Kisah Abrahah Dan Pasukan Bergajah

18 Desember 2011

Di postingkan Oleh Catawiuir


سُوۡرَةُ الفِیل
بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصۡحَـٰبِ ٱلۡفِيلِ (١) أَلَمۡ يَجۡعَلۡ كَيۡدَهُمۡ فِى تَضۡلِيلٍ۬ (٢) وَأَرۡسَلَ عَلَيۡہِمۡ طَيۡرًا أَبَابِيلَ (٣) تَرۡمِيهِم بِحِجَارَةٍ۬ مِّن سِجِّيلٍ۬ (٤) فَجَعَلَهُمۡ كَعَصۡفٍ۬ مَّأۡڪُولِۭ (٥)


Pada abad keenam sekitar tahun 571 Masehi, saat itu Yaman dikuasai oleh seorang raja Kristen bernama Negus yang berhasil mengusir bangsa Yahudi dari negerinya. Seorang menterinya yang bernama Abrahah bin Al-Shobaah menemukan bahwa setiap tahunnya orang-orang dari berbagai belahan bumi bergegas dan berduyun-duyun pergi ke Kabah di Mekah untuk menunaikan haji.

Diperintahkannya arsitek dan ahli bangunan terbaik untuk membangun Al-Qalies, sebuah geraja yang sangat besar dan indah di Kota San’a. Gereja ini dipersembahkan kepada Raja Najasyi serta merupakan bukti kuat keinginan Abrahah agar orang-orang melupakan Ka’bah.

Untuk mencapai keinginannya itu, Abrahah telah bersumpah untuk menghancurkan Ka’bah. Berangkatlah Abrahah ke Makkah beserta tentaranya dengan menunggangi gajah. Abrahah memimpin pasukan dengan menunggangi seekor gajah yang santa besar dan gagah. Gajah tersebut adalah hadiah dari Raja Najasyi karena Abrahah sudah membuatkan sebuah gereja yang indah.

Berita tentang rencana Abrahah dan pasukannya sedang menuju Makkah, tentu saja membuat orang-orang Makkah ketakutan. Sebelum pasukan itu tiba di Makkah, Abrahah sudah mengutus Aswad bin Mafsud beserta pasukan berkudanya untuk mendahuluinya dan merampas harta milik Kaum Quraisy.

Jumlah mereka begitu banyak dan kuat sehingga tidak ada seorangpun yang berani melawannya. Kaum Quraisy dengan pasrah menyerahkan harta kekayaan ataupun ternak yang dimilikinya. Abdul Muthalib bin Hasyim yang merupakan salah seorang pemuka Kaum Quraisy pun harus kehilangan dua ratus unta miliknya.

“Wahai Kaum Quraisy, kami datang bukan untuk menimbulkan peperangan dengan kalian. Kami datang ke Makkah hanya untuk menghancurkan Ka’bah. Kalau kalian tidak menghalangi kami, kami juga tidak akan memerangi kalian!” teriak Hanathah Humairi, kepada penduduk Kota Makkah. Dia adalah salah seorang anak buah Abrahah.

Abdul Muthalib pun menyeruak dari kerumunan penduduk dan menjawab, “Demi Allah, kami tidak akan menghalangi kalian karena kami tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk mempertahankan Baitullah.”

Demikianlah, Kaum Quraisy hanya bisa pasrah dan diam ketakutan. Mereka merasa tidak mungkin melawan tentara yang terlihat begitu kuat. Namun, tidak demikian dengan Abdul Muthalib. Dia masih merasa kesal karena kehilangan unta-untanya. Kalau mereka ingin menghancurkan Ka’bah, mengapa harus merampas harta penduduk Makkah? Akhirnya, Abdul Muthalib pun pergi menyusul Abrahah yang masih di tengah perjalanan.

Di hadapan Abrahah, dia meminta kembali dua ratus ekor unta yang sudah  dirampas darinya. Keinginan Abdul Muthalib itu malah membuat Abrahah murka.

“Wahai Abdul Muthalib, ternyata kamu tidak sehebat perkiraanku. Kamu lebih memikirkan unta milikmu daripada memikirkan ka’bah. Mengapa kamu tidak mencoba menahanku untuk menghancurkan Ka’bah? Bukankah Ka’bah adalah kiblatmu dan kiblat leluhurmu?” Tanya Abrahah marah. Dia tersinggung karena Abdul Muthalib hanya meminta untanya, bukan Ka’bah yang akan segera dihancurkan.

Abdul Muthalib hanya menjawab, “Wahai Abrahah, aku hanyalah pemilik unta-unta itu. Sedangkan Ka’bah, mempunyai Pemilik yang akan menjaganya.”

Abrahah menatap Abdul Muthalib dengan geram. Tangannya terkepal karena Abdul Muthalib seolah sudah menantangnya. “Tidak ada seorangpun yang bisa menahanku untuk menghancurkannya!” katanya dengan congkak. Abrahah berpikir, dengan pasukan gajah yang membawanya, dalam sekejap saja, Ka’bah dapat dia runtuhkan.

Abrahah pun mengerahkan pasukannya untuk kembali memasuki Kota Makkah. Kota Makkah saat itu sudah sepi karena seluruh penduduknya telah mengungsi jauh. Mereka menghindari serangan pasukan Abrahah. Suara berderap dan debu yang beterbangan menandai kedatangan pasukan gajah Abrahah memasuki Makkah. Mereka begitu bernafsu untuk segera menghancurkan Baitullah. Suara berdebum dari langkah kaki pasukan gajahpun membuat suasana begitu mencekam. Tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk melindungi Ka’bah, kecuali menunggu mukjizat dari Allah SWT.

Ka’bah adalah rumah Allah yang sudah dibangun dengan susah payah oleh Nabi Ibrahim dan Nabi ISmail. Allah SWT tidak mengizinkan Abrahah dan tentaranya untuk menyentuk Ka’bah. Tiba-tiba, dari arah laut sekawanan burung terbang menaungi dan berputar-putar di atas Kota Makkah. Jumlahnya begitu banyak sehingga ketika Abrahah dan tentaranya mendongak ke atas langit, yang terlihat hanyalah kepakan burung-burung.

Itulah Burung Ababil yang dikirim oleh Allah SWT, dengan tiga buah batu yang dicengkeram pada kaki dan paruhnya. Batu-batu itu sangat panas. Ketika batu itu dijatuhkan dan menimpa pasukan Abrahah, mereka menjerit kesakitan karena merakan panas yang menyengat ke tulang mereka.

Pasukan gajah Abrahah yang sudah berada di Kota Makkah tak bisa mengelak lagi dan tidak sempat lari menyelamatkan diri. Batu-batu panas itu mulai dijatuhkan dair cengkeraman cakar da paruh Burung Ababil. Tanpa ampun lagi, batu-batu panas itu menghujam tentara Abrahah yang langsung menjerit karena rasa sakit yang tidak tertahankan.

Batu-batu itu seolah turun dari langit tanpa henti. Ke mana pun pasukan Abrahah berlari, burung-burung itu sekan mengejarnya dan melontarkan batu panas. Satu persatu, pasukan Abrahah tewas bergelimpangan dalam keadaan hangus terbakar. Beberapa tentara yang belum terkena lontaran batu segera melarikan diri dari Kota Suci Mekkah. Mereka mulai menyadari bahwa Ka’bah mempunyai Pemilik yang akan melindunginya, yaitu Allah SWT.

Sementara itu, Abrahah tidak luput dari serangan batu yang dilontarkan Burung Ababil tersebut. Pasukannya membawa Abrahah ke luar Makkah hingga tiba di Kota Shan’a. Di sana, Abrahah akhirnya meninggal. Itulah hukuman dari Allah SWT, bagi siapa pun yang berani mengganggu Ka’bah, rumah Allah.

0 komentar:

Posting Komentar

ترك التعليق