustadz Sigit Pranowo, Lc. al-Hafidz

Ikan (Hewan) yang memakan kotoran manusia termasuk didalam kategori "Al-Jallalah". Maksud Al-Jallalah yaitu setiap hewan yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). “Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jallalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).







“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).

“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).

Al Khottobi mengatakan bahwa manusia telah berbeda pendapat tentang memakan daging dan susu binatang jallalah. Para ulama Syafi’i dan Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa ia tidak boleh dimakan sehingga dikurung selama beberapa hari yang diberi makan dengan makanan yang suci dan apabila dagingnya sudah baik maka tidak apa-apa untuk dimakan.
Diriwayatkan didalam sebuah hadits bahwa sapi dikurung dan diberi makan dengan makanan yang suci selama 40 hari kemudian boleh dimakan dagingnya. Ibnu Umar pernah mengatakan bahwa ayam dikurung selama tiga hari kemudian disembelih.



Sedangkan Ishaq bin Rohuyah mengatakan tidak masalah dagingnya (jallalah) dimakan setelah dicuci bersih. Al Hasan al Bashri tidak melihat ada masalah tentang makan daging jallalah, begitu pula dengan Malik bin Anas. Ibnu Ruslan didalam “Syarh as Sunan” bahwa tidak ada batasan waktu tertentu dalam pengurungan jallalah, sebagian ada yang berpendapat terhadap onta dan sapi adalah 40 hari sedangkan kambing 7 hari, ayam 3 hari dan inilah pilihannya dalam kitab al Muhadzab wa at Tahrir. (Aunul Ma’bud juz X hal 187)

Para ulama yang memakruhkan dan tidak membolehkan memakan daging jallalah bersepakat membolehkan makan daging tersebut setelah binatang itu dikurung dalam batas waktu tertentu dan diberi makan dengan makanan yang baik sehingga daging itu menjadi baik kembali. Hal itu dikarenakan yang menjadi sebab tidak dibolehkannya adalah adanya perubahan pada dagingnya dan ketika sebab itu hilang dengan dikurung maka binatang itu tidak disebut lagi dengan jallalah.

Adapun apabila binatang itu tidak dikurung terlebih dahulu maka pendapat yang kuat—wallahu a’lam—adalah makruh dimakan dagingnya, makruh pula telur, susu atau menaikinya tanpa menggunakan alas duduk. Pendapat ini dipilih oleh al Khottobi terhadap hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi saw melarang dari meminum susu jallalah.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dan an Nasai dengan mengatakan,’makruh memakan daging dan susunya demi kebersihan dan kesucian.’—Ma’alimus Sunan juz V hal 306.

Pendapat yang bisa dipakai untuk menguatkan hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Imam Malik bahwa kotoran yang dimakan oleh binatang jallalah tersebut telah berubah menjadi dagingnya sebagaimana darah yang berubah menjadi daging. Pernyataan ini seolah-olah mengatakan bahwa kotoran yang dimakan tersebut tidaklah ada pengaruhnya sama sekali terhadap bau maupun rasa dari daging binatang tersebut.

Dengan demikian diperbolehkan menjualnya baik sebelum maupun setelah dikurung dan diberikan makanan yang baik. Akan tetapi menjualnya setelah dikurung lebih baik daripada sebelum dikurung demi menjaga kebersihan dari dagingnya tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

ترك التعليق